243 Pelanggaran Protokol Kesehatan Pilkada Dinilai Ceroboh dan Memalukan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Analis Politik Exposit Strategic Arif Susanto mengatakan bahwa pandemi Covid-19 saat ini seharusnya mendorong penyelenggara Pemilu untuk melakukan transformasi dalam Pilkada. Arif menilai terjadinya 243 pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran Pilkada 2020 adalah ketidakdisiplinan peserta dan pendukungnya maupun penyelenggara.
Arif pun menyayangkan bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hanya bisa mencatatnya. "Tapi 243 pelanggaran protokol kesehatan dalam tiga hari itu sesuatu yang ceroboh sekaligus memalukan kalau bagi saya," ujar Arif Susanto kepada SINDOnews, Minggu (13/9/2020).
(Baca: Satu Balon Pilkada Trenggalek Positif COVID-19, Tahapan Pilkada Ditunda)
Dikatakan ceroboh, lanjut Arif, karena pengunduran Pilkada serentak 2020 dari 23 September 2020 ke 9 Desember 2020 diputuskan pada Mei lalu. "Ya mestinya dalam jangka sekitar 4 bulan itu semua perangkat sudah harus siap, terutama penyelenggara, kita bisa lihat bahwa kelihatan kan bahwa penyelenggara tidak mengantisipasi, yang diantisipasi itu kan cuma yang ada di ruangan," ungkapnya.
Selain di dalam ruangan, dia menilai masalah terjadi di luar ruangan saat pendaftaran bakal calon kepala daerah. Saat itu, tidak sedikit pasangan bakal calon membawa pendukungnya dengan arak-arakan.
"Kalau saya melihat kenapa kok kecerobohan semacam ini bisa terjadi, salah satu penyebabnya kan karena pasangan calon itu kan hampir semua dadakan, hampir semua pasangan calon itu mendapat rekomendasi dari partai-partai pendukung itu last minute, akibatnya mereka hanya punya waktu sedikit untuk jangan kan dipilih ya, dikenal aja mungkin sebagian juga enggak dikenal, itu sebabnya mereka merasa perlu membawa arak-arakan itu," imbuhnya.
Padahal, menurut dia, keterkenalan maupun keterpilihan itu hasil investasi jangka panjang. "Jadi yang keliru adalah pelembagaan rekrutmen di dalam partai politik itu ceroboh," katanya.
(Baca: Komisi II DPR: Belum Ada Pemikiran Menunda Pilkada 2020)
Selain itu, dia menilai 243 pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran Pilkada 2020 adalah hal memalukan karena mata dunia saat ini sedang tertuju pada Indonesia. Karena, kata dia, jumlah negara yang menyelenggarakan Pemilu atau Pilkada di tengah Pandemi Covid-19 sekarang ini bisa dihitung dengan jari.
"Kita bisa melihat misalnya apa yang baik dari Korea Selatan, apa yang salah dari Srilangka, kan begitu. Nah sekarang ini waktunya dunia belajar dari Indonesia, sayangnya kan belajarnya itu belajar tentang keburukan, kan mestinya enggak begitu," ujarnya.
Kemudian, dia mengatakan, kritik ataupun kekhawatiran sejumlah pihak atas penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 seharusnya dijadikan acuan bagi penyelenggara sejak awal. "Bahwa kondisi Pandemi itu mestinya mendorong KPU dan penyelenggara untuk melakukan transformasi dalam Pilkada. Contoh nih, ya enggak perlu lagi ada kampanye pengumpulan massa, tatap muka itu boleh hanya dalam bukan hanya jumlah yang harus diatur, tetapi juga waktu, kalau misalnya nih kampanye dilakukan lebih dari satu jam, kampanye daring kan jauh lebih memungkinkan dan itu menaikkan level kualitas penyelenggara Pilkada, artinya kita harus bersiap dengan siber demokrasi, demokrasi siber," pungkasnya.
Arif pun menyayangkan bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hanya bisa mencatatnya. "Tapi 243 pelanggaran protokol kesehatan dalam tiga hari itu sesuatu yang ceroboh sekaligus memalukan kalau bagi saya," ujar Arif Susanto kepada SINDOnews, Minggu (13/9/2020).
(Baca: Satu Balon Pilkada Trenggalek Positif COVID-19, Tahapan Pilkada Ditunda)
Dikatakan ceroboh, lanjut Arif, karena pengunduran Pilkada serentak 2020 dari 23 September 2020 ke 9 Desember 2020 diputuskan pada Mei lalu. "Ya mestinya dalam jangka sekitar 4 bulan itu semua perangkat sudah harus siap, terutama penyelenggara, kita bisa lihat bahwa kelihatan kan bahwa penyelenggara tidak mengantisipasi, yang diantisipasi itu kan cuma yang ada di ruangan," ungkapnya.
Selain di dalam ruangan, dia menilai masalah terjadi di luar ruangan saat pendaftaran bakal calon kepala daerah. Saat itu, tidak sedikit pasangan bakal calon membawa pendukungnya dengan arak-arakan.
"Kalau saya melihat kenapa kok kecerobohan semacam ini bisa terjadi, salah satu penyebabnya kan karena pasangan calon itu kan hampir semua dadakan, hampir semua pasangan calon itu mendapat rekomendasi dari partai-partai pendukung itu last minute, akibatnya mereka hanya punya waktu sedikit untuk jangan kan dipilih ya, dikenal aja mungkin sebagian juga enggak dikenal, itu sebabnya mereka merasa perlu membawa arak-arakan itu," imbuhnya.
Padahal, menurut dia, keterkenalan maupun keterpilihan itu hasil investasi jangka panjang. "Jadi yang keliru adalah pelembagaan rekrutmen di dalam partai politik itu ceroboh," katanya.
(Baca: Komisi II DPR: Belum Ada Pemikiran Menunda Pilkada 2020)
Selain itu, dia menilai 243 pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran Pilkada 2020 adalah hal memalukan karena mata dunia saat ini sedang tertuju pada Indonesia. Karena, kata dia, jumlah negara yang menyelenggarakan Pemilu atau Pilkada di tengah Pandemi Covid-19 sekarang ini bisa dihitung dengan jari.
"Kita bisa melihat misalnya apa yang baik dari Korea Selatan, apa yang salah dari Srilangka, kan begitu. Nah sekarang ini waktunya dunia belajar dari Indonesia, sayangnya kan belajarnya itu belajar tentang keburukan, kan mestinya enggak begitu," ujarnya.
Kemudian, dia mengatakan, kritik ataupun kekhawatiran sejumlah pihak atas penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 seharusnya dijadikan acuan bagi penyelenggara sejak awal. "Bahwa kondisi Pandemi itu mestinya mendorong KPU dan penyelenggara untuk melakukan transformasi dalam Pilkada. Contoh nih, ya enggak perlu lagi ada kampanye pengumpulan massa, tatap muka itu boleh hanya dalam bukan hanya jumlah yang harus diatur, tetapi juga waktu, kalau misalnya nih kampanye dilakukan lebih dari satu jam, kampanye daring kan jauh lebih memungkinkan dan itu menaikkan level kualitas penyelenggara Pilkada, artinya kita harus bersiap dengan siber demokrasi, demokrasi siber," pungkasnya.
(muh)