Sertifikasi Dai: Antara Radikalisme dan Kontrol Agama
loading...
A
A
A
JAKARTA - Program Kementerian Agama (Kemenag) tentang dai atau penceramah besertifikat menjadi polemik di masyarakat. Program ini dinilai sebagai bentuk kontrol kehidupan beragama di masyarakat.
Program ini dikhawatirkan akan menjadi bentuk intervensi pemerintah dalam menentukan siapa saja dai yang berhak berbicara di hadapan umat. Di sisi lain, pemerintah menegaskan program ini merupakan upaya untuk meminimalkan potensi penyebaran paham radikalisme di tengah masyarakat. Selama ini banyak dai yang dinilai terpapar pemikiran radikal dan mendukung paham-paham yang merongrong ideologi negara. (Baca: Mengenalkan Ketauhidan Sejak Dini pada Anak)
Mereka terang-terangan menyampaikan pandangan-pandangan keagamaan mereka secara terbuka di berbagai forum majelis taklim, khotbah Jumat, hingga kuliah tujuh menit (kultum) seusai salat fardu. Akibatnya banyak kalangan umat Islam yang disinyalir bersimpati dan mendukung berbagai pandangan keagamaan yang keras serta kaku.
Pandangan ini misalnya tecermin dari pendapat bahwa NKRI bukanlah representasi dari negara Islam, demokrasi bertentangan dengan Islam, hingga tuntutan untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Di level lebih tinggi, sebagian muslim rela melakukan aksi kekerasan yang dibungkus dengan semangat jihad.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan, saat ini radikalisme telah menyasar di banyak kalangan terutama kalangan muda. BNPT menyebut paham radikalisme ini misalnya telah masuk di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia.
Bahkan BNPT menyebut secara spesifik para mahasiswa jurusan dan program studi bidang kedokteran serta eksakta yang banyak terpapar pemahaman radikal. BNPT juga telah mensinyalir para aparatur sipil negara (ASN) juga banyak terpapar dengan cara pandang keagamaan yang keras dan kaku.
Mereka tersebar di kementerian/lembaga (K/L) negara hingga badan usaha milik negara (BUMN). Kendati demikian, BNPT tidak menyebut secara spesifik nama K/L maupun identitas dan jumlah ASN yang terpapar paham radikalisme. (Baca juga: Pandemi, UI Tetap Berlakukan PJJ Pada Tahun Ajaran Baru)
Fakta-fakta ini mendorong pengambilan langkah tegas dari pemerintah untuk melakukan pencegahan dini terhadap penyebaran paham radikalisme. Beberapa langkah tersebut di antaranya pelarangan penggunaan seragam ASN yang tidak sesuai ketentuan hingga program sertifikasi bagi para penceramah atau dai.
"Ini sudah akan segera jalan, mulai bulan ini dan kalau ini sudah jalan tolong tanpa diumumkan, tolong yang diundang nanti kalau penceramah-penceramah di rumah-rumah ibadah kita, khususnya di lingkungan ASN, hanya mereka yang sudah dibekali sertifikat, penceramah besertifikat," ujar Menteri Agama Fachrul Razi dalam webinar”Strategi Menangkal Radikalisme pada Aparatur Sipil Negara”, Rabu (2/9/2020).
Kepala Bidang Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad mengatakan, munculnya wacana sertifikasi dai menimbulkan kekhawatiran untuk membatasi penceramah-penceramah yang tidak besertifikat sehingga menimbulkan terjadinya diskriminasi.
"Nanti yang boleh bicara itu yang besertifikat saja, sementara yang tidak besertifikat tidak boleh bicara. Itu yang dikhawatirkan kalau ada regulasi ke depan tentang hal itu," katanya.
Guru besar sosiologi agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Gunung Djati Bandung ini mengatakan, sertifikasi dai itu juga tidak akan efektif karena kebutuhan ceramah itu berbeda-beda kualifikasinya.
