Data Nomor Ponsel Siswa untuk Bantuan Internet Diduga Dimanfaatkan Cakada
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020 baru mulai pendaftaran bakal pasangan calon (bapaslon). Namun, para paslon dan tim sukses sudah bekerja untuk memenangkan pertarungan.
Bagi para paslon, pilkada ini pertarungan terbuka, maka mereka tidak boleh kalah cepat dalam memanaskan mesin. Sayangnya, cara-cara yang digunakan kadang-kadang kerap melanggar aturan.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkapkan ada permintaan nomor-nomor handphone siswa kelas XII yang diduga dilakukan jajaran dinas pendidikan di beberapa daerah. Siswa kelas XII itu merupakan pemilih pemula dna potensial dalam pilkada.
“Permintaan nomor handphone ini bersamaan waktunya atau memanfaatkan momen input data nomor handphone siswa ke dalam dapodik (data pokok pendidikan) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud),” ujar Sekjen FSGI Heru Purnomo dalam konferensi pers daring, Minggu (13/9/2020).
(Baca: Kemendikbud akan Beri Bantuan Kuota Internet pada 25% Mahasiswa)
Pendataan oleh sekolah itu sebenarnya untuk memperoleh bantuan kuota internet peserta didik. Tentu data nomor handphone itu bisa dimanfaatkan untuk kampanye terselubung.
Heru menjelaskan permintaan data nomor ponsel para siswa itu disampaikan langsung ke kepala sekolah, baik SMA maupun SMK. “FSGI mendapatkan laporan adanya perintah pencatatan nomor handphone alumni di jenjang pendidikan SMA/SMK dan diserahkan kepada calon kepala daerah,” ucapnya.
Padahal, menurut Heru, perintah itu tidak ada kaitannya dengan kewajiban pejabat pembina kepegawaian (PPK) dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa. Pemilih pemula menjadi target calon kepala daerah karena jumlahnya mencapai 30 persen dari total pemilih. “Patut diduga, permintaan itu adanya kaitannya dengan kepentingan pribadi calon tertentu,” tegasnya.
(Baca: 243 Pelanggaran Protokol Kesehatan Pilkada Dinilai Ceroboh dan Memalukan)
FSGI menjabarkan permintaan data nomor-nomor handphone itu diduga melanggar sejumlah aturan. Salah satunya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintah.
“Diatur adanya asas umum pemerintahan yang baik dimana pejabat publik seharusnya tidak memiliki konflik kepentingan. Juga pejabat tata usaha negara dilarang memiliki konflik kepentingan,” pungkasnya.
Bagi para paslon, pilkada ini pertarungan terbuka, maka mereka tidak boleh kalah cepat dalam memanaskan mesin. Sayangnya, cara-cara yang digunakan kadang-kadang kerap melanggar aturan.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkapkan ada permintaan nomor-nomor handphone siswa kelas XII yang diduga dilakukan jajaran dinas pendidikan di beberapa daerah. Siswa kelas XII itu merupakan pemilih pemula dna potensial dalam pilkada.
“Permintaan nomor handphone ini bersamaan waktunya atau memanfaatkan momen input data nomor handphone siswa ke dalam dapodik (data pokok pendidikan) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud),” ujar Sekjen FSGI Heru Purnomo dalam konferensi pers daring, Minggu (13/9/2020).
(Baca: Kemendikbud akan Beri Bantuan Kuota Internet pada 25% Mahasiswa)
Pendataan oleh sekolah itu sebenarnya untuk memperoleh bantuan kuota internet peserta didik. Tentu data nomor handphone itu bisa dimanfaatkan untuk kampanye terselubung.
Heru menjelaskan permintaan data nomor ponsel para siswa itu disampaikan langsung ke kepala sekolah, baik SMA maupun SMK. “FSGI mendapatkan laporan adanya perintah pencatatan nomor handphone alumni di jenjang pendidikan SMA/SMK dan diserahkan kepada calon kepala daerah,” ucapnya.
Padahal, menurut Heru, perintah itu tidak ada kaitannya dengan kewajiban pejabat pembina kepegawaian (PPK) dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa. Pemilih pemula menjadi target calon kepala daerah karena jumlahnya mencapai 30 persen dari total pemilih. “Patut diduga, permintaan itu adanya kaitannya dengan kepentingan pribadi calon tertentu,” tegasnya.
(Baca: 243 Pelanggaran Protokol Kesehatan Pilkada Dinilai Ceroboh dan Memalukan)
FSGI menjabarkan permintaan data nomor-nomor handphone itu diduga melanggar sejumlah aturan. Salah satunya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintah.
“Diatur adanya asas umum pemerintahan yang baik dimana pejabat publik seharusnya tidak memiliki konflik kepentingan. Juga pejabat tata usaha negara dilarang memiliki konflik kepentingan,” pungkasnya.
(muh)