Korban Pidana Butuh Perlindungan, Biar Tak Jatuh Tertimpa Tangga Pula

Jum'at, 25 September 2020 - 07:01 WIB
loading...
A A A
“Masalahnya Perpres Nomor 82/2018 Pasal 52 ayat (1) huruf r itu tidak diharmonisasikan dengan kebijakan lain maupun peraturan satu dengan peraturan yang lain," ujarnya.

Mantan anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) itu membeberkan, ada empat irisan pemenuhan layanan kesehatan bagi para korban yang belum diharmonisasikan dengan Perpres Nomor 82/2018 setelah berlakunya Pasal 52 ayat (1) huruf r. Pertama, misalnya korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Korban harus melaporkan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang dimiliki pemerintah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Ketika korban KDRT melapor ke P2TP2A, ujar Ninik, korban bisa dilayani dengan anggaran pemerintah daerah (pemda), bukan BPJS Kesehatan. Kedua, korban tindak pidana khusus, misalnya korban perdagangan orang (trafficking) atau korban kekerasan seksual. Korban jenis ini bisa mendapatkan fasilitas bantuan dari LPSK sepanjang mengajukan permohonan ke LPSK, pidananya diproses secara hukum, dan korban diputuskan mendapatkan perlindungan dari LPSK. (Baca juga: Mapolres Yalimo Papua Diserang, Kasat Intel Terluka Parah)

Ketiga, korban kasus tindak pidana umum atau biasa. Misalnya, hebohnya peristiwa klitih oleh geng motor di Yogyakarta beberapa waktu lalu yang mengakibatkan sejumlah korban berjatuhan. Korban jenis ini bisa ditanggung LPSK setelah ada permohonan yang diajukan kemudian diputuskan disetujui oleh LPSK.

"Nah, masalahnya LPSK kan juga punya keterbatasan anggaran. Kalau semua se-Indonesia ditangani LPSK, saya bisa membayangkan kedodorannya. Jadi tidak semua ke LPSK karena tentu berat. Maka itu harus dilakukan terobosan-terobosan oleh LPSK, tentu ini diskresi untuk kasus-kasus tertentu, tidak semua kasus," ungkap Ninik.

Keempat, irisan dengan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Ninik membeberkan, DKI Jakarta memiliki kebijakan untuk menanggung biaya pengobatan bagi korban KDRT dan korban kekerasan/penganiayaan geng motor setelah korban atau keluarganya mengajukan permohonan ke LPSK. Tapi, kebijakan seperti DKI Jakarta tidak berlaku di daerah lain karena keterbatasan anggaran masing-masing pemda.

"Irisan-irisan itu harus segera diharmonisasikan. Itu saya kira menjadi tugas dan peran penting Kementerian Kesehatan untuk mengoordinasikan ini, karena kan Kemenkes bertanggung jawab dalam menjaga kesehatan masyarakat sesuai di UU Kesehatan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak juga bisa memfasilitasi karena terkait dengan P2TP2A se-Indonesia," paparnya. (Baca juga: Mobil Nasional Vietnam Bertingkah Lagi)

Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Jamal Wiwoho menilai, UUD 1945 telah mengamanahkan dengan jelas bahwa warga negara Indonesia berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Dia membeberkan, ketika ada ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf r Perpres Nomor 82/2018 maka faktanya terjadi jurang antara substansi dan implementasinya di lapangan.

Musababnya masih banyak korban penyiksaan, korban kekerasan seksual, korban KDRT, korban begal atau korban geng motor tidak mengetahui adanya ketentuan tersebut dan sulit mengakses layanan. "Seolah kemudian pertanggungjawabannya menjadi pertanggungjawaban diri sendiri atau keluarga. Masih banyak korban atau keluarga yang bayar sendiri, keluarkan biaya sendiri, pulang dengan biaya sendiri. Jadi implementasi ketentuan itu yang kurang jelas, dalam praktiknya kurang optimal. Padahal, negara yang bertanggung jawab terhadap perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan warganya," ucap Jamal saat dihubungi KORAN SINDO.

Wakil Ketua LPSK Susilaningtias menyatakan, hingga saat ini memang kondisi pemenuhan layanan kesehatan atau layanan medis bagi korban tindak pidana penyiksaan, penganiayaan berat, maupun kekerasan seksual masih ada banyak masalah di sejumlah daerah. Kondisi demikian, kata perempuan yang karib disapa Susi ini, dengan sendirinya menunjukkan bahwa negara belum bisa memfasilitasi hak-hak korban. (Baca juga: Kisruh Politik Negeri Jiran, Raja Malaysia Punya Tiga Opsi)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1857 seconds (0.1#10.140)