Sanksi Pelanggar Protokol Corona Bias, Pemda Diminta Buat Aturan Jelas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 menyebutkan sanksi berupa kerja sosial.
Penerapan sanksi sosial bagi masyarakat yang melanggar protokol kesehatan sebagai upaya pencegahan Covid-19 dianggap efektif dan bisa memberikan efek jera.
"Masyarakat yang tidak mengikuti aturan langsung diberikan sanksi, dan banyak masyarakat yang memilih kerja sosial dibandingkan sanksi denda," kata Anggota Komisi IX DPR Intan Fauzi, Kamis (23/9/2020).
Sayangnya, kata Intan, dalam implementasinya di lapangan, sanksi sosial agak kebablasan. Bahkan, sanksi sosial ini menjadi obyek lelucon atau bahkan objek ekploitasi terhadap para pelanggar protokol Covid-19.
Karena itu, Intan menyarankan setiap pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota menerbitkan peraturan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan untuk pencegahan Covid-19.
Dia mencontohkan, di DKI Jakarta, sanksi diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran PSBB Dalam Penanganan COVID-19.
"Penindakan yang dilakukan terhadap para pelanggar protokol kesehatan di berbagai daerah sangat beragam, mulai dari sanksi teguran tertulis, sanksi kerja sosial membersihkan fasilitas umum, hingga denda administratif," tutur politikus PAN dari daerah pemilihan Kota Bekasi dan Depok ini.( )
Intan menilai bentuk sanksi sosial harus diurai secara jelas agar tidak bias makna dan masing- masing daerah memiliki interpretasi yang keluar dari aturan. Hal ini dinilainya penting karena sanksi ini dirancang guna meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan.
"Hukum diberlakukan untuk dipatuhi, bukan dibuat untuk dilanggar. Definisi sanksi sosial harus jelas, sebab dalam banyak kasus pelanggaran protokol kesehatan, hukuman sosial tergantung kreatifitas aparat pelaksana.
Peraturan sanksi sosial perlu diatur secara rigid sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam impelementasi di lapangan," tuturnya. Misalnya, sanksi sosial memeluk pohon atau hukuman fisik terhadap wanita sambil ditonton banyak petugas pria, hal ini dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap perempuan. "Hal ini sudah berlebihan, sebab sanksi sosial ini sudah memasuki ranah privat seseorang," tuturnya.
Intan mengatakan, sanksi sosial adalah salah satu cara bagi pelanggar untuk menimbulkan efek jera dan tujuannya agar masyarakat disiplin menerapkan protokol kesehatan untuk pencegahan penularan Covid-19.
Untuk itu, sambung dia, sanksi soal harus diatur secara jelas, termasuk jenis hukuman yang diterima oleh pelanggar PSBB ini.
"Sehingga sanksinya harus dikembalikan kepada tujuan awalnya. Intinya, jangan ada deviasi di level pelaksana di lapangan. Jangan sampai implementasi di lapangan tergantung kreativitas masing-masing petugas," paparnya.( )
Dia juga melihat tidak diterapkannya protokol kesehatan saat pelanggar menjalani hukuman maupun saat prosedur di posko terpadu. Di lokasi malah terjadi kerumunan karena banyak petugas dan para pelanggar. Hal tersebut justru memunculkan risiko penularan.
Penerapan sanksi sosial bagi masyarakat yang melanggar protokol kesehatan sebagai upaya pencegahan Covid-19 dianggap efektif dan bisa memberikan efek jera.
"Masyarakat yang tidak mengikuti aturan langsung diberikan sanksi, dan banyak masyarakat yang memilih kerja sosial dibandingkan sanksi denda," kata Anggota Komisi IX DPR Intan Fauzi, Kamis (23/9/2020).
Sayangnya, kata Intan, dalam implementasinya di lapangan, sanksi sosial agak kebablasan. Bahkan, sanksi sosial ini menjadi obyek lelucon atau bahkan objek ekploitasi terhadap para pelanggar protokol Covid-19.
Karena itu, Intan menyarankan setiap pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota menerbitkan peraturan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan untuk pencegahan Covid-19.
Dia mencontohkan, di DKI Jakarta, sanksi diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran PSBB Dalam Penanganan COVID-19.
"Penindakan yang dilakukan terhadap para pelanggar protokol kesehatan di berbagai daerah sangat beragam, mulai dari sanksi teguran tertulis, sanksi kerja sosial membersihkan fasilitas umum, hingga denda administratif," tutur politikus PAN dari daerah pemilihan Kota Bekasi dan Depok ini.( )
Intan menilai bentuk sanksi sosial harus diurai secara jelas agar tidak bias makna dan masing- masing daerah memiliki interpretasi yang keluar dari aturan. Hal ini dinilainya penting karena sanksi ini dirancang guna meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan.
"Hukum diberlakukan untuk dipatuhi, bukan dibuat untuk dilanggar. Definisi sanksi sosial harus jelas, sebab dalam banyak kasus pelanggaran protokol kesehatan, hukuman sosial tergantung kreatifitas aparat pelaksana.
Peraturan sanksi sosial perlu diatur secara rigid sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam impelementasi di lapangan," tuturnya. Misalnya, sanksi sosial memeluk pohon atau hukuman fisik terhadap wanita sambil ditonton banyak petugas pria, hal ini dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap perempuan. "Hal ini sudah berlebihan, sebab sanksi sosial ini sudah memasuki ranah privat seseorang," tuturnya.
Intan mengatakan, sanksi sosial adalah salah satu cara bagi pelanggar untuk menimbulkan efek jera dan tujuannya agar masyarakat disiplin menerapkan protokol kesehatan untuk pencegahan penularan Covid-19.
Untuk itu, sambung dia, sanksi soal harus diatur secara jelas, termasuk jenis hukuman yang diterima oleh pelanggar PSBB ini.
"Sehingga sanksinya harus dikembalikan kepada tujuan awalnya. Intinya, jangan ada deviasi di level pelaksana di lapangan. Jangan sampai implementasi di lapangan tergantung kreativitas masing-masing petugas," paparnya.( )
Dia juga melihat tidak diterapkannya protokol kesehatan saat pelanggar menjalani hukuman maupun saat prosedur di posko terpadu. Di lokasi malah terjadi kerumunan karena banyak petugas dan para pelanggar. Hal tersebut justru memunculkan risiko penularan.
(dam)