Target Penerimaan Pajak 2021 Diturunkan
loading...
A
A
A
TARGET penerimaan pajak untuk tahun depan dikoreksi. Penurunan penerimaan pajak dalam postur sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 tercatat sebesar Rp38,9 triliun. Dengan demikian target penerimaan pajak yang telah disepakati bersama Badan Anggaran (Banggar) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjadi sebesar Rp1.229,6 triliun.
Pemerintah beralasan penurunan target penerimaan pajak mengacu pada penyesuaian Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72/2020 di mana mematok penerimaan pajak sebesar Rp1.198,8 triliun hingga akhir tahun ini. Karena perbedaan target penerimaan pajak antara tahun ini dan tahun depan cukup signifikan yang mencapai 18% bisa menyebabkan implicit growth yang tinggi.
Sebagai konsekuensinya, pemerintah dengan sendirinya membenahi sejumlah sumber pajak, ada yang dinaikkkan dan sebaliknya ada pula yang diturunkan. Sumber pajak yang diturunkan di antaranya pajak penghasilan (PPh) non minyak dan gas (Migas) turun sebesar Rp20,7 triliun menjadi sebesar Rp68,1 triliun. Lalu pajak pertambahan nilai (PPN) turun sebesar Rp27,5 triliun. Sebaliknya, target penerimaan PPh dinaikkan dari sebesar Rp4,6 triliun menjadi sebesar Rp45,7 triliun dan penerimaan pajak lainnya ditingkatkan sebesar Rp4,7 triliun. Dan, pendapatan kepabeanan dan cukai naik sebesar Rp1,5 triliun menjadi sebesar Rp215,0 triliun. Apabila digabungkan target penerimaan pajak dan bea cukai mencapai sebesar Rp1.444,5 triliun atau mengalami penurunan sebesar Rp37,4 triliun dari sebelumnya dalam nota keuangan tercantum sebesar Rp1.481,9 triliun.
Lalu bagaimana kondisi penerimaan pajak sepanjang tahun ini yang dihajar pandemi Covid-19? Pihak Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu menyatakan sulit untuk meraih target penerimaan pajak pada tahun ini sebesar Rp1.198,8 triliun. Dengan demikian, sebagaimana dibeberkan Kepala BKF, Febrio Kacaribu target penerimaan pajak yang meleset akan berdampak pada keputusan pemerintah, apakah akan memperpanjang pemberian diskon PPh badan atau perusahaan pada tahun depan. Sepanjang semester satu 2020, realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp531,7 triliun atau sekitar 44,4% terhadap target yang dipatok dalam APBN. Dari angka penerimaan pajak itu telah terjadi kontraksi 12% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Kembali kepada postur sementara APBN 2021 selain mengoreksi penerimaan pajak juga melebarkan defisit anggaran. Sebagaimana telah disepakati antara Banggar DPR dengan Kemenkeu bahwa defisit anggaran telah dilebarkan menjadi sebesar Rp1.006,4 triliun ke level 5,7% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebelumnya, dalam pidato nota keuangan yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di depan anggota DPR, pada pertengahan Agustus lalu disebutkan defisit anggaran sebesar Rp971,2 triliun atau setara dengan 5,5% terhadap PDB. Adapun anggaran belanja negara ditetapkan sebesar Rp2.750,0 triliun, meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.954,5 triliun atau meningkat Rp3,3 triliun, anggaran transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp795,5 triliun atau naik sebesar Rp800 miliar.
Selain itu, anggaran pembiayaan utang ikut terkerek sebesar Rp34,9 triliun dari yang diusulkan sebesar Rp1.142 triliun menjadi sebesar Rp1.177,4 triliun menyusul melebarnya devisit anggaran. Sumber pembiayaan utang melalui penerbitan surat berharga negara netto yang mencapai sebesar Rp1.207,4 triliun. Selanjutnya, anggaran keseimbangan primer juga ikut naik sebesar Rp35,2 triliun dari sebelumnya sebesar Rp597,9 triliun menjadi sebesar Rp633,1 triliun. Dalam APBN yang dimaksudkan keseimbangan primer adalah penerimaan dikurangi belanja negara di luar komponen pembayaran bunga utang. Apabila keseimbangan primer surplus maka pemerintah tidak memerlukan utang baru untuk membayar pokok cicilan utang yang lama. Sebaliknya, bila keseimbangan primer minus maka pemerintah harus menerbitkan utang baru guna membayar pokok cicilan utang lama.
Setelah melalui sejumlah koreksi dalam postur sementra APBN 2021, pemerintah lalu mematok pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5,0% sebagai titik tengah dari pertumbuhan ekonomi yang ditawarkan dalam nota keuangan pada rentang 4,5% hingga 5,5%. Apakah target pertumbuhan ekonomi tidak terlalu optimistis? Yang jelas, sebagaimana ditekankan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, penetapan target tersebut sudah mempertimbangkan ketidakpastian sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Seharusnya ditambah dengan catatan pandemi Covid-19 sudah melandai dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah berakhir.
