Kebangkitan PKI: Kenyataan atau Ilusi

Selasa, 29 September 2020 - 07:02 WIB
loading...
Kebangkitan PKI: Kenyataan atau Ilusi
Monumen yang mengenang puluhan pemuda jadi korban kekejaman G30S PKI di Desa Cemetuk, Kecamatan Celuring, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Foto/iNews TV/Eris Utomo
A A A
JAKARTA - Kebangkitan PKI menjadi isu tahunan yang terus muncul setiap September. Pemantik isu ini bermacam latar belakang, mulai politisi hingga mantan jenderal. Ironisnya, isu kebangkitan PKI ini kemudian dikaitkan dengan berbagai kejadian kriminal di tengah masyarakat.

Penusukan Syaikh Jabber dan pembacokan salah satu takmir masjid di Sumatera menjadi contohnya. Peristiwa yang sebenarnya murni kriminal kemudian dinarasikan sebagai bagian dari gerakan kebangkitan PKI. Tak jarang isu kebangkitan PKI ini dikaitkan sebagai upaya untuk mendiskreditkan kelompok atau rezim tertentu. (Baca: Salat Dhuha Bukan Sekedar Membuka Pintu Rezeki)

Pernyataan kebangkitan PKI yang belakangan menyita perhatian publik, dihembuskan Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang peringatan G30 S PKI.

Surat yang ditandatangani mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo, Rochmat Wahab, M Din Syamsuddin tersebut meminta presiden untuk bertindak serius terhadap gejala, gelagat, dan fakta kebangkitan neokomunisme dan/atau PKI gaya baru.

Dalam surat itu disebutkan bahwa neokomunisme bukan lagi mitos atau fiksi, tapi nyata keberadaannya. Kelompok ini menuding anak-cucu kaum komunis telah menyelusup ke dalam lingkaran-lingkaran legislatif maupun eksekutif. Sebagian mereka sudah berani memutarbalikkan sejarah, dengan menyatakan bahwa PKI adalah korban, dan kalangan non PKI khususnya umat Islam sebagai pelaku pelanggaran HAM berat terhadap orang-orang PKI.

”Mereka menutup mata terhadap fakta sejarah bahwa kaum komunis lah yang lebih dahulu membantai para ulama dan santri, menyerang pelatihan Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), GP Ansor, dan aksi-aksi sepihak PKI terhadap para petani. Mereka juga ingin mengingkari fakta sejarah bahwa kaum komunislah yang membantai para Jenderal TNI,” tulis Presidium KAMI dalam surat terbukanya, 22 September 2020.

Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Research and Analysis (Sudra) Fadhli Harahab mengatakan, kebangkitan PKI sudah menjadi isu mainan kelompok tertentu dalam rangka menebar teror bahkan untuk menekan kelompok lain. Sejak Orde Baru, isu PKI rutin muncul setiap tahun. Nyatanya, hingga saat ini penebar isu kebangkitan sosok PKI tidak bisa membuktikan kemunculannya. ”Kalau PKI diibaratkan mayat yang sudah dikubur tidak mungkin bangkit lagi," kata Fadhli, kemarin. (Baca juga: Sekolah di Merangin Mulai Belajar Tatap Muka dengan Protokol Ketat)

Apalagi, kata Fadhli, sudah ada TAP MPRS yang melarang PKI dan UU KUHP. ”Tapi kalau kemudian ada orang yang mengisukan bangkit, artinya dia sedang menebar teror dan ketakutan. Bahkan terkesan orang yang menyebarkan isu seperti sedang ngelawak karena tidak bisa membuktikan itu," tambahnya.

Lebih dramatis lagi lanjut Fadhli, ketika Gatot Nurmantyo mengaku dipecat dari jabatannya hanya karena mewajibkan anggotanya nonton film G30 S PKI. ”Menurut saya cukup riskan kalau jabatan Panglima tergeser hanya karena nonton film PKI. Apalagi saya lihat pihak istana sudah membantah itu. Jadi begini saya melihatnya persoalan ini (kebangkitan PKI) seperti dibesarkan-besarkan lalu didramatisir, seolah-olah benar, tetapi masyarakat tahu jalan ceritanya. Jadi tak perlu diseriusinlah, anggap aja sedang ngelawak,” ujar Fadhli.

Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo memahami sejarah memang penting sebagai pijakan untuk menatap masa depan dalam membangun kejayaan bangsa. ”Sebaliknya, jika kita meninggalkan sejarah bangsa maka akan seperti kera yang terjebak di hutan belantara dan meraung-raung di tengah kegelapan," ungkapnya.

