Ekspor Lobster Gagal, Negara Kehilangan Devisa Sebesar Rp36 Miliar

Selasa, 22 September 2020 - 11:50 WIB
loading...
Ekspor Lobster Gagal,...
Nelayan lobster yang tergabung dalam Perkumpulan Budidaya dan Nelayan Lobster Indonesia (PBNLI) menyayangkan langkah Bea Cukai yang menggagalkan ekspor 2,7 juta ekor baby lobster. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Nelayan lobster yang tergabung dalam Perkumpulan Budidaya dan Nelayan Lobster Indonesia (PBNLI) menyayangkan langkah Bea Cukai yang menggagalkan ekspor 2,7 juta ekor baby lobster pada Selasa, 15 September 2020 malam. Terlebih banyaknya baby lobster yang mati akibat terlalu lama ditahan.

"Kami apresiasi tugas Bea Cukai, namun kalau sampai mati, itu merugikan aset kita. Penyitaan barang bukti mati dengan barang bukti hidup itu berbeda," ujar Kris Budiharjo, Ketua Dewan Penasehat PBNLI, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/9/2020). (Baca juga: Ekspor Tersendat, Harga Jual Benih Lobster Terjun Bebas)

Kalaupun masih hidup, lanjut Kris, kualitasnya pasti menurun. Sebab pengalamannya sebagai pengekspor kualitas akan menurun bila lebih dari tiga hari tak ditangani. Belakangan, eksportir itu merupakan perusahaan berizin, dan baby lobster itu sudah legal. “Karena itu apabila sudah di border harusnya sudah dapat NPE, dan yang mengeluarkan NPE kan juga Bea Cukai. Kalo kelebihan jumlah kan harusnya ada mekanismenya. Ini mematikan ekonomi,” tutup Kris Budiharjo. (Baca juga: Mengangkat Kesejahteraan Hidup Nelayan Lobster Lewat Kehadiran PBNLI)

Berdasarkan hasil perhitungan Bea Cukai yang disampaikan lewat jumpa pers pada Jumat 18 September 2020, dengan menggagalkan 1,2 juta ekor baby lobster yang tidak sesuai dengan dokumen ekspor milik 14 perusahaan, pihaknya telah menyelamatkan kerugian negara sebesar Rp1,2 miliar. Namun para nelayan di PBNLI menilai, kerugian yang dialami Negara bisa mencapai hingga Rp36 miliar lebih atau USD2,7 juta devisa hilang. Hal ini mengacu pada data Bea Cukai apabila 2,7 juta ekor lobster yang saat ini menjadi barang bukti tidak dapat di ekspor.

Efek domino kegagalan ekspor ini pun turut dirasakan nelayan di kawasan Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Pengepul Koperasi Delta Mas Bahari mengaku 160 lebih nelayan binaannya belum mendapat pelunasan dari pihak perusahaan. "Kami baru dibayar setengahnya. Biasanya kalau barang (baby lobster) sudah terkirim (ekspor) baru nanti perusahaan lunasin sisanya,"Jelas Mirojudin, Pengurus Koperasi Delta Mas Bahari.

Mirojudin menambahkan, satu hari setelah sidak Bea Cukai, harga benih lobster turun drastis. Biasanya nelayan mampu mendapat bayaran Rp9.000 per ekor. Namun setelah 14 perusahaan pemegang hak ekspor lobster dinyatakan sebagai penyelundup, harga baby lobster hanya dibandrol Rp2.500 per ekornya. "Sudah tiga hari nelayan-nelayan saya gak turun ke laut. Perusahaan lagi gak ekspor, terus siapa yang mau beli?" tanya Kris.

Menurut Kris Budiharjo, keresahan Mirojudin pun turut dirasakan ribuan nelayan anggota PBNLI. Perturan ekonomi tak terjadi karena anjloknya harga dan lesunya pasar "Ini merupakan salah satu ciri menuju ke resesi." kara Kris.

Dirinya juga mempertanyakan status perusahaan yang gagal ekspor karena takut dianggap kerja sama dengan penyelundup. Kebingungan ini pun menambah beban di tingkat nelayan. Apalagi di tengah pandemi Corona, pangsa pasar ekspor menjadi harapan nelayan di tengah lesunya pasar dalam negeri. "Harapan saya pemerintah lebih bijaksana dalam bertindak dan mengambil langkah langkah, masih ada pencegahan, pembinaan supaya tidak lagi ada gagal ekspor. Kasian nelayan, kalau jual lokal harganya gak sesuai sama modal, nelayan merugi," katanya
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2928 seconds (0.1#10.140)