Mengkritisi Penerimaan Calon Maba saat Pandemi

Kamis, 10 September 2020 - 06:47 WIB
loading...
A A A
Penggunaan nilai UTBK sebagai syarat jalur mandiri dengan kondisi peserta belum mengetahui nilainya, menyebabkan tidak meratanya penerimaan peserta. Banyak terjadi peserta sudah diterima di SBMPTN. Namun, karena mereka juga mendaftar melalui jalur mandiri dan diterima (karena sebagian jalur mandiri juga menggunakan nilai UTBK) akhirnya mengundurkan diri. Terlebih jika kampus yang dipilih di jalur mandiri lebih bagus peringkatnya daripada kampus yang dipilih melalui jalur SBMPTN. Akibatnya, kuota SBMPTN hangus begitu saja.

Sebetulnya, dapat dipahami jika peserta mendaftar ke beberapa PTN dengan kondisi yang serba tidak pasti; jalur mandiri beberapa PTN ditutup sebelum pengumuman SBMPTN, hasil UTBK dikeluarkan setelah memilih PTN. Namun kondisi ini tentu merugikan sebagian pihak. Dengan jumlah peminat dan peserta yang lolos via SBMPTN sedikit, seharusnya perlu dibuat mekanisme yang memungkinkan peserta lebih banyak diterima di PTN, baik melalui jalur SNMPTN, SBMPTN maupun mandiri.

Perlunya Keterbukaan Informasi
Kondisi berpindahnya satu mahasiswa dari PTN satu ke yang lain tersebut akhirnya membuat kursi di beberapa PTN kosong. Beberapa PTN membuka gelombang kedua, yang sayangnya tidak menginformasikan jurusan apa saja yang masih kosong. Padahal, jika sejak awal kondisi ini dapat diprediksi, seharusnya kampus bisa membuat daftar cadangan sehingga jika ada beberapa calon mahasiswa baru yang mengundurkan diri dapat diisi oleh peserta lain. Cara ini jauh lebih adil.

Besarnya biaya pendaftaran jalur mandiri juga seharusnya diimbangi dengan keterbukaan informasi mengenai hasil ujian sehingga universitas sebagai lembaga pendidikan benar-benar menjunjung tinggi asas kejujuran.

Perapian Sistem
Terlepas dari masa pandemi, sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN sebaiknya dirapikan lagi. Kemdikbud perlu menata kebijakan porsi jalur SNMPTN, SBMPTN, dan mandiri dengan seadil-adilnya mengingat biaya untuk jalur mandiri tidak sedikit. Banyak anak bangsa yang cerdas, namun kurang dari sisi keuangan. Jalur-jalur prestasi perlu ditambah sehingga anak-anak tidak hanya terpaku pada nilai akademik tapi juga prestasi lain.

Jarak penerimaan antara jalur satu dan yang lain perlu diberikan waktu yang cukup. Perlu dibuat sistem yang dapat dilacak agar mereka yang sudah diterima melalui jalur SNMPTN tidak dapat mendaftar melalui jalur SBMPTN dan mereka yang sudah diterima di jalur SBMPTN tidak dapat mendaftar melalui jalur mandiri. Dengan begitu, mereka yang belum diterima melalui jalur SNMPTN dan SBMPTN berkesempatan untuk mendaftar melalui jalur mandiri. Berikan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka yang kurang mampu namun memiliki prestasi untuk diterima melalui jalur prestasi dan SBMPTN sehingga biaya kuliah bisa lebih terjangkau.

Agar anak-anak mulai peduli jurusan dan memberikan ruang yang lebih luas untuk siswa IPS (karena jurusan soshum terbatas) maka jurusan di ranah saintek sebaiknya hanya boleh diikuti oleh siswa jurusan IPA pun sebaliknya, jurusan soshum hanya boleh diikuti oleh siswa jurusan IPS. Siswa SMK atau MA dapat menyesuaikan dengan lingkup keilmuan masing-masing. Terlebih untuk jalur prestasi. Ironis jika siswa jurusan IPA diterima di jurusan soshum melalui jalur prestasi, sementara selama tiga tahun mereka lebih banyak belajar ilmu di ranah saintek. Dengan begitu, tidak ada lagi pemikiran bahwa anak IPA lebih cerdas dari anak IPS sehingga sejak awal anak-anak masuk ke sekolah tingkat menengah, mereka sudah diarahkan sesuai minatnya.
(ras)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0741 seconds (0.1#10.140)