Terorisme Musuh Bersama, Butuh Sinergi Lintas Institusi Keamanan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rektor Universitas Pertahanan ( Unhan ), Laksdya TNI Amarulla Octavian menilai TNI memiliki kisah sukses dalam penanganan aksi terorisme . Menurutnya, berdasarkan sejarah internasional yang berhasil menangani aksi terorisme keberadaan tentara cukup strategis untuk dilibatkan dan sinergi dengan intitusi keamanan setempat.
Ia menyebut negara maju seperti Amerika Serikat pun melibatkan militer mereka untuk penanganan terorisme. Di antaranya ialah US Navy Seal dan US Delta Force. Setiap badan militer baik US Navy dan US Delta Force punya aturan main dan undang-undang tersendiri. Namun, mereka berkomitmen bagaimana untuk bekerja sama. (Baca juga: Perlu Ada Harmonisasi Aturan Terkait Keterlibatan TNI Atasi Terorisme)
"Jadi di Amerika Serikat itu sebenarnya pasukan antiterornya itu lebih dari enam, tetapi demikian, mereka tidak melihat tumpang tindih kewenangan itu sebagai hal yang negatif. Tumpang tindih kewenangan dilihat positif bagaimana mereka bisa bekerja sama satu dengan yang lainnya, dengan kepolisian, FBI, CIA dan sebagainya," ujar Amarulla dalam diskusi webinar yang digelar Ikatan Alumni Unhan dengan tema Operasi Militer Selain Perang TNI: Kontra-Terorisme Dalam Perspektif Keamanan Nasional, Selasa (22/9/2020).
Kondisi serupa juga dilakukan Prancis, Amarulla melihat penanganan antiterorisme ditangani oleh angkatan bersenjata Commandement des Operations Speciales. Sementara Inggris memiliki SAS British Army, di Rusia yaitu Spetsnaz, di Jerman ada Grenzschutzgruppe-9, dan di Korea Selatan yaitu Special Forces Brigades.
"Ini adalah contoh-contoh pasukan di dunia yang mereka sangat terintegrasi dengan sistem keamanan nasional negara masing-masing," jelas dia.
Sedangkan di Indonesia, lanjut Amarulla, terdapat satuan antiteror seperti Satgultor Kopassus TNI AD, Denjaka TNI AL, Den Bravo Korpaskhas TNI AU, Densus 88 Polri, lalu Koopsus TNI. Jadi Rektor Unhan menegaskan kesan adanya tumbang tindih kewenangan terkait penanganan terorisme harus dilihat dari perspektif positif.
"Di Selandia Baru tidak ada aturan yang rinci tapi berhasil karena komitmen antar aparatnya tinggi. Jadi mudah berkoordinasi dan bergerak bersama. Kita harus belajar dari pemberantasan terorisme di Selandia Baru. Yang penting TNI dan Polri bergerak bersama. Jangan kita membelenggu diri sendiri dari aturan yang ada," tutur Amarulla.
Bahkan dia mengusulkan perlu dipertimbangkan untuk mengamandemen undang-undang yang di dalamnya menyebutkan TNI bergerak bila Polri sudah tidak mampu. Menurut Amarulla hal ini kurang pas bahkan bisa tidak mengenakkan bagi institusi Polri karena sejatinya TNI, Polri bersama rakyat bekerja sama menghadapi terorisme.
Dia memaparkan contoh sukses TNI dalam penanganan antiterorisme, Amarulla mengambil contoh upaya pembebasan sandera di maskapai Garuda di Bandara Don Muang, Thailand pada 1981. "Hanya dalam waktu tiga menit semua penumpang selamat, dilakukan pasukan Kopassandha dan para pembajak tewas," ucap dia.
Menurut dia, sempat terjadi silang pendapat terkait siapa yang berhak melakukan operasi militer di pesawat tersebut. Pertama wilayah pesawat berada di Thailand dan kedua terdapat warga Amerika Serikat sehingga angkatan militer Paman Sam itu berhak melakukan operasi. Namun akhirnya Indonesia diberikan kewenangan melakukan operasi militer.
"Lalu di Somalia pada 2011. Yang ditugaskan adalah pasukan TNI untuk pembebasan MV Sinar Kudus. Selama dua bulan mereka akhirnya sukses untuk membebaskan MV Sinar Kudus beserta muatannya 20 WNI," jelas dia.
Amarulla menjelaskan bahwa TNI punya wewenang dalam melakukan operasi militer terhadap terorisme. Operasi Antiteror pada TNI ada dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Amandemen Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 2003 pada Pasal 432 Ayat (1) tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.
Meski demikian, dalam pelaksanaan keamanan nasional disebutkan dalam Undang-undang Penanganan Terorisme ditangani oleh Polri dan TNI. Polri mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018. Sementara TNI ada UU Nomor 17 Tahun 1985, U Nomor 34 Tahun 2004 dan UU Nomor 5 Tahun 2018.
Amarulla menekankan bahwa perang melawan tindak pidana terorisme ialah aksi militer dalam konteks penegakan hukum maupun kedaulatan. Dia menegaskan, perang melawan tindak pidana terorisme tidak lagi mengandalkan aktor-aktor penyelenggara keamanan nasional semata, tetapi sudah harus melibatkan banyak lembaga negara dan semua institusi pemerintah lainnya.
"Perang melawan tindak pidana terorisme juga harus membangun kerja sama lintasnegara dalam bentuk keamanan dengan semua negara dan organisasi internasional di dunia," tegas Amrullah. (Baca juga: Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Melalui Mekanisme Aturan Berlaku)
Dalam webinar tersebut juga hadir narasumber di antaranya Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT Mayjen TNI Hendri Paruhuman Lubis. Guru Besar Studi Keamanan Dept Hubungan Internasional FISIP UNPAD Arry Bainus, Babinkum TNI Brigjen TNI Edy Imran, dan Kaprodi SKSG Universitas Indonesia Kajian Terorisme Muhamad Syauqillah.