"Ada masyarakat yang senang ustaz ini, ada yang suka itu. Penceramah agama itu kan keyakinan, bukan sesuatu yang diformalkan, dipaksakan begitu saja tentang sosok penceramah itu. Biasanya sosok penceramah itu kan didaulatnya oleh masyarakat," katanya. (Baca juga: Ternyata Tidur Bisa Cegah Alzheimer)
Dadang mendukung sertifikasi dai dilakukan bagi penceramah-penceramah atau penyuluh agama yang berada di subordinat Kemenag seperti mereka yang bertugas di kantor-kantor urusan agama (KUA). "Itu silakan, baik. Bahkan kalau perlu ditingkatkan kualifikasi yang diharapkan masyarakat tentang kemampuan orasinya, materi yang dia bawakan sehingga mungkin penceramah-penceramah swasta tidak usah karena sudah dicukupi," katanya.
Namun, kata Dadang, kondisi yang terjadi saat itu, penceramah agama yang berstatus ASN itu belum mencukupi dan kualifikasinya juga mungkin belum sesuai harapan masyarakat sehingga masyarakat lebih banyak menggunakan penceramah-penceramah yang mereka anggap cocok untuk kepentingan keagamaan mereka.
Di sisi lain, variasi aliran di suatu agama di Indonesia itu terlalu banyak, baik yang ada di Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan agama lainnya. "Belum lagi soal psychological group yang mungkin cocoknya dengan ini, itu akan sulit dibatasi," katanya. (Baca juga: Kasus Positif Covid-19 Kian Mengkhawatirkan, Rumah Sakit di Ambang Kolaps)
Dadang juga mempertanyakan bagaimana konsekuensi yang bakal diterima bagi penceramah yang nantinya memiliki sertifikat dai. "Kalau seperti Malaysia, semua penceramah, imam itu kan digaji negara, jadi negara berhak memberikan apa pun, pendampingan apa pun. Kalau di Indonesia kan kebanyakan tidak digaji pemerintah. Kalau konsekuensinya yang besertifikat semacam guru honorer ada konsekuensi kelayakan gaji, itu bagus," tuturnya.
Dadang mengatakan, jika kekhawatiran pemerintah sehingga menganggap penceramah perlu disertifikasi karena faktor keamanan nasional, misalnya adanya kekhawatiran penceramah-penceramah tertentu bakal menyebarkan paham radikalisme, maka hal yang perlu dilakukan adalah melakukan identifikasi siapa penceramah yang dinilai menyebarkan narasi-narasi membahayakan dalam ceramahnya.
"Tinggal dilihat saja sekarang siapa penceramah yang melanggar hukum, melanggar konstitusi, itulah yang diproses hukum. Jadi tidak berbentuk seperti sertifikasi. Tampaknya gimmick-nya agak formal. Kita khawatirkan ini ada berbagai macam aliran, terus pemerintah pasti didominasi aliran tertentu, kita khawatirkan ada diskriminasi terhadap yang berbeda aliran," katanya. (Baca juga: Lebih dari 1 Miliar Orang Beresiko Mengungsi pada 2020)
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud mengatakan, polemik mengenai sertifikasi dai ini muncul di era Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin. Marsudi sudah menyampaikan bahwa jika tujuan sertifikasi dai ini dimaksudkan untuk peningkatan kapasitas dai, itu langkah yang baik.
"Ini agar para dai itu mempunyai kemampuan yang berstandar atau untuk upgrading agar jelas keilmuannya, itu adalah baik. Jadi NU mendukung itu dilaksanakan kalau tujuannya itu untuk upgrading," ucapnya.
Namun, Marsudi menegaskan, jika sertifikasi itu dilakukan pelaksananya bukan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama atau Majelis Ulama Indonesia (MUI), namun organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, atau Persis. "Misalnya orang NU ya disertifikasi oleh NU, orang Muhammadiyah ya disertifikasi oleh Muhammadiyah, orang Persis ya oleh Persis," tuturnya.
Dengan begitu, jika nanti di lapangan ada hal-hal yang kurang tepat maka pihak yang mengeluarkan sertifikat ada tanggung jawabnya. "Kenapa Anda keluarkan sertifikat? Wong orangnya kaya gitu, misalnya. Itu memudahkan daripada dipegang oleh Kementerian Agama atau oleh MUI. Jadi ada yang bertanggung jawab penuh tentang keilmuan keagamaan yang sifatnya itu ilmu ketuhanan yang silsilah keilmuannya saja itu harus nyambung sampai Tuhan, otoritatif Tuhan ketika ngomong keagamaan," katanya. (Baca juga: Jokowi Minta Semua Pihak Merancang Ulang Pembinaan Atlet)
Bagaimana dengan penceramah yang bukan berasal dari latar belakang lembaga yang tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikasi, menurut Marsudi, mereka bisa menginduk kepada salah satu lembaga yang diberikan kewenangan mengeluarkan sertifikat.
