Surat Jokowi soal Omnibus Law RUU Cipta Kerja Digugat ke PTUN
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah lembaga mengajukan gugatan terhadap keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Mereka terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
Gugatan yang didaftarkan pada 30 April itu didasari atas sikap bebal, tidak peka, dan ketidakpedulian yang ditunjukkan Presiden Jokowi dan DPR terhadap suara dan kepentingan masyarakat.
“Sebab, hingga saat ini pembahasan tetap berlanjut meski sudah mendapat kecam dan tuntutan dari berbagai elemen untuk mencabut dan menghentikan pembahasan beleid tersebut,” ujar salah seorang kuasa hukum penggugat, Arif Maulana melalui keterangan pers yang diterima SINDOnews, Minggu (3/5/2020).
Ada beberapa alasan gugatan itu dilakukan. Pertama, RUU tersebut dianggap cacat prosedur dan substansi, namun masih dipaksakan oleh Presiden Jokowi untuk dibahas dan disahkan bersama DPR. Penyusunan beleid itu mengabaikan prosedur yang telah jelas diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Arif menyinggung perencanaan hingga penyusunan tidak menjalankan prinsip transparansi, partisipasi, dan justru mendiskriminasi rakyat dengan hanya melibatkan kelompok pengusaha. Secara substansial RUU Cipta Kerja sangat bermasalah, menabrak berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kode Inisiatif mencatat 27 dari 54 Putusan MK yang berkaitan dengan undang-undang yang diubah oleh RUU Cipta Kerja, tidak ditaati oleh pemerintah dalam menyusun substansinya. Bahkan, ada pasal yang dihidupkan lagi setelah sudah dibatalkan oleh MK.
Selain itu, RUU tersebut dibuat hanya untuk kepentingan investasi dengan menumbalkan rakyat dan lingkungan hidup. “Jika sampai RUU ini disahkan dan diberlakukan, dampak meluas dan sistematis terhadap kerusakan lingkungan hidup dan perampasan hak-hak rakyat di berbagai sektor. Mulai dari buruh, petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat, pers maupun kelompok rentan lainnya akan segera terjadi,” jelas dia.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga dipandang sebagai contoh nyata korupsi politik, praktik buruk penyusunan UU yang menjadi pola yang berulang dalam proses penyusunan kebijakan yang lain. Bentuk pembuatan UU yang dipaksakan dan hanya untuk melanggengkan kepentingan oligarki.
Gugatan yang didaftarkan pada 30 April itu didasari atas sikap bebal, tidak peka, dan ketidakpedulian yang ditunjukkan Presiden Jokowi dan DPR terhadap suara dan kepentingan masyarakat.
“Sebab, hingga saat ini pembahasan tetap berlanjut meski sudah mendapat kecam dan tuntutan dari berbagai elemen untuk mencabut dan menghentikan pembahasan beleid tersebut,” ujar salah seorang kuasa hukum penggugat, Arif Maulana melalui keterangan pers yang diterima SINDOnews, Minggu (3/5/2020).
Ada beberapa alasan gugatan itu dilakukan. Pertama, RUU tersebut dianggap cacat prosedur dan substansi, namun masih dipaksakan oleh Presiden Jokowi untuk dibahas dan disahkan bersama DPR. Penyusunan beleid itu mengabaikan prosedur yang telah jelas diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Arif menyinggung perencanaan hingga penyusunan tidak menjalankan prinsip transparansi, partisipasi, dan justru mendiskriminasi rakyat dengan hanya melibatkan kelompok pengusaha. Secara substansial RUU Cipta Kerja sangat bermasalah, menabrak berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kode Inisiatif mencatat 27 dari 54 Putusan MK yang berkaitan dengan undang-undang yang diubah oleh RUU Cipta Kerja, tidak ditaati oleh pemerintah dalam menyusun substansinya. Bahkan, ada pasal yang dihidupkan lagi setelah sudah dibatalkan oleh MK.
Selain itu, RUU tersebut dibuat hanya untuk kepentingan investasi dengan menumbalkan rakyat dan lingkungan hidup. “Jika sampai RUU ini disahkan dan diberlakukan, dampak meluas dan sistematis terhadap kerusakan lingkungan hidup dan perampasan hak-hak rakyat di berbagai sektor. Mulai dari buruh, petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat, pers maupun kelompok rentan lainnya akan segera terjadi,” jelas dia.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga dipandang sebagai contoh nyata korupsi politik, praktik buruk penyusunan UU yang menjadi pola yang berulang dalam proses penyusunan kebijakan yang lain. Bentuk pembuatan UU yang dipaksakan dan hanya untuk melanggengkan kepentingan oligarki.
(kri)