Ia menyebut negara maju seperti Amerika Serikat pun melibatkan militer mereka untuk penanganan terorisme. Di antaranya ialah US Navy Seal dan US Delta Force. Setiap badan militer baik US Navy dan US Delta Force punya aturan main dan undang-undang tersendiri. Namun, mereka berkomitmen bagaimana untuk bekerja sama. (Baca juga: Perlu Ada Harmonisasi Aturan Terkait Keterlibatan TNI Atasi Terorisme)
"Jadi di Amerika Serikat itu sebenarnya pasukan antiterornya itu lebih dari enam, tetapi demikian, mereka tidak melihat tumpang tindih kewenangan itu sebagai hal yang negatif. Tumpang tindih kewenangan dilihat positif bagaimana mereka bisa bekerja sama satu dengan yang lainnya, dengan kepolisian, FBI, CIA dan sebagainya," ujar Amarulla dalam diskusi webinar yang digelar Ikatan Alumni Unhan dengan tema Operasi Militer Selain Perang TNI: Kontra-Terorisme Dalam Perspektif Keamanan Nasional, Selasa (22/9/2020).
Kondisi serupa juga dilakukan Prancis, Amarulla melihat penanganan antiterorisme ditangani oleh angkatan bersenjata Commandement des Operations Speciales. Sementara Inggris memiliki SAS British Army, di Rusia yaitu Spetsnaz, di Jerman ada Grenzschutzgruppe-9, dan di Korea Selatan yaitu Special Forces Brigades.
"Ini adalah contoh-contoh pasukan di dunia yang mereka sangat terintegrasi dengan sistem keamanan nasional negara masing-masing," jelas dia.
Sedangkan di Indonesia, lanjut Amarulla, terdapat satuan antiteror seperti Satgultor Kopassus TNI AD, Denjaka TNI AL, Den Bravo Korpaskhas TNI AU, Densus 88 Polri, lalu Koopsus TNI. Jadi Rektor Unhan menegaskan kesan adanya tumbang tindih kewenangan terkait penanganan terorisme harus dilihat dari perspektif positif.
"Di Selandia Baru tidak ada aturan yang rinci tapi berhasil karena komitmen antar aparatnya tinggi. Jadi mudah berkoordinasi dan bergerak bersama. Kita harus belajar dari pemberantasan terorisme di Selandia Baru. Yang penting TNI dan Polri bergerak bersama. Jangan kita membelenggu diri sendiri dari aturan yang ada," tutur Amarulla.
Bahkan dia mengusulkan perlu dipertimbangkan untuk mengamandemen undang-undang yang di dalamnya menyebutkan TNI bergerak bila Polri sudah tidak mampu. Menurut Amarulla hal ini kurang pas bahkan bisa tidak mengenakkan bagi institusi Polri karena sejatinya TNI, Polri bersama rakyat bekerja sama menghadapi terorisme.
Dia memaparkan contoh sukses TNI dalam penanganan antiterorisme, Amarulla mengambil contoh upaya pembebasan sandera di maskapai Garuda di Bandara Don Muang, Thailand pada 1981. "Hanya dalam waktu tiga menit semua penumpang selamat, dilakukan pasukan Kopassandha dan para pembajak tewas," ucap dia.
Menurut dia, sempat terjadi silang pendapat terkait siapa yang berhak melakukan operasi militer di pesawat tersebut. Pertama wilayah pesawat berada di Thailand dan kedua terdapat warga Amerika Serikat sehingga angkatan militer Paman Sam itu berhak melakukan operasi. Namun akhirnya Indonesia diberikan kewenangan melakukan operasi militer.
"Lalu di Somalia pada 2011. Yang ditugaskan adalah pasukan TNI untuk pembebasan MV Sinar Kudus. Selama dua bulan mereka akhirnya sukses untuk membebaskan MV Sinar Kudus beserta muatannya 20 WNI," jelas dia.
Amarulla menjelaskan bahwa TNI punya wewenang dalam melakukan operasi militer terhadap terorisme. Operasi Antiteror pada TNI ada dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Amandemen Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 2003 pada Pasal 432 Ayat (1) tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.
Meski demikian, dalam pelaksanaan keamanan nasional disebutkan dalam Undang-undang Penanganan Terorisme ditangani oleh Polri dan TNI. Polri mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018. Sementara TNI ada UU Nomor 17 Tahun 1985, U Nomor 34 Tahun 2004 dan UU Nomor 5 Tahun 2018.
Amarulla menekankan bahwa perang melawan tindak pidana terorisme ialah aksi militer dalam konteks penegakan hukum maupun kedaulatan. Dia menegaskan, perang melawan tindak pidana terorisme tidak lagi mengandalkan aktor-aktor penyelenggara keamanan nasional semata, tetapi sudah harus melibatkan banyak lembaga negara dan semua institusi pemerintah lainnya.
"Perang melawan tindak pidana terorisme juga harus membangun kerja sama lintasnegara dalam bentuk keamanan dengan semua negara dan organisasi internasional di dunia," tegas Amrullah. (Baca juga: Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Melalui Mekanisme Aturan Berlaku)
Dalam webinar tersebut juga hadir narasumber di antaranya Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT Mayjen TNI Hendri Paruhuman Lubis. Guru Besar Studi Keamanan Dept Hubungan Internasional FISIP UNPAD Arry Bainus, Babinkum TNI Brigjen TNI Edy Imran, dan Kaprodi SKSG Universitas Indonesia Kajian Terorisme Muhamad Syauqillah.
(kri)