Alasannya, sertifikasi dai diperlukan karena ke depan orang membutuhkan profesionalisme yang terukur. Dia mencontohkan profesi dosen yang bisa mengajar S-1, mereka minimal harus berpendidikan S-2 atau magister.
"Itu kan sertifikasi. Ini untuk menolong masyarakat agar kemampuan orang itu terukur. Jangan asal dipanggil ustaz. Kalau di NU sesungguhnya sertifikasi itu sudah ada sejak dulu. Lha wong keluar pesantren saja sudah bisa dilihat ini tamatan mana, Lirboyo? Berapa tahun (di pesantren)? Oh sekian, itu sudah sertifikasi," katanya.
Mengenai adanya narasi bahwa sertifikasi dai dilakukan sebagai upaya menangkal paham radikalisme, Marsudi Syuhud mengatakan bahwa itu hanya alasan penyerta saja. Hal terpenting ialah adanya standardisasi keilmuan. "Bukan orang yang belajar Alqurannya saja lewat Google, gitu kemudian jadi ustaz? Yang penting bisa ndabrul gitu," tuturnya. (Lihat videonya: Limbah Medis Rumah Sakit Mencemari Sungai Cisadane)
Dengan adanya sertifikasi dai, kata Marsudi, ke depan masyarakat akan semakin paham dengan kapasitas penceramah tersebut. "Pokoknya jangan diambil sertifikasi itu oleh pemerintah atau MUI, biarlah oleh organisasi masing-masing. Kalau dilakukan pemerintah atau MUI, macam-macam kelemahannya. Itu akan jadi bisnis tersendiri. Kalau NU misalnya sudah tamatan (Ponpes) Tebuireng, itu kan sudah tahu kadarnya berapa itu. Enggak akan kuatlah pemerintah ngurusi sertifikasi jutaan orang. Sudahlah sistem yang sudah ada saja," katanya. (Abdul Rochim)
Program ini dikhawatirkan akan menjadi bentuk intervensi pemerintah dalam menentukan siapa saja dai yang berhak berbicara di hadapan umat. Di sisi lain, pemerintah menegaskan program ini merupakan upaya untuk meminimalkan potensi penyebaran paham radikalisme di tengah masyarakat. Selama ini banyak dai yang dinilai terpapar pemikiran radikal dan mendukung paham-paham yang merongrong ideologi negara. (Baca: Mengenalkan Ketauhidan Sejak Dini pada Anak)
Mereka terang-terangan menyampaikan pandangan-pandangan keagamaan mereka secara terbuka di berbagai forum majelis taklim, khotbah Jumat, hingga kuliah tujuh menit (kultum) seusai salat fardu. Akibatnya banyak kalangan umat Islam yang disinyalir bersimpati dan mendukung berbagai pandangan keagamaan yang keras serta kaku.
Pandangan ini misalnya tecermin dari pendapat bahwa NKRI bukanlah representasi dari negara Islam, demokrasi bertentangan dengan Islam, hingga tuntutan untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Di level lebih tinggi, sebagian muslim rela melakukan aksi kekerasan yang dibungkus dengan semangat jihad.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan, saat ini radikalisme telah menyasar di banyak kalangan terutama kalangan muda. BNPT menyebut paham radikalisme ini misalnya telah masuk di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia.
Bahkan BNPT menyebut secara spesifik para mahasiswa jurusan dan program studi bidang kedokteran serta eksakta yang banyak terpapar pemahaman radikal. BNPT juga telah mensinyalir para aparatur sipil negara (ASN) juga banyak terpapar dengan cara pandang keagamaan yang keras dan kaku.