Bicara soal sejarah, tentu bangsa Indonesia memiliki banyak sekali catatan peristiwa yang sangat penting. Tetapi, anehnya dari sekian banyak catatan sejarah bangsa ini, G30S/PKI paling sering dibicarakan. Karyono menilai hal ini tak lepas dari sumbangsih 32 tahun kekuasaan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Secara sistematis melakukan propaganda hingga membuat film tentang G30S/PKI. (Baca juga: Pneumonia Butuh Penanganan Serius)

Di masa Orde Baru, isu komunis/PKI kerap digunakan untuk membungkam tokoh atau kelompok yang menentang kebijakan pemerintah orde baru. ”Maka tak heran, sisa-sisa kekuatan Orde Baru yang masih bercokol getol membuat propaganda tersebut,” ujarnya.

Sementara itu, Amnesty International Indonesia menyarankan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Letnan Jenderal Andika Perkasa sebaiknya mengabaikan tantangan mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo dan elite politik lain yang memerintahkan jajarannya menonton bareng film Pengkhianatan G30S/PKI.

”Mempersoalkan sikap Panglima TNI dan KSAD dengan kesan seolah-olah takut dan membuat prajurit menjadi penakut jika tidak memerintahkan nonton bareng film G30S/PKI, itu adalah upaya politisasi TNI. Prajurit di mana pun, dan juga masyarakat tak bisa dipaksakan untuk menerima satu versi sejarah. Mereka sudah mengerti adanya versi sejarah yang berbeda,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid melalui akun Twitter @amnestyindo. Usman mengatakan, hak setiap orang apakah mau menonton film G30S/PKI atau merujuk film dan literatur alternatif lainnya” katanya.

Muatan Politis

Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP PKB Jazilul Fawaid menilai Gatot sengaja menggoreng isu PKI untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden (capres) pada 2024. ”Sebagian orang bilang Pak Gatot goreng-goreng isu PKI untuk kepentingan dirinya. Kalau mau nyapres, silakan saja, tanpa harus menuduh pihak lain pro-PKI,” kata Wakil Ketua MPR ini. (Baca juga: Era Teknologi KTP Biometrik Dimulai)

Menurut Gus Jazil, alasan Gatot mengungkit isu PKI tidak relevan lagi. Di sisi lain, ia juga menegaskan semua pihak tetap harus waspada terhadap ancaman PKI. ”Demikian juga, sudah tidak relevan lagi bahas alasan Pak Gatot diganti, apalagi karena alasan pemutaran film G30S/PKI. Panglima kan bukan ngurusi film saja,” tegas Jazilul.

Dia menilai, G30S/PKI adalah peristiwa politik kelam dan menyakitkan. “Jas merah (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah), kita semua tetap harus ingat dan waspada terhadap ancaman PKI," lanjut dia.

Lebih lanjut Gus Jazil menilai, Film G30S/PKI masih perlu diputar. Soal akurasi film tersebut, dia menilai film sejarah punya beragam versi. ”(Film G30S/PKI) perlu diputar, tapi tidak harus diwajibkan. Sejarah, apalagi film, tetap ada versinya, demikian juga soal akurasinya. Film itu dibikin zaman Orde Baru, silahkan saja kalau ada yang mau bikin lebih akurat,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sekaligus anggota Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan menilai, isu PKI tersebut sengaja dihembuskan sebagai bentuk manuver politik atas ketidaksukaan kepada PDIP dan pemerintahan Jokowi. ”Isu itu kan sebetulnya hanya untuk menohok PDIP dan pemerintahan sekarang Pak Jokowi,” kata Trimedya.

Sayangnya, kata Trimedya, isu PKI yang sering menjadi kendaraan politik tersebut sudah tidak laku untuk dijual kepada masyarakat. Karena itu, menurutnya, Gatot harus lebih cerdas dalam mengelola isu politik. ”Pak Gatot harus lebih cerdas dalam membuat isu. Kalau memang mau ikut konstelasi politik harusnya lebih elegan jangan PKI. Isu PKI itu udah nggak laku lagi zaman sekarang,” ujarnya. (Baca juga: Jalan Terjal Anwar Ibrahim Jadi PM Malaysia)

Ia menjelaskan, PDIP sudah sering menerima isu-isu PKI, namun terbukti dapat melewati dengan baik dan memenangkan Pemilu. Karena itu, Trimedya menyarankan agar Gatot terang-terangan untuk meraih simpati masyarakat. Salah satunya dengan membantu masyarakat yang saat ini kesulitan akibat pandemi corona atau Covid-19. Menurutnya, hal itu lebih bermanfaat untuk masyarakat banyak.

Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengatakan bahwa pernyataan Gatot Nurmantyo soal isu kebangkitan PKI harus ditanggapi sebagai bentuk peringatan (warning) bagi seluruh anak bangsa. ”Kalau saya dari Fraksi PKS, kita kedepankan husnudzon, berbaik sangka. (Pernyataan Gatot Nurmantyo) tujuannya untuk mengingatkan publik tentang bahaya laten komunis,” katanya.

Jazuli mengatakan, wajar jika pernyataan Gatot tersebut sebagai upaya mencari simpati atas keinginannya maju sebagai calon presiden. Hal tersebut sangat wajar sebagai tafsir politik. ”Saya tidak membantah tafsiran (politik). Tafsir ini jangankan omongan orang, firman Tuhan saja bisa ditafsirkan. Macam-macam lah,” katanya.

Namun, Jazuli berfikir positif bahwa Gatot ingin memberikan warning kepada seluruh anak bangsa bahwa Peringatan 30 S PKI akan datang. ”Ini tidak bisa dipungkiri ada sejarah kelam tentang PKI, juga ada orang yang sampai sekarang masih bangga menjadi anak PKI, realita semacam ini tidak bisa dinafikan. Bisa jadi Pak Gatot, kaca mata husnudzon-nya, dia memberikan warning, hati-hati lho, momentum 30 S PKI ini kita harus waspada,” katanya. (Baca juga: Pengamat: Jika Pancasila Berhasil Diubah, Kebangkitan PKI Nyata)

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan tidak ada yang melarang menonton film Pengkhianatan G30S PKI. Bahkan, kata Mahfud, menonton film tersebut tidak perlu harus menunggu September karena kapan saja bisa menyaksikan film itu di YouTube.

Oleh karena itu, Mahfud heran dengan ribut-ribut soal pemutaran film Pengkhianatan G30S PKI. "Mengapa soal pemutaran film Pengkhianatan G 30 S/PKI diributkan? Tidak ada yang melarang nonton atau menayangkan di TV. Mau nonton di Youtube juga bisa kapan saja, tak usah tunggu bulan September. Semalam saya nonton lagi di Youtube. Dulu Menpen Yunus Yosfiah juga tak melarang, tapi tidak mewajibkan," tulis Mahfud MD melalui akun Twitter-nya, @mohmahfudmd.

Pulihkan Hak Korban

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur menyatakan, ada beberapa hal yang harus diingat sehubungan dengan adanya isu kebangkitan kembali PKI yang terus berulang. Pertama, yang jarang dan hampir dilupakan adalah korban dan keluarga korban yang tidak bersalah karena distigma PKI tidak pernah menjadi wacana utama pemerintah. Padahal sangat banyak dari mereka mengalami kedzaliman dan ketidakadilan sangat panjang. (Baca juga: Jumlah Positif Melonjak, Liga Primer Inggris Darurat Covid-19)

"Seharusnya Negara yang menghargai hak asasi manusia harus segera memperbaiki dan memulihkan hak para korban ini," kata Isnur saat berbincang dengan KORAN SINDO.

Kedua, isu kebangkitan PKI sering dinaikkan dan nampak menjadi isu langgganan dalam momen-momen politik. Masyarakat Indonesia, kata Isnur, tentu masih ingat bagaimana pada 2014 dan 2019 isu ini dimainkan sangat kuat. Bahkan, kata dia, menjadi alat untuk memojokkan kelompok lainnya.

Faktanya kemudian misalnya sudah ada yang menyebarkan fitnah-fitnah tersebut diputus bersalah dan tak bisa membuktikan tuduhan-tuduhan tersebut. "YLBHI juga sempat menjadi korban penyerbuan 2017, saat kita mengadakan diskusi sejarah," katanya.

Ketiga, lanjut Isnur, isu ini juga menutupi masalah sesungguhnya yang dialami bangsa ini. Masalah tersebut mulai dari terjadi liberalisasi di bidang ekonomi hingga pembangunan diarahkan pada kepentingan investor-investor. Cukong dan politik uang, tutur dia, bahkan mengendalikan kepala-kepala daerah, pelemahan penegakkan antikorupsi, dan lain-lain. (Lihat videonya: Sepeda Kayu dari Limbah Kayu Pinus)

"Masyarakat sebenernya sudah cerdas dan memahami bahwa isu ini permainan dan isu politik, tapi memang sangat diperlukan Media dan informasi-informasi yang mengklarifikasi," ucapnya. (Abdul Rochim/Sabir Laluhu)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1863 seconds (0.1#10.140)