Membangun Resiliensi kala Pandemi

Rabu, 09 September 2020 - 06:25 WIB
loading...
Membangun Resiliensi kala Pandemi
Khudori
A A A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan (2010-sekarang)

DUNIA berulangkali dilanda pandemi dan resesi. Dalam siklus pandemi – normal – pandemi selalu ada yang menang dan ada pula yang kalah. Siklus ini berulang dan abadi. Siapa yang bakal menang? “Bukan yang terkuat yang mampu bertahan, melainkan yang paling adaptif dalam merespons perubahan”, begitu teori survival of the fittest yang dibangun Charles Darwin (1809-1882). Teori klasik itu menemukan kebenarannya saat semua negara di dunia, negara kuat dan lemah, negara kaya dan miskin, lintang pukang oleh Covid-19.

Singapura, negara kota yang menduduki puncak piramida indeks ketahanan pangan dunia (Global Food Security Index) 2019, sontak tidak berdaya saat warga menyerbu rak-rak supermarket dan memborong bahan makanan (panic buying). Itu terjadi tak lama setelah PM Malaysia Tan Sri Muhyiddin Yassin merilis rencana menutup perbatasan terkait Covid-19, 16 Maret 2020. Meski pendapatan perkapita USD64 ribu, 16 kali Indonesia, Singapura tergolong tidak adaptif pandemi Covid-19. Di satu sisi, korona telah memutus (membatasi) lalu lintas perhubungan dan perdagangan. Di sisi lain, pangan Singapura bergantung pada Malaysia.

Pandemi, sekali lagi, mengajarkan perlunya menimbang ulang apa yang didesain dan dianggap baik saat ini. Globalisasi yang digadang-gadang bakal menjamin kue kemakmuran bagi semua negara, termasuk yang miskin, justru memperlebar kaya-miskin. Tuah globalisasi kian dipertanyakan kala di berbagai belahan dunia muncul gerakan sebaliknya: deglobalisasi. Gerakan ini mewujud dalam rupa-rupa proteksionisme, yang sebelum pandemi Covid-19 sudah tampak kasat mata presedennya, yakni Brexit dan perang dagang antara AS dan Cina.

Disulut pandemi yang merayap eksponensial, gerak deglobalisasi seolah mendapatkan energi baru. Ini, paling tidak, tampak dari dua indikator. Pertama, indeks perdagangan global yang menurun: dari 114 pada 2019 menjadi 99 (skenario optimis) atau 91 (pesimis) pada 2020 (WTO, 2020). Kedua, selama 10 tahun terakhir, pangsa persentase volume perdagangan global terhadap PDB global stagnan .Tahun 2008 berada di 60,9%, dan pada 2018 menurun jadi 59,5% (World Bank 2020). Pendek kata, deglobalisasi telah menjadi keniscayaan baru.

Dalam konteks pangan, gerak deglobalisasi ini amat relevan buat kita. Sesuai amanat konstitusi, yakni UU Nomor 18/2012 tentang Pangan, negara harus menjamin kecukupan pangan warganya, bahkan hingga tingkat rumah tangga. Kegagalan negara memenuhi kewajiban itu bisa berakibat serius: negara bisa menjadi tertuduh tunggal pelanggar hak rakyat atas pangan. Untuk menjamin kecukupan pangan, sudah lama negeri ini menggantungkan sebagian pangan dari impor. Dari tahun ke tahun jumlah impor terus menanjak, tak ada tanda-tanda menurun.

Misalnya, impor delapan komoditas pangan penting (beras, jagung, gandum, gula, kedele, kacang tanah, ubi kayu, dan bawang putih) naik dari 21,9 juta ton pada 2014 menjadi 27,6 juta ton pada 2018. Pada 2018, nilai impor sejumlah komoditas pangan mencapai USD16,8 miliar. Konstitusi tidak melarang impor asal terpenuhi syaratnya: produksi dalam negeri tidak cukup atau pangan tersebut tak bisa diproduksi sendiri. Namun, pandemi korona mengajarkan menggantungkan pangan pada impor dan pasar dunia tidak selalu bisa menjadi solusi. Dalam konteks inilah perlu bagi Indonesia merancang langkah strategis agar memiliki resiliensi.

Pertama, kembali menggalakkan diversifikasi pangan. Langkah ini sudah digaungkan sejak tahun 1960-an, tapi tidak menunjukkan hasil menggembirakan. Bahkan, ada tendensi diversifikasi makin melemah. Indonesia bukan AS atau Eropa yang sumber pangannya amat terbatas. Sebagai negara tropis, kekayaan pangan Indonesia adalah keanekaragaman hayati yang luar biasa. Dengan keberagaman iklim, ekosistem, dan kondisi lokal yang berbeda-beda hampir di setiap wilayah di negeri ini tumbuh dan berkembang pangan lokal yang khas.

Negeri ini pernah memiliki tradisi pangan luar biasa ragam dan jenisnya. Sejarah mencatat gaplek (Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur), sagu (Maluku, Papua), jagung (Jateng, Jatim, Nusatenggara), cantel/sorgum (Nusatenggara), talas dan ubi jalar (Irian) jadi penopang pangan pokok warga selama bertahun-tahun. Pola makan unik, khas, dan beragam itu diwariskan turun-temurun dan terbukti menjamin kedaulatan pangan warga. Namun, berkat rekayasa negara, pangan yang khas dan beragam itu bergeser monolitik ke beras.

Perlu langkah simultan agar deversifikasi tak mandeg. Ini bisa dimulai dari penetapan peta jalan diversifikasi pangan yang menjadi panduan semua kementerian/lembaga. Peta jalan ini yang menuntun rencana kerja, cara mencapai hingga outcome. Termasuk mengikat secara rinci siapa melakukan apa. Lalu, mengintegrasikan program pengentasan kemiskinan dengan pemberdayaan agar tidak saling menegasikan. Politik pangan dan kebijakan ekonomi makro harus memperkuat keterkaitan hulu-hilir pangan lokal. Perlu dukungan riset terarah untuk merespons perilaku konsumen, pengembangan pangan substitusi impor, dan komunikasi perubahan perilaku. Terakhir, membangun konstruksi sosial lewat kampanye dan edukasi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0856 seconds (0.1#10.140)