Mereka tersebar di kementerian/lembaga (K/L) negara hingga badan usaha milik negara (BUMN). Kendati demikian, BNPT tidak menyebut secara spesifik nama K/L maupun identitas dan jumlah ASN yang terpapar paham radikalisme. (Baca juga: Pandemi, UI Tetap Berlakukan PJJ Pada Tahun Ajaran Baru)
Fakta-fakta ini mendorong pengambilan langkah tegas dari pemerintah untuk melakukan pencegahan dini terhadap penyebaran paham radikalisme. Beberapa langkah tersebut di antaranya pelarangan penggunaan seragam ASN yang tidak sesuai ketentuan hingga program sertifikasi bagi para penceramah atau dai.
"Ini sudah akan segera jalan, mulai bulan ini dan kalau ini sudah jalan tolong tanpa diumumkan, tolong yang diundang nanti kalau penceramah-penceramah di rumah-rumah ibadah kita, khususnya di lingkungan ASN, hanya mereka yang sudah dibekali sertifikat, penceramah besertifikat," ujar Menteri Agama Fachrul Razi dalam webinar”Strategi Menangkal Radikalisme pada Aparatur Sipil Negara”, Rabu (2/9/2020).
Kepala Bidang Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad mengatakan, munculnya wacana sertifikasi dai menimbulkan kekhawatiran untuk membatasi penceramah-penceramah yang tidak besertifikat sehingga menimbulkan terjadinya diskriminasi.
"Nanti yang boleh bicara itu yang besertifikat saja, sementara yang tidak besertifikat tidak boleh bicara. Itu yang dikhawatirkan kalau ada regulasi ke depan tentang hal itu," katanya.
Guru besar sosiologi agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Gunung Djati Bandung ini mengatakan, sertifikasi dai itu juga tidak akan efektif karena kebutuhan ceramah itu berbeda-beda kualifikasinya.
"Ada masyarakat yang senang ustaz ini, ada yang suka itu. Penceramah agama itu kan keyakinan, bukan sesuatu yang diformalkan, dipaksakan begitu saja tentang sosok penceramah itu. Biasanya sosok penceramah itu kan didaulatnya oleh masyarakat," katanya. (Baca juga: Ternyata Tidur Bisa Cegah Alzheimer)
Dadang mendukung sertifikasi dai dilakukan bagi penceramah-penceramah atau penyuluh agama yang berada di subordinat Kemenag seperti mereka yang bertugas di kantor-kantor urusan agama (KUA). "Itu silakan, baik. Bahkan kalau perlu ditingkatkan kualifikasi yang diharapkan masyarakat tentang kemampuan orasinya, materi yang dia bawakan sehingga mungkin penceramah-penceramah swasta tidak usah karena sudah dicukupi," katanya.
Namun, kata Dadang, kondisi yang terjadi saat itu, penceramah agama yang berstatus ASN itu belum mencukupi dan kualifikasinya juga mungkin belum sesuai harapan masyarakat sehingga masyarakat lebih banyak menggunakan penceramah-penceramah yang mereka anggap cocok untuk kepentingan keagamaan mereka.
Di sisi lain, variasi aliran di suatu agama di Indonesia itu terlalu banyak, baik yang ada di Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan agama lainnya. "Belum lagi soal psychological group yang mungkin cocoknya dengan ini, itu akan sulit dibatasi," katanya. (Baca juga: Kasus Positif Covid-19 Kian Mengkhawatirkan, Rumah Sakit di Ambang Kolaps)
Dadang juga mempertanyakan bagaimana konsekuensi yang bakal diterima bagi penceramah yang nantinya memiliki sertifikat dai. "Kalau seperti Malaysia, semua penceramah, imam itu kan digaji negara, jadi negara berhak memberikan apa pun, pendampingan apa pun. Kalau di Indonesia kan kebanyakan tidak digaji pemerintah. Kalau konsekuensinya yang besertifikat semacam guru honorer ada konsekuensi kelayakan gaji, itu bagus," tuturnya.
Dadang mengatakan, jika kekhawatiran pemerintah sehingga menganggap penceramah perlu disertifikasi karena faktor keamanan nasional, misalnya adanya kekhawatiran penceramah-penceramah tertentu bakal menyebarkan paham radikalisme, maka hal yang perlu dilakukan adalah melakukan identifikasi siapa penceramah yang dinilai menyebarkan narasi-narasi membahayakan dalam ceramahnya.
