Berharap Pada Petani di Hari Tani

Jum'at, 18 September 2020 - 06:49 WIB
loading...
Berharap Pada Petani di Hari Tani
Kuntoro Boga Andri
A A A
Kuntoro Boga Andri
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Kementerian Pertanian

“SEKALI dalam hidupmu mungkin kau akan membutuhkan seorang dokter, lawyer, atau polisi. Namun setiap hari, tiga kali sehari, engkau akan membutuhkan petani”. Kutipan ini berasal dari nasihat kakek Brenda Schoepp, seorang penulis internasional, yang menggambarkan vitalnya peran petani dalam peradaban kita.

Berbicara pertanian tentu akan selalu berkaitan dengan petani. Menilik situasi saat ini, sektor pertanian dan pangan menghadapi tantangan yang luar biasa. Perubahan iklim, ancaman hama dan penyakit, desakan alih fungsi lahan, hingga pandemi dan isu kesehatan menjadi tantangan bagi para petani. Jika tak diantisipasi dengan baik, kondisi ini akan mengancam ketahanan pangan bangsa dan kesejahteraan petani. Di tahun 2030 saja, jumlah penduduk Benua Asia diperkirakan nanti mencapai 4,9 miliar jiwa. Kondisi ini mengakibatkan jumlah konsumsi pangan per kapita meningkat dua kali lipat dibandingkan saat ini. Inilah tantangan yang akan dialami oleh seluruh pelaku pertanian di tanah air, termasuk aspek agraria.

Akan tetapi, Kondisi pandemi Covid-19 saat ini, pada akhirnya mengembalikan Indonesia pada kekuatan agraris. Melambannya pertumbuhan sektor pengolahan dan manufaktur serta perdagangan barang dan jasa membuat Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) mencapai minus 5,32% di kuartal kedua (April-Juni) 2020. Di sinilah petani berperan dalam pembangunan ekonomi negara kita. Kerja keras petani dan seluruh penggiat sektor agraria, menjadikan PDB sektor pertanian di kuartal kedua 2020, tumbuh 16,2% dibanding kuartal sebelumnya (Januari-Maret 2020). Bahkan, dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya, PDB sektor pertanian tetap tumbuh 2,19%.

Badan Pusat Statistik (BPS) juga merilis data kontribusi pertanian terhadap perekonomian terus meningkat. Di kuartal kedua 2020, sumbangan pertanian terhadap PDB nasional mencapai 15,46%. Angka tersebut meningkat 1,89% dari periode yang sama di tahun 2019. Salah satu sumber peningkatan itu adalah pertumbuhan ekspor komoditas pertanian sebesar 7,47% dibandingkan tahun lalu. Jika dinominalkan, angka pertumbuhan ekspor pertanian mencapai Rp12 triliun lebih (year on year/YoY).

Rangkaian data dan fakta ini, membuat kita introspeksi. Setidaknya untuk menjawab peringatan FAO terkait ancaman krisis pangan global pada April lalu. Di masa pandemi Covid 19, ancaman krisis pangan global terkait masalah produksi dan distribusi perlu diantisipasi. Ditengah kebijakan setiap negara yang diperkirakan melakukan restriksi ekspor, demi memastikan pemenuhan kebutuhan domestik.

Pandemi Covid-19 adalah momentum terbaik kita untuk kembali memperkuat upaya meningkatkan kemandirian dalam produksi pangan. Seluruh pemangku kebijakan (stakeholders) dan pemangku kepentingan (shareholders) sektor pertanian perlu makin bersinergi dalam menjaga kesejahteraan petani, memastikan stabilitas harga komoditas dan pasokan pangan nasional.

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, dalam beberapa kesempatan, telah memastikan pasokan sebelas komoditas pangan utama terjamin hingga akhir tahun 2020. Mentan memastikan, komoditas beras, jagung, bawang merah, bawang putih, cabai besar, cabai rawit, daging sapi atau kerbau, daging ayam ras, telur ayam ras, gula pasir, dan minyak goreng, aman hingga akhir tahun 2020.

Keberhasilan kita menjaga ketahanan pangan selama pandemi Covid-19, tidak boleh membuat kita terlena. Terlebih sebentar lagi, kita semua akan merayakan “Hari Tani Nasional” pada tanggal 24 September. Hari Tani Nasional bermula dari ditetapkannya Undang-undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA 1960) oleh Presiden Soekarno. Di dalamnya ditegaskan soal pelaksanaan “land reform” atau reformasi agraria.

