Revisi UU Kejaksaan Tidak Boleh Beri Kewenangan Berlebihan

Kamis, 10 September 2020 - 14:13 WIB
loading...
Revisi UU Kejaksaan...
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Trimedya Panjaitan menilai, revisi UU Kejaksaan tidak boleh memberikan kewenangan yang luas dan berlebihan kepada Kejaksaan, jaksa, dan Jaksa Agung. FOTO/DOK.OKEZONE
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Trimedya Panjaitan menilai, perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ( UU Kejaksaan ) tidak boleh memberikan kewenangan yang luas dan berlebihan kepada Kejaksaan, jaksa, dan Jaksa Agung.

Trimedya Panjaitan menyatakan, revisi atas UU Kejaksaan saat ini memang sedang bergulir di DPR. Usulan revisi telah sampai di Badan Legislasi (Baleg) DPR dan sedang tahap sinkronisasi atau harmonisasi. Berdasarkan informasi yang diperoleh Trimedya, memang Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi sudah hadir menyampaikan pandangan Kejaksaan dalam Rapat Kerja bersama pada Rabu (2/9/2020).

Jika melihat isi draf RUU Kejaksaan yang beredar di publik, kata Trimedya, maka tampak sejumlah perubahan yang mencolok dan signifikan. Perubahan-perubahan tersebut, kata dia, terlalu berlebihan. Pasalnya, akan ada kewenangan luas bagi Kejaksaan, jaksa, dan Jaksa Agung. Kewenangan luas atau berlebihan itu cenderung menjadikan Kejaksaan sebagai lembaga yang superbody. ( )

"Menurut saya, secara umum tidak boleh ada lembaga yang superbody. Kejaksaan masak mau menjelma menjadi superbody. Kewenangannya tidak boleh luas banget. Kalau luas kewenangannya kan dia superbody. Ya kalau sampai DPR setujui, saya nggak ngerti bagaimana mindset-nya," kata Trimedya saat berbincang dengan SINDOnews, Kamis (10/9/2020).

Rencana pemberian kewenangan baru Jaksa Agung yaitu mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer, harus ditinjau ulang. Musababnya, menurut dia, jangan sampai kewenangan itu malah mengambil alih kewenangan koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Kalau kewenangan itu (kewenangan Jaksa Agung) seperti itu, ini terlalu berlebihan. Nanti yang muncul kan rivalitas antarlembaga. Kejaksaan merasa (sebelumnya) dia lembaga yang lebih tua masak dia seperti tunduk pada KPK," katanya.

Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR ini mengungkapkan, syarat baru bagi calon Jaksa Agung yakni harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa, juga tidak bisa dibenarkan. Dia membenarkan, kewenangan mengangkat atau menunjuk seseorang menjadi Jaksa Agung adalah hak prerogatif Presiden yang tidak bisa dibatasi. Syarat seorang calon Jaksa Agung harus lulus pendidikan dan pelatihan seperti itu pun menutup peluang bagi pihak di luar Korps Adhyaksa. ( )

"Kalau begitu kan mengisyaratkan bahwa Jaksa Agung itu harus jaksa karir kan. Ya nggak bisa dong," ujarnya.

Trimedya mengatakan, hingga kini Komisi III lebih khusus Kelompok Fraksi (Poksi) PDIP belum menerima salinan resmi draf RUU Kejaksaan dari Baleg DPR. Alasannya saat ini masih dalam proses sinkronisasi atau harmonisasi di Baleg. Fraksi PDIP masih menunggu draf resminya untuk kemudian dilihat dan dipetakan pasal-pasal krusial. Di sisi lain, DPR secara kelembagaan tentu juga masih menunggu Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah atas RUU Kejaksaan.

"Kita lihat aja nanti. Tentu kita akan diskusikan di Fraksi secara detail, internal Fraksi PDIP. Kita juga mau tahu DIM-nya pemerintah seperti apa," katanya.

Hakikatnya, tutur Trimedya, revisi UU Kejaksaan dan pembahasan RUU-nya harus dijadikan sebagai momentum untuk membenahi criminal justice system di Indonesia. Artinya kewenangan Kejaksaan dikembalikan hanya untuk menuntut perkara bukan malah menyelidiki, menyidik, hingga menuntut di persidangan. Artinya, kata dia, kewenangan menyidik diserahkan saja ke Kepolisian dan menyidik kasus tindak tindak pidana khusus yakni korupsi diserahkan ke KPK.

Trimedya lantas menyoroti kasus teranyar yang ditangani Kejaksaan Agung. Kasus tersebut yakni dugaan suap jaksa Pinangki Sirna Malasari yang terkait dengan terpidana Djoko Soegiarto Tjandra. Dengan tiga kewenangan seperti tadi, maka dalam kasus Pinangki bisa saja terjadi potensi konflik kepentingan.

"Kan kalau ini (kewenangan Kejaksaan), lihat aja kayak (kasus) Pinangki, dia (Kejaksaan) yang menyidik dia juga yang menuntut nanti," ungkapnya.

Dia menambahkan, kemungkinan besar pembahasan draf RUU Kejaksaan di DPR akan berlangsung alot dan agak panjang. Alasannya, berbagai perubahan yang ada akan memunculkan 'diskusi' intens di DPR. Di sisi lain, menurut Trimedya, DPR harus terbuka atas semua proses yang berlangsung di Gedung Dewan serta melibatkan unsur masyarakat saat pembahasan berlangsung.

"Harus ada partisipasi masyarakat. Kan ada RDPU (Rapar Dengar Pendapat Umum). Nah di RDPU ini lah unsur masyarakat dilibatkan dalam pembahasan. Kan untuk membentuk undang-undang ada tiga unsur yang harus diperhatikan, landasan sosiologis, filosofis, dan yuridis. Nah sosiologis itulah ada keterlibatan masyarakat," kata Trimedya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1890 seconds (0.1#10.140)