Rasionalitas Penundaan Pilkada 2020

Senin, 28 September 2020 - 06:49 WIB
loading...
Rasionalitas Penundaan Pilkada 2020
Firman Noor
A A A
Firman Noor
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

PELAKSANAAN Pilkada 2020 menimbulkan silang pendapat dan perdebatan. Sebagian kalangan yang menginginkan tetap dilakukannya pelaksanaan pilkada pada Desember 2020 didasarkan oleh beberapa alasan. Tulisan ini akan mencoba untuk menunjukkan bahwa alasan-alasan tersebut pada dasarnya tidak memiliki panduan argumen yang memadai.

Alasan pertama adalah apakah penundaan itu wajar dan sampai kapan bisa dilakukan. Apakah ada jaminan pada tahun depan situasinya akan membaik. Kalau penundaan berkepanjangan tentu akan menimbulkan situasi serba ketidakpastian. Secara historis dalam soal penundaan pemilu, negara kita pernah menunda pelaksanaan beberapa kali. Pemilu pertama, misalnya, baru dilakukan pada 1955 atau sepuluh tahun setelah kita merdeka.

Pada masa Orde Baru, pemilu pertama baru dilakukan pada 1971. Pemilu kedua di era ini ditunda setahun menjadi baru terselenggara pada 1977. Pada masa Reformasi juga terjadi penundaan, di mana baru pada 1999 pemilu dilangsungkan meski Presiden Habibie telah naik kekuasaan pada 1998 yang menandai kelahiran era Reformasi.

Berbagai penundaan itu disebabkan terutama karena masyarakat pada umumnya belum siap dalam melaksanakan pemilu, sehingga jika dipaksakan akan tidak mencerminkan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Adalah ironis manakala pemerintah masa lalu itu dapat memahami hakikat pemilu sesungguhnya adalah sebagai bagian penting dari hakikat kedaulatan rakyat, pemerintahan saat ini justru seolah abai atas hakikat sebuah pemilu itu sendiri.

Sementara itu, puluhan negara, baik pada level pemilihan pusat maupun daerah, juga memutuskan dilakukannya penundaan, baik karena alasan kemanusiaan maupun esensi dari penyelenggaraan pemilu.

Alasan kedua adalah manakala ditunda akan sulit mencari pelaksana tugas (plt) kepala daerah. Ini tentu juga bukan sesuatu yang dapat diterima. Mengingat bahwa pejabat-pejabat daerah potensial dapat diminta untuk melaksanakan tugas plt. Ditambah dengan beberapa pejabat di level nasional. Selain itu, plt juga bukan barang baru. Di beberapa daerah-daerah pemekaran, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota, juga kerap harus menunggu kepala daerah definitif hasil pemilu yang akhirnya untuk sementara dipimpin oleh seorang plt.

Soal seputar pengganti kepala daerah sementara juga sudah diatur dalam Permendagri 74/2016 jo Permendagri 1/2018. Kekhawatiran bahwa seorang plt akan menyimpang tidak perlu dikhawatirkan mengingat diawasi oleh DPRD maupun masyarakat sipil. Terbukti kemudian pemerintahan dapat berjalan dengan baik-baik saja, tidak saja dapat memenuhi fungsi-fungsi administratif dan tata kelola pemerintahan, tetapi juga kondusif bagi stabilitas politik di wilayahnya.

Alasan ketiga, penundaan akan berpotensi menghasilkan instabilitas atau socio-political unrest. Pandangan seperti ini tampak berlebihan atau bersifat paranoid. Mirip dengan adanya kekhawatiran akan adanya makar beberapa waktu lalu. Mengapa? Karena konsolidasi sumber-sumber kekuatan untuk melakukan socio-unrest bukanlah hal yang mudah. Sebuah socio-unrest, apalagi yang mengarah pada makar, membutuhkan pengondisian-pengondisian yang mengarah ke sana.

Selain itu, perlu tokoh penggerak yang ditopang oleh kekuatan milisia/tentara, dukungan finansial ataupun jaringan yang memadai yang relatif kuat. Sejauh ini kekuatan seperti itu belum terlihat jelas. Dan bisa jadi kalau toh ada, bisa jadi tidak disiapkan terkait dengan pelaksanaan pilkada.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0792 seconds (0.1#10.140)