Belajar dari Negara Lain
Land reform menitikberatkan pada penguatan dan perluasan kepemilikan tanah bagi seluruh rakyat, khususnya kaum tani. Membahas reformasi agraria terkait upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan, perlu kiranya kita belajar dari kisah sukses negara lain. Kita bisa belajar pada proses “land reform” yang dilakukan bangsa Jepang dan Korea Selatan.

Di negeri Sakura, land reform yang dikenal sebagai kebijakan Noochi Kaihoo (Emancipation of farming land) dilaksanakan pada 1947-1949. Dalam kebijakan tersebut, pemerintah Jepang berupaya membangkitkan ekonomi dan kedaulatan pangan nasional melalui pembangunan pertanian domestik. Pemerintah Jepang telah mendistribusikan sekitar 23 ribu kilometer persegi lahan pertanian yang setara dengan 38% lahan pertanian nasional, kepada petani.

Langkah selanjutnya berlangsung di era 1950-an, ketika pemerintah Jepang mulai melakukan perbaikan infrastruktur seperti irigasi, jalan usaha tani, dan bendungan. Memasuki periode 1960-an, dilakukan pemberdayaan koperasi pertanian dalam wadah Nihon Nogyoo Kumiai (Japan Agricultural Cooperative). Hingga 1970-an koperasi tersebut menginisiasi penerapan inovasi dan teknologi terbaru guna peningkatan produksi pertanian secara massal.

Langkah Jepang dalam memajukan pertanian dibuktikan dengan pendirian 13 lembaga penelitian pertanian, 255 lembaga penelitian di tingkat prefektur (provinsi), dan enam lembaga pengkajian nasional di berbagai penjuru negeri. Lembaga tersebut bersinergi dari level prefektur sampai level operasional sehingga bisa diaplikasikan di kelompok tani dan koperasi.

Pemerintah Jepang juga menyalurkan subsidi ke sektor pertanian yang dimulai semenjak 1970-an. Bentuk subsidi antara lain kredit pertanian dan pengadaan alat, mesin serta input produksi. Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar 3%-4% untuk subsidi di sektor pertanian. Proteksi komoditas pertanian dalam negeri diberlakukan untuk beras, daging, dan susu. Selebihnya dibebaskan pada mekanisme pasar. Kebijakan ini terbukti membawa para petani Jepang sebagai petani yang paling sejahtera dan merdeka di dunia.

Sementara itu, Korea Selatan (Korsel) selepas Perang saudara di era 50-an, terus berkomitmen meningkatkan produktivitas pertanian demi menurunkan angka kemiskinan. Pada 1960-an, 60% penduduk Korsel tinggal di perdesaan dan berprofesi sebagai petani. Gerakan Desa Baru (Saemaul Undong Movement/SU) yang dipimpin langsung oleh Presiden Park Chung-hee sejak awal 1970-an. SU adalah bagian dari gerakan berbasis masyarakat (community-drivendevelopment/CDD).

Gerakan SU adalah gerakan pembangunan ekonomi dengan semangat ketekunan, swadaya, dan kerja sama. Tiga tahapan Gerakan SU yaitu infrastruktur dasar; pembangunan; dan diseminasi. Hasilnya gerakan ini membuat Korsel berhasil mencapai swasembada pertanian di akhir 1970-an. Kebijakan insentif pembangunan pertanian yang diberikan pemerintah antara lain keringanan pajak khusus pertanian dan pajak pendidikan.

Selain itu, kebijakan mendukung kemudahan finansial dilakukan dengan membentuk: (1) Farm Land Management Fund Law, dan (2) Farm Land Bank Law. Pemerintah Korsel sampai saat ini sangat melindungi petani mereka dengan mempertahankan subsidi pertanian dan tarif impor. 25 tahun kemudian Korsel tumbuh menjadi negara industri yang makmur. Meskipun setelah era 1990-an basis kekuatan ekonomi Korsel bertumpu pada sektor industri, pemerintah tidak mencabut subsidi pertanian. Karena khawatir akan mengancam kesejahteraan petani, eksistensi sektor pertanian dan kedaulatan pangan.

Berkaca dari kedua macan Asia ini, sektor pertanian harus dipacu, agar mampu berlari kencang untuk mengejar ketertinggalan. Keberpihakan negara, kolaborasi, penerapan teknologi, reformasi agraria berkelanjutan, dan perlindungan ekonomi bagi petani dan pertanian menjadi syarat mutlak membangun sektor pertanian nasional.

Selamat Memperingati Hari Tani Nasional. Saatnya kita berharap kepada petani kita, berpihak kepada peningkatan kesejahteraan Petani, dan memperkuat sektor pertanian untuk pembangunan ekonomi bangsa.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2574 seconds (0.1#10.140)