Rasionalitas Penundaan Pilkada 2020
loading...
A
A
A
Di sisi lain, pemerintah dengan dukungan partai-partai mayoritas yang tecermin dengan kekuatan mayoritas di DPR, ditambah solidnya dukungan tentara, polisi maupun birokrasi tentu menjadi elemen tunggal yang sulit ditandingi dan tentu dapat mengatasi dengan mudah potensi socio-unrest itu.
Alasan keempat, adalah pelaksanaan pilkada adalah hak konstitusional rakyat. Pertanyaannya, apakah penundaan (bukan pembatalan) pelaksanaan pilkada atas dasar kesiapan masyarakat dan demi alasan keselamatan jiwa manusia itu melanggar konstitusi? Bahkan secara normatif, dalam aturan penyelenggaraan pilkada itu sendiri dimungkinkan. Secara histori, penundaan terkait pemilihan pun pernah dilakukan.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana respons rakyat itu sendiri terkait dengan hak konstitusionalnya. Hingga kini beberapa hasil survei termasuk yang dilakukan oleh beberapa lembaga, termasuk Puslit Politik LIPI yang melakukan jajak pendapat pascapenyelenggaraan seminar nasional, mengindikasikan mayoritas masyarakat tidak menganggap pilkada sebagai hal yang urgen.
Bukti empiris lainnya adalah sikap para tokoh maupun ormas-ormas baik besar, menengah ataupun kecil yang dalam kesehariannya berkecimpung dengan rakyat banyak, juga mengharapkan adanya penundaan jalannya pilkada.
Alasan kelima adalah alasan ekonomi. Pelaksanaan pilkada akan berkorelasi dengan geliat ekonomi bangsa. Kegiatan ekonomi saat ini pada kenyataannya sudah demikian lemah akibat tidak ada kepercayaan terhadap pasar. Inti persoalan itu terungkap dari hasil penelitian terbaru Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, yang mengatakan bahwa pada level kalangan masyarakat atas sekalipun saat ini cenderung menahan diri tidak melakukan pembelian atau sebuah kegiatan ekonomi yang masif. Mereka menunggu kepastian apa yang akan terjadi. Perilaku ini jelas tidak terkait dengan ditunda atau tidak ditundanya pilkada.
Jika dikaitkan dengan pendanaan pilkada yang pada dasarnya demikian minim hanya sekitar belasan juta triliun, dibanding dengan pendanaan terkait dengan pandemi Covid-19 yang jumlahnya hingga ratusan triliun. Dengan kata lain, dengan modal sekian belas triliun, tentu saja pendapatan yang diharapkan sebagai timbal balik ekonomi pun juga tidak akan memancing pergerakan yang signifikan. Stimulus kehidupan ekonomi kita tidak terletak pada pilkada. Bahkan, pilkada berpotensi menghasilkan expenditure akibat jatuhnya korban yang lebih banyak.
Alasan keenam, pilkada tidak akan menghasilkan klaster baru karena diprediksi akan berjalan dengan tertib dan diharapkan pada Desember 2020 akan mulai melandai. Dalam praktiknya, tidak ada jaminan bahwa pelaksanaan pilkada itu akan benar-benar tertib. Sejauh kebanyakan peserta maupun rakyat pada umumnya masih memahami kampanye adalah sebuah kegiatan mengumpulkan massa yang luar biasa potensi berkumpulnya masyarakat dalam jumlah besar itu tetap ada. Terbukti konsentrasi kerumunan massa masih terlihat di sana-sini.
Secara rasional sulit dipahami bahwa situasinya telah benar-benar berubah dan kondusif untuk sebuah pilkada dengan fase kampanye yang melibatkan 734 kontestan, selama 71 hari di berbagai titik plus pada hari H pilkada. Prediksi beberapa pihak termasuk LP3ES bahwa pada masa-masa ini justru akan terjadi klaster pilkada yang melibatkan hingga jutaan orang.
Selain itu, saat ini kecenderungan OTG menjadi masif. Kecerdasan virus yang semakin tinggi membuat kita tidak pernah tahu pasti siapa yang terjangkit atau tidak. Sementara tidak ada fakta yang meyakinkan bahwa kondisi semakin membaik. Kenyataannya beberapa wilayah justru menunjukkan tren positif Covid-19 meningkat. Dan kalau toh benar di Desember melandai, apakah ini merupakan momen yang tepat bagi pelaksanaan pilkada yang masih berpotensi besar menghasilkan klaster baru?