"Tinggal dilihat saja sekarang siapa penceramah yang melanggar hukum, melanggar konstitusi, itulah yang diproses hukum. Jadi tidak berbentuk seperti sertifikasi. Tampaknya gimmick-nya agak formal. Kita khawatirkan ini ada berbagai macam aliran, terus pemerintah pasti didominasi aliran tertentu, kita khawatirkan ada diskriminasi terhadap yang berbeda aliran," katanya. (Baca juga: Lebih dari 1 Miliar Orang Beresiko Mengungsi pada 2020)
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud mengatakan, polemik mengenai sertifikasi dai ini muncul di era Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin. Marsudi sudah menyampaikan bahwa jika tujuan sertifikasi dai ini dimaksudkan untuk peningkatan kapasitas dai, itu langkah yang baik.
"Ini agar para dai itu mempunyai kemampuan yang berstandar atau untuk upgrading agar jelas keilmuannya, itu adalah baik. Jadi NU mendukung itu dilaksanakan kalau tujuannya itu untuk upgrading," ucapnya.
Namun, Marsudi menegaskan, jika sertifikasi itu dilakukan pelaksananya bukan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama atau Majelis Ulama Indonesia (MUI), namun organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, atau Persis. "Misalnya orang NU ya disertifikasi oleh NU, orang Muhammadiyah ya disertifikasi oleh Muhammadiyah, orang Persis ya oleh Persis," tuturnya.
Dengan begitu, jika nanti di lapangan ada hal-hal yang kurang tepat maka pihak yang mengeluarkan sertifikat ada tanggung jawabnya. "Kenapa Anda keluarkan sertifikat? Wong orangnya kaya gitu, misalnya. Itu memudahkan daripada dipegang oleh Kementerian Agama atau oleh MUI. Jadi ada yang bertanggung jawab penuh tentang keilmuan keagamaan yang sifatnya itu ilmu ketuhanan yang silsilah keilmuannya saja itu harus nyambung sampai Tuhan, otoritatif Tuhan ketika ngomong keagamaan," katanya. (Baca juga: Jokowi Minta Semua Pihak Merancang Ulang Pembinaan Atlet)
Bagaimana dengan penceramah yang bukan berasal dari latar belakang lembaga yang tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikasi, menurut Marsudi, mereka bisa menginduk kepada salah satu lembaga yang diberikan kewenangan mengeluarkan sertifikat.
Alasannya, sertifikasi dai diperlukan karena ke depan orang membutuhkan profesionalisme yang terukur. Dia mencontohkan profesi dosen yang bisa mengajar S-1, mereka minimal harus berpendidikan S-2 atau magister.
"Itu kan sertifikasi. Ini untuk menolong masyarakat agar kemampuan orang itu terukur. Jangan asal dipanggil ustaz. Kalau di NU sesungguhnya sertifikasi itu sudah ada sejak dulu. Lha wong keluar pesantren saja sudah bisa dilihat ini tamatan mana, Lirboyo? Berapa tahun (di pesantren)? Oh sekian, itu sudah sertifikasi," katanya.
Mengenai adanya narasi bahwa sertifikasi dai dilakukan sebagai upaya menangkal paham radikalisme, Marsudi Syuhud mengatakan bahwa itu hanya alasan penyerta saja. Hal terpenting ialah adanya standardisasi keilmuan. "Bukan orang yang belajar Alqurannya saja lewat Google, gitu kemudian jadi ustaz? Yang penting bisa ndabrul gitu," tuturnya. (Lihat videonya: Limbah Medis Rumah Sakit Mencemari Sungai Cisadane)
Dengan adanya sertifikasi dai, kata Marsudi, ke depan masyarakat akan semakin paham dengan kapasitas penceramah tersebut. "Pokoknya jangan diambil sertifikasi itu oleh pemerintah atau MUI, biarlah oleh organisasi masing-masing. Kalau dilakukan pemerintah atau MUI, macam-macam kelemahannya. Itu akan jadi bisnis tersendiri. Kalau NU misalnya sudah tamatan (Ponpes) Tebuireng, itu kan sudah tahu kadarnya berapa itu. Enggak akan kuatlah pemerintah ngurusi sertifikasi jutaan orang. Sudahlah sistem yang sudah ada saja," katanya. (Abdul Rochim)
(ysw)