BMKG: Kelembaban Udara Picu Peningkatan Kasus DBD di Tanah Air
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Bidang Informasi Iklim Terapan pada Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) , Marzuki mengungkapkan kelembaban udara menjadi pemicu peningkatan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Tanah Air.
Marzuki mengatakan, awalnya BMKG memperkirakan puncak musim hujan di suatu daerah, misalnya antara Januari-Februari, maka setelahnya diikuti oleh puncak DBD. "Itu waktu kesimpulan awalnya itu kira-kira," katanya dalam webinar 'Antisipasi Penyebaran Penyakit DBD di tengah Pandemi COVID-19 dengan Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kesehatan', Selasa (15/9/2020).
Kemudian, menurut Marzuki, pihaknya dibantu pakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengeksplorasi apakah kejadian puncak DBD berkorelasi dengan puncak musim penghujan. "Kami dibantu oleh tim Litbang kemudian juga dari pakar pakar ITB mengeksplorasi data-data yang dimiliki disandingkan dengan kejadian DBD. Apakah dari data iklim itu, misalnya hari hujannya misalnya, yang sangat berpengaruh, atau suhunya, atau curah hujannya, atau kelembabannya dan lain sebagainya." ( )
"Jadi semua elemen iklim yang mungkin bisa menjabarkan kita coba analisis, kita hubungkan agar memiliki reason atau alasan-alasan ilmiah, sehingga bisa dikaitkan dengan kejadian DBD pada suatu waktu," kata Marzuki.
Ternyata, kata Marzuki, semua unsur iklim itu hampir memiliki hubungan dengan kejadian DBD. "Namun yang paling konsisten tampaknya dari seluruh itu adalah kelembaban. Memang terjadi korelasi kuat dengan kelembaban udara dan ini sangat konsisten. Artinya outbreak ditemukan berkorelasi dengan ambang batas kelembaban. Kemudian yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kasus DBD itu meningkat di atas level baseline saat kelembabannya itu di atas 75%," katanya.
Marzuki mengatakan, berdasarkan fakta-fakta ilmiah tersebut, maka BMKG telah menyiapkan beberapa langkah atau pun rencana dalam hal mitigasi. "Tentunya juga dengan adaptasi dalam jangka panjang gitu. Bagaimana kalau misalnya kita menyusun sebuah sistem prediksi yang bisa menduga penyakit DBD berdasarkan dari kondisi iklim," katanya. ( )
Marzuki mengatakan, awalnya BMKG memperkirakan puncak musim hujan di suatu daerah, misalnya antara Januari-Februari, maka setelahnya diikuti oleh puncak DBD. "Itu waktu kesimpulan awalnya itu kira-kira," katanya dalam webinar 'Antisipasi Penyebaran Penyakit DBD di tengah Pandemi COVID-19 dengan Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kesehatan', Selasa (15/9/2020).
Kemudian, menurut Marzuki, pihaknya dibantu pakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengeksplorasi apakah kejadian puncak DBD berkorelasi dengan puncak musim penghujan. "Kami dibantu oleh tim Litbang kemudian juga dari pakar pakar ITB mengeksplorasi data-data yang dimiliki disandingkan dengan kejadian DBD. Apakah dari data iklim itu, misalnya hari hujannya misalnya, yang sangat berpengaruh, atau suhunya, atau curah hujannya, atau kelembabannya dan lain sebagainya." ( )
"Jadi semua elemen iklim yang mungkin bisa menjabarkan kita coba analisis, kita hubungkan agar memiliki reason atau alasan-alasan ilmiah, sehingga bisa dikaitkan dengan kejadian DBD pada suatu waktu," kata Marzuki.
Ternyata, kata Marzuki, semua unsur iklim itu hampir memiliki hubungan dengan kejadian DBD. "Namun yang paling konsisten tampaknya dari seluruh itu adalah kelembaban. Memang terjadi korelasi kuat dengan kelembaban udara dan ini sangat konsisten. Artinya outbreak ditemukan berkorelasi dengan ambang batas kelembaban. Kemudian yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kasus DBD itu meningkat di atas level baseline saat kelembabannya itu di atas 75%," katanya.
Marzuki mengatakan, berdasarkan fakta-fakta ilmiah tersebut, maka BMKG telah menyiapkan beberapa langkah atau pun rencana dalam hal mitigasi. "Tentunya juga dengan adaptasi dalam jangka panjang gitu. Bagaimana kalau misalnya kita menyusun sebuah sistem prediksi yang bisa menduga penyakit DBD berdasarkan dari kondisi iklim," katanya. ( )
(abd)