Pemerintah Daerah Harus Komitmen Hentikan Alih Fungsi Lahan Pertanian

Selasa, 29 September 2020 - 15:26 WIB
loading...
Pemerintah Daerah Harus...
Peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Achmad Suryana mengatakan, fenomena konversi atau alih fungsi lahan pertanian menjadi ancaman serius. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Achmad Suryana mengatakan, fenomena konversi atau alih fungsi lahan pertanian menjadi ancaman serius yang dapat mengganggu ketahanan pangan nasional dan ketersediaan gizi.

(Baca juga: Klaster Tenaga Kerja Tuntas, Panja DPR Yakin RUU Cipta Kerja Rampung 8 Oktober)

Menurutnya, jumlah produktivitas pangan dalam lima tahun terakhir untuk tiga komoditi pangan seperti padi, jagung, dan kedelai mengalami pelandaian, bahkan penurunan.

(Baca juga: Ini Syarat-syarat Sembuh dan Selesai Isolasi Covid-19)

Untuk produktivitas padi atau beras, lima tahun terakhir mengalami penurunan 1.08 persen. Sementara untuk Jagung pertumbuhan produktivitas di lima tahun terakhir hanya 0.48 persen. Bahkan, untuk hasil panen kedelai lima tahun terakhir mengalami penurunan hingga 2.66 persen.

"Kalau produksi pangan dalam negeri itu kan rumusnya sederhana, luas lahan panen kali produktivitas. Sehingga, kalau konversi lahan dilakukan besar-besaran, maka luas lahan pertanian pasti akan berkurang, sehingga produktivitas hasil pertanian pun akan turun," kata Achmad, Selasa (29/9/2020).

Dia menambahkan, produktivitas pangan memiliki keterkaitan dengan kebutuhan gizi. Menurutnya, jika produktivitas pangan mengalami penurunan, maka itu akan mempengaruhi sistem pangan secara keseluruhan.

Lebih jauh lagi dia mensimulasikan, ketersediaan pangan yang turun, akan berdampak pada kenaikan harga pangan. Jika harga pangan tinggi, maka akan mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat atau penggunaan bahan pangan bagi masyarakat.

"Karena harga pangan untuk kebutuhan masyarakat itu jadi mahal. Sehingga konversi lahan pangan ini pasti menyulitkan pencapaian Ketahanan Pangan Gizi (KPG). Maka, tersedianya LP2 Berkelanjutan ini sangat mutlak diperlukan," katanya.

Selain itu, Achmad menjelaskan, saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada persaingan penggunaan lahan. Tidak sedikit lahan pertanian yang beralih fungsi ke arah lahan non-pertanian.

Padahal, Undang-Undang (UU) Nomor 41 tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) sudah mengatur tentang mekanisme yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menjaga dan mengendalikan LP2B agar tidak dialih fungsikan ke arah non-pertanian.

Selain itu, pemerintah pusat juga telah menetapkan empat Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari UU LP2B tersebut yang seharusnya dapat diimplementasikan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi nasional.

Dengan demikian, Achmad berharap pemerintah daerah dapat benar-benar berkomitmen untuk mengendalikan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) demi mencapai ketahanan pangan dan gizi dalam jangka panjang.

Menurutnya, upaya yang harus dilakukan Pemerintah Daerah, tidak hanya selesai pada tataran membatasi konversi LP2B, tetapi Pemerintah Daerah juga harus menambah lahan LP2B seperti mencetak sawah baru, membuka lahan hutan untuk lahan pertanian produktif, dan memanfaatkan teknologi inovatif peningkatan produktivitas usaha tani pangan.

"Jadi sebenarnya peraturan untuk pengendalian LP2B sudah ada didalam UU LP2B itu sendiri, dan sebenarnya sudah ada pada empat PP turunannya. Tinggal bagaimana kita melaksanakan langkah pengendalian LP2B secara tegas dan konsisten oleh pemerintah. Kalau itu dilakukan tentunya Ketahanan Pangan dan Gizi berkelanjutan bisa tercapai," ujarnya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1322 seconds (0.1#10.140)