Ketua KPK: Pilkada Bersih Isyarat Demokrasi di Indonesia Sehat
loading...
A
A
A
"Yaitu laporan seluruh eksponen bangsa yang melihat dugaan praktik korupsi di pilkada, agar segera dicegah bila belum terjadi dan ditindak jika kejahatan itu telah berjalan. Jadi, jangan pernah berfikir KPK akan kesulitan untuk memantau pergerakan khususnya potensi tindak pidana korupsi dalam perhelatan pilkada serentak 2020 di 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota," jelas Firli.
Sementara untuk Anggaran Penanganan Pandemi Covid-19 kata Firli, KPK telah mengidentifikasi 4 potensi korupsi pada penanganan Corona, sekaligus membuat 4 Langkah Antisipasi yang dilihat juga di aplikasi Jaga Bansos KPK, yaitu:
Pertama, potensi Korupsi Pengadaan Barang/Jasa mulai dari kolusi, mark-up harga, kickback, konflik kepentingan dan kecurangan. Antisipasinya, KPK mengeluarkan SE Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Barang/Jasa dlm Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 Terkait Pencegahan Korupsi.
"Isi dari SE tersebut adalah memberikan rambu-rambu pencegahan untuk memberi kepastian bagi pelaksana PBJ hingga mendorong keterlibatan aktif APIP dan BPKP untuk melakukan pengawalan dan pendampingan proses pelaksanaan PBJ dengan berkonsultasi kepada LKPP," ungkap Firli.
Kedua, potensi korupsi filantropi/sumbangan pihak ketiga. Kerawanan pada pencatatan penerimaan, penyaluran bantuan & penyelewengan bantuan. Upaya pencegahan: KPK menerbitkan panduan berupa Surat KPK Nomor B/1939/GAH.00/0 1-10/04/2020 tentang Penerimaan Sumbangan/Hibah dari Masyarakat.
"Ditujukan kepada Gugus Tugas dan seluruh kementerian/lembaga/pemda," ujarnya.
Ketiga, potensi korupsi pada proses refocusing dan realokasi anggaran Covid-19 untuk APBN dan APBD. Titik rawannya terletak pada alokasi sumber dana dan belanja serta pemanfaatan anggaran.
"Upaya pencegahan: Koordinasi, monitoring perencanaan refocusing/realokasi anggaran, dan memberikan rekomendasi kepada Kementerian/lembaga/pemda apabila menemukan ketidakwajaran penganggaran atau pengalokasian," kata Firli.
Keempat, potensi korupsi penyelenggaraan bantuan sosial (Social Safety Net) oleh pemerintah pusat dan daerah. KPK mengidentifikasi titik rawan pada pendataan penerima, klarifikasi dan validasi data, belanja barang, distribusi bantuan, serta pengawasan.
"Upaya pencegahan: mendorong Kementerian/Lembaga/Pemda untuk menggunakan DTKS sebagai rujukan pendataan penerima Bansos dan mendorong keterbukaan data penerima Bansos serta membuka saluran pengaduan masyarakat," jelasnya.
Sementara untuk Anggaran Penanganan Pandemi Covid-19 kata Firli, KPK telah mengidentifikasi 4 potensi korupsi pada penanganan Corona, sekaligus membuat 4 Langkah Antisipasi yang dilihat juga di aplikasi Jaga Bansos KPK, yaitu:
Pertama, potensi Korupsi Pengadaan Barang/Jasa mulai dari kolusi, mark-up harga, kickback, konflik kepentingan dan kecurangan. Antisipasinya, KPK mengeluarkan SE Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Barang/Jasa dlm Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 Terkait Pencegahan Korupsi.
"Isi dari SE tersebut adalah memberikan rambu-rambu pencegahan untuk memberi kepastian bagi pelaksana PBJ hingga mendorong keterlibatan aktif APIP dan BPKP untuk melakukan pengawalan dan pendampingan proses pelaksanaan PBJ dengan berkonsultasi kepada LKPP," ungkap Firli.
Kedua, potensi korupsi filantropi/sumbangan pihak ketiga. Kerawanan pada pencatatan penerimaan, penyaluran bantuan & penyelewengan bantuan. Upaya pencegahan: KPK menerbitkan panduan berupa Surat KPK Nomor B/1939/GAH.00/0 1-10/04/2020 tentang Penerimaan Sumbangan/Hibah dari Masyarakat.
"Ditujukan kepada Gugus Tugas dan seluruh kementerian/lembaga/pemda," ujarnya.
Ketiga, potensi korupsi pada proses refocusing dan realokasi anggaran Covid-19 untuk APBN dan APBD. Titik rawannya terletak pada alokasi sumber dana dan belanja serta pemanfaatan anggaran.
"Upaya pencegahan: Koordinasi, monitoring perencanaan refocusing/realokasi anggaran, dan memberikan rekomendasi kepada Kementerian/lembaga/pemda apabila menemukan ketidakwajaran penganggaran atau pengalokasian," kata Firli.
Keempat, potensi korupsi penyelenggaraan bantuan sosial (Social Safety Net) oleh pemerintah pusat dan daerah. KPK mengidentifikasi titik rawan pada pendataan penerima, klarifikasi dan validasi data, belanja barang, distribusi bantuan, serta pengawasan.
"Upaya pencegahan: mendorong Kementerian/Lembaga/Pemda untuk menggunakan DTKS sebagai rujukan pendataan penerima Bansos dan mendorong keterbukaan data penerima Bansos serta membuka saluran pengaduan masyarakat," jelasnya.