Dengan berbagai argumen di atas dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pilkada Desember 2020 adalah sesuatu yang terburu-buru, bersifat elitis dan berpotensi berujung pada sebuah pagelaran yang berbahaya karena dapat menimbulkan lebih banyak korban kemanusiaan bagi bangsa kita.
Alasan keempat, adalah pelaksanaan pilkada adalah hak konstitusional rakyat. Pertanyaannya, apakah penundaan (bukan pembatalan) pelaksanaan pilkada atas dasar kesiapan masyarakat dan demi alasan keselamatan jiwa manusia itu melanggar konstitusi? Bahkan secara normatif, dalam aturan penyelenggaraan pilkada itu sendiri dimungkinkan. Secara histori, penundaan terkait pemilihan pun pernah dilakukan.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana respons rakyat itu sendiri terkait dengan hak konstitusionalnya. Hingga kini beberapa hasil survei termasuk yang dilakukan oleh beberapa lembaga, termasuk Puslit Politik LIPI yang melakukan jajak pendapat pascapenyelenggaraan seminar nasional, mengindikasikan mayoritas masyarakat tidak menganggap pilkada sebagai hal yang urgen.
Bukti empiris lainnya adalah sikap para tokoh maupun ormas-ormas baik besar, menengah ataupun kecil yang dalam kesehariannya berkecimpung dengan rakyat banyak, juga mengharapkan adanya penundaan jalannya pilkada.
Alasan kelima adalah alasan ekonomi. Pelaksanaan pilkada akan berkorelasi dengan geliat ekonomi bangsa. Kegiatan ekonomi saat ini pada kenyataannya sudah demikian lemah akibat tidak ada kepercayaan terhadap pasar. Inti persoalan itu terungkap dari hasil penelitian terbaru Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, yang mengatakan bahwa pada level kalangan masyarakat atas sekalipun saat ini cenderung menahan diri tidak melakukan pembelian atau sebuah kegiatan ekonomi yang masif. Mereka menunggu kepastian apa yang akan terjadi. Perilaku ini jelas tidak terkait dengan ditunda atau tidak ditundanya pilkada.
Jika dikaitkan dengan pendanaan pilkada yang pada dasarnya demikian minim hanya sekitar belasan juta triliun, dibanding dengan pendanaan terkait dengan pandemi Covid-19 yang jumlahnya hingga ratusan triliun. Dengan kata lain, dengan modal sekian belas triliun, tentu saja pendapatan yang diharapkan sebagai timbal balik ekonomi pun juga tidak akan memancing pergerakan yang signifikan. Stimulus kehidupan ekonomi kita tidak terletak pada pilkada. Bahkan, pilkada berpotensi menghasilkan expenditure akibat jatuhnya korban yang lebih banyak.
Alasan keenam, pilkada tidak akan menghasilkan klaster baru karena diprediksi akan berjalan dengan tertib dan diharapkan pada Desember 2020 akan mulai melandai. Dalam praktiknya, tidak ada jaminan bahwa pelaksanaan pilkada itu akan benar-benar tertib. Sejauh kebanyakan peserta maupun rakyat pada umumnya masih memahami kampanye adalah sebuah kegiatan mengumpulkan massa yang luar biasa potensi berkumpulnya masyarakat dalam jumlah besar itu tetap ada. Terbukti konsentrasi kerumunan massa masih terlihat di sana-sini.
Secara rasional sulit dipahami bahwa situasinya telah benar-benar berubah dan kondusif untuk sebuah pilkada dengan fase kampanye yang melibatkan 734 kontestan, selama 71 hari di berbagai titik plus pada hari H pilkada. Prediksi beberapa pihak termasuk LP3ES bahwa pada masa-masa ini justru akan terjadi klaster pilkada yang melibatkan hingga jutaan orang.
Selain itu, saat ini kecenderungan OTG menjadi masif. Kecerdasan virus yang semakin tinggi membuat kita tidak pernah tahu pasti siapa yang terjangkit atau tidak. Sementara tidak ada fakta yang meyakinkan bahwa kondisi semakin membaik. Kenyataannya beberapa wilayah justru menunjukkan tren positif Covid-19 meningkat. Dan kalau toh benar di Desember melandai, apakah ini merupakan momen yang tepat bagi pelaksanaan pilkada yang masih berpotensi besar menghasilkan klaster baru?
Dengan berbagai argumen di atas dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pilkada Desember 2020 adalah sesuatu yang terburu-buru, bersifat elitis dan berpotensi berujung pada sebuah pagelaran yang berbahaya karena dapat menimbulkan lebih banyak korban kemanusiaan bagi bangsa kita.