Pemerintah beralasan penurunan target penerimaan pajak mengacu pada penyesuaian Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72/2020 di mana mematok penerimaan pajak sebesar Rp1.198,8 triliun hingga akhir tahun ini. Karena perbedaan target penerimaan pajak antara tahun ini dan tahun depan cukup signifikan yang mencapai 18% bisa menyebabkan implicit growth yang tinggi.
Sebagai konsekuensinya, pemerintah dengan sendirinya membenahi sejumlah sumber pajak, ada yang dinaikkkan dan sebaliknya ada pula yang diturunkan. Sumber pajak yang diturunkan di antaranya pajak penghasilan (PPh) non minyak dan gas (Migas) turun sebesar Rp20,7 triliun menjadi sebesar Rp68,1 triliun. Lalu pajak pertambahan nilai (PPN) turun sebesar Rp27,5 triliun. Sebaliknya, target penerimaan PPh dinaikkan dari sebesar Rp4,6 triliun menjadi sebesar Rp45,7 triliun dan penerimaan pajak lainnya ditingkatkan sebesar Rp4,7 triliun. Dan, pendapatan kepabeanan dan cukai naik sebesar Rp1,5 triliun menjadi sebesar Rp215,0 triliun. Apabila digabungkan target penerimaan pajak dan bea cukai mencapai sebesar Rp1.444,5 triliun atau mengalami penurunan sebesar Rp37,4 triliun dari sebelumnya dalam nota keuangan tercantum sebesar Rp1.481,9 triliun.
Lalu bagaimana kondisi penerimaan pajak sepanjang tahun ini yang dihajar pandemi Covid-19? Pihak Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu menyatakan sulit untuk meraih target penerimaan pajak pada tahun ini sebesar Rp1.198,8 triliun. Dengan demikian, sebagaimana dibeberkan Kepala BKF, Febrio Kacaribu target penerimaan pajak yang meleset akan berdampak pada keputusan pemerintah, apakah akan memperpanjang pemberian diskon PPh badan atau perusahaan pada tahun depan. Sepanjang semester satu 2020, realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp531,7 triliun atau sekitar 44,4% terhadap target yang dipatok dalam APBN. Dari angka penerimaan pajak itu telah terjadi kontraksi 12% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Kembali kepada postur sementara APBN 2021 selain mengoreksi penerimaan pajak juga melebarkan defisit anggaran. Sebagaimana telah disepakati antara Banggar DPR dengan Kemenkeu bahwa defisit anggaran telah dilebarkan menjadi sebesar Rp1.006,4 triliun ke level 5,7% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebelumnya, dalam pidato nota keuangan yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di depan anggota DPR, pada pertengahan Agustus lalu disebutkan defisit anggaran sebesar Rp971,2 triliun atau setara dengan 5,5% terhadap PDB. Adapun anggaran belanja negara ditetapkan sebesar Rp2.750,0 triliun, meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.954,5 triliun atau meningkat Rp3,3 triliun, anggaran transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp795,5 triliun atau naik sebesar Rp800 miliar.
Selain itu, anggaran pembiayaan utang ikut terkerek sebesar Rp34,9 triliun dari yang diusulkan sebesar Rp1.142 triliun menjadi sebesar Rp1.177,4 triliun menyusul melebarnya devisit anggaran. Sumber pembiayaan utang melalui penerbitan surat berharga negara netto yang mencapai sebesar Rp1.207,4 triliun. Selanjutnya, anggaran keseimbangan primer juga ikut naik sebesar Rp35,2 triliun dari sebelumnya sebesar Rp597,9 triliun menjadi sebesar Rp633,1 triliun. Dalam APBN yang dimaksudkan keseimbangan primer adalah penerimaan dikurangi belanja negara di luar komponen pembayaran bunga utang. Apabila keseimbangan primer surplus maka pemerintah tidak memerlukan utang baru untuk membayar pokok cicilan utang yang lama. Sebaliknya, bila keseimbangan primer minus maka pemerintah harus menerbitkan utang baru guna membayar pokok cicilan utang lama.
Setelah melalui sejumlah koreksi dalam postur sementra APBN 2021, pemerintah lalu mematok pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5,0% sebagai titik tengah dari pertumbuhan ekonomi yang ditawarkan dalam nota keuangan pada rentang 4,5% hingga 5,5%. Apakah target pertumbuhan ekonomi tidak terlalu optimistis? Yang jelas, sebagaimana ditekankan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, penetapan target tersebut sudah mempertimbangkan ketidakpastian sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Seharusnya ditambah dengan catatan pandemi Covid-19 sudah melandai dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah berakhir.
(ras)