Korban Pidana Butuh Perlindungan, Biar Tak Jatuh Tertimpa Tangga Pula
loading...
A
A
A
“Masalahnya Perpres Nomor 82/2018 Pasal 52 ayat (1) huruf r itu tidak diharmonisasikan dengan kebijakan lain maupun peraturan satu dengan peraturan yang lain," ujarnya.
Mantan anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) itu membeberkan, ada empat irisan pemenuhan layanan kesehatan bagi para korban yang belum diharmonisasikan dengan Perpres Nomor 82/2018 setelah berlakunya Pasal 52 ayat (1) huruf r. Pertama, misalnya korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Korban harus melaporkan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang dimiliki pemerintah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Ketika korban KDRT melapor ke P2TP2A, ujar Ninik, korban bisa dilayani dengan anggaran pemerintah daerah (pemda), bukan BPJS Kesehatan. Kedua, korban tindak pidana khusus, misalnya korban perdagangan orang (trafficking) atau korban kekerasan seksual. Korban jenis ini bisa mendapatkan fasilitas bantuan dari LPSK sepanjang mengajukan permohonan ke LPSK, pidananya diproses secara hukum, dan korban diputuskan mendapatkan perlindungan dari LPSK. (Baca juga: Mapolres Yalimo Papua Diserang, Kasat Intel Terluka Parah)
Ketiga, korban kasus tindak pidana umum atau biasa. Misalnya, hebohnya peristiwa klitih oleh geng motor di Yogyakarta beberapa waktu lalu yang mengakibatkan sejumlah korban berjatuhan. Korban jenis ini bisa ditanggung LPSK setelah ada permohonan yang diajukan kemudian diputuskan disetujui oleh LPSK.
"Nah, masalahnya LPSK kan juga punya keterbatasan anggaran. Kalau semua se-Indonesia ditangani LPSK, saya bisa membayangkan kedodorannya. Jadi tidak semua ke LPSK karena tentu berat. Maka itu harus dilakukan terobosan-terobosan oleh LPSK, tentu ini diskresi untuk kasus-kasus tertentu, tidak semua kasus," ungkap Ninik.
Mantan anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) itu membeberkan, ada empat irisan pemenuhan layanan kesehatan bagi para korban yang belum diharmonisasikan dengan Perpres Nomor 82/2018 setelah berlakunya Pasal 52 ayat (1) huruf r. Pertama, misalnya korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Korban harus melaporkan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang dimiliki pemerintah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Ketika korban KDRT melapor ke P2TP2A, ujar Ninik, korban bisa dilayani dengan anggaran pemerintah daerah (pemda), bukan BPJS Kesehatan. Kedua, korban tindak pidana khusus, misalnya korban perdagangan orang (trafficking) atau korban kekerasan seksual. Korban jenis ini bisa mendapatkan fasilitas bantuan dari LPSK sepanjang mengajukan permohonan ke LPSK, pidananya diproses secara hukum, dan korban diputuskan mendapatkan perlindungan dari LPSK. (Baca juga: Mapolres Yalimo Papua Diserang, Kasat Intel Terluka Parah)
Ketiga, korban kasus tindak pidana umum atau biasa. Misalnya, hebohnya peristiwa klitih oleh geng motor di Yogyakarta beberapa waktu lalu yang mengakibatkan sejumlah korban berjatuhan. Korban jenis ini bisa ditanggung LPSK setelah ada permohonan yang diajukan kemudian diputuskan disetujui oleh LPSK.
"Nah, masalahnya LPSK kan juga punya keterbatasan anggaran. Kalau semua se-Indonesia ditangani LPSK, saya bisa membayangkan kedodorannya. Jadi tidak semua ke LPSK karena tentu berat. Maka itu harus dilakukan terobosan-terobosan oleh LPSK, tentu ini diskresi untuk kasus-kasus tertentu, tidak semua kasus," ungkap Ninik.
Lihat Juga :