Pilkada yang Berbahaya

Selasa, 08 September 2020 - 06:45 WIB
loading...
Pilkada yang Berbahaya
Gun Gun Heryanto
A A A
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

ALARM tanda bahaya sudah menyala di awal gegap gempitanya Pilkada. Setelah masa pendaftaran ditutup Minggu (6/9) pukul 24.00 WIB, Ketua KPU Arief Budiman mengumumkan, teridentifikasi 37 calon kepala daerah positif virus korona (Covid-19). Data didapatkan dari 21 provinsi yang sudah masuk laporannya, dan jumlah tersebut masih sangat mungkin bertambah. Keterangan tersebut memberi pesan kuat, bahwa pilkada serentak tahun 2020 di 270 daerah berada dalam bayang-bayang ancaman. Sedari awal sudah banyak yang mengingatkan bahwa kerawanan tertinggi dalam penyelenggaraan pilkada tahun ini ialah pandemi.

Darurat Kebijakan
Gelaran pilkada serentak memasuki tahapan sangat riskan. Lihat saja prosesi pendaftaran para kandidat di 270 daerah yang berpilkada. Arak-arakan, deklarasi dukungan, unjuk kekuatan saat pendaftran membuat kita kehabisan kata-kata betapa sulitnya menertibkan para pasangan calon, tim sukses dan masa pendukungnya. Hingga hari terakhir pendaftaran sudah tercatat ada 687 bakal pasangan calon. Rinciannya, bakal pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sebanyak 22 pasangan, bakal pasangan calon bupati dan wakil bupati tercatat 570 pasangan, dan terdapat 95 pasangan bakal pasangan calon wali kota dan wakil wali kota. Bakal calon kepala daerah yang diusulkan partai politik sebanyak 626 pasangan. Sementara, calon independen alias perseorangan sebanyak 61 pasangan. Bakal calon laki-laki sebanyak 1.233 dan perempuan sebanyak 141.

Arak-arakan dan kerumunan massa dalam jumlah besar menjadi sinyal kuat bahwa mengandalkan kesadaran saja tidak cukup. Dalam penyelenggaraan pilkada serentak harus ada dua dimensi pokok yang harus saling menguatkan yakni adanya aturan yang jelas dan tegas melalui kebijakan publik serta dimensi kesadaran publik bahwa pilkada ini diselenggarakan di musim pandemi. KPU harus sesegara mungkin mengatur secara rinci yang boleh dan tidak boleh dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2020. Kalau membaca PKPU Nomor 6/2020 tentang pelaksaan pilkada serentak lanjutan dalam kondisi bencana nonalam Covid-19, nampak pengaturan lebih banyak copypaste dari sejumlah aturan yang sudah ada sebelumnya lantas ditambahi kata-kata protokol kesehatan atau penanganan Covid-19. Tetapi jiwa atau substansi aturan aturan mainnya sangat terasa belum diletakkan dalam suasana krisis dan marabahaya Covid-19.

Sebagai contoh di Pasal 63 PKPU Nomor 6/2020 tentang kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf g masih memasukan celah kerumunan massa dalam jumlah besar karena masih membolehkan adanya rapat umum, kegiatan kebudayaan seperti pentas seni, panen raya bahkan konser musik dan lain-lain. Kalau memang kita bersepakat bahwa ada marabahaya yang mengancam di depan mata akibat pandemi, seharusnya tahu diri. Larang dengan tegas dan jelas kerumunan massa seperti yang mungkin terjadi pada rapat umum. Secara praktik sulit mengontrol massa meski ada wacana atau embel-embel pelaksanaan dengan protokol kesehatan. Rapat umum yang digelar, dihadiri ribuan orang apalagi disediakan hiburan seperti musik dangdut dan lain-lain, membuat masyarakat, tim sukses bahkan kandidat lupa bahwa kita sedang menari di tengah ancaman kematian!

Mulai 26 September hingga 5 Desember 202 atau selama 71 hari, pilkada akan memasuki tahapan kampanye. Aturan jangan dibuat terlalu mepet dengan penyelenggaraan, sehingga akan sulit disosialisasikan ke para kandidat dan tim sukses yang bertarung. Ada urgensi untuk memastikan aturan main kampanye pilkada di musim pandemi Covid-19 segera diputuskan dengan substansi yang rinci, tidak multitafsir, punya sense of crisis, dan memuat sanksi yang jelas serta tegas bagi siapapun yang melanggarnya. Dari tujuh metode kampanye yang sudah ada di Bab VI Pasal 57 PKPU Nomor 6/2020 yakni pertemuan tebatas, pertemuan tatap muka dan dialog, debat publik dan debat terbuka antarpasangan calon, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, penayangan iklan kampanye di media massa cetak dan elektronika, dan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan perundangan-undangan, jangan membuka celah untuk ditafsiri dan akali secara serampangan oleh para peserta maupun penyelenggara di daerah. Perkuat juga metode kampanye dengan memperjelas aturan kampanye di media daring. Aturan yang ada saat ini tidak mengatur secara jelas dan rinci. Padahal, matode kampanye daring ini bisa menjadi salah satu andalan kampanye di musim pandemi.

Untuk mengantisipasi penyelenggaraan kampanye pilkada selama 71 hari, KPU harus memiliki cara pandang kedarutan pilkada dalam menyusun PKPU kampanye. Sekali lagi jangan hanya formalitas, sekadar main kata-kata, melainkan harus sungguh-sungguh mengatur sanksi bagi para pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan.

Perilaku Kolektif
Jika kebijakan publik yang mengatur penyelenggaraan pilkada serentak 2020 ambigu dan tumpul ditambah kesadaran publik yang rendah, siap-siap saja pilkada akan menjadi kluster baru penyebaran Covid-19. Sangat mungkin hasil identifikasi KPU tentang adanya 37 kepala daerah yang positif Korona ini merupakan puncak gunung es. Dari mereka yang sudah teridenfikasi positif ini, berapa orang yang juga berpotensi terpapar sehingga membentuk mata rantai penularan. Sudah dipastikan dalam penyiapan mereka maju sebagai bakal calon pasangan kepala daerah arau wakil mereka kerap rapat, konsolidasi, bertemu dengan banyak orang untuk memastikan dukungan. Artinya, yang sudah teridentifikasi baru bakal pasangan calonnya, bagaimana dengan tim suksesnya, relawan ataupun warga biasa yang menjadi pendukung dan kerap berinteraksi dengan mereka.

Melihat lautan orang di berbagai panggung pemberian dukungan kepada pasangan calon di banyak daerah, dapat disimpulkan kesadaran publik akan bahaya virus korona sangatlah rendah. Satu hal perlu dicatat, bahwa kampanye dalam kontestasi elektoral biasa merangsang munculnya perilaku kolektif. Perilaku kolektif adalah cara berfikir, berperasaan, bertindak sekumpulan individu yang secara relatif bersifat spontan dan tidak terstruktur yang berkembang dalam suatu kelompok atau suatu populasi sebagai akibat dari saling stimulasi antar individu. Salah satu bentuk perilaku kolektif adalah kerumunan (crowd).

Suasana yang saling berhadap-hadapan dan kompetitif kerap menjadi pemantik perilaku kolektif menjadi-jadi atas dasar dukungan atau afiliasi politik dan membuncah di gelanggang kampanye. Menurut White Stephan dan Walter G Stephan di bukunya Two Social Psychologies (1990) menyebutkan proses terbentuknya perilaku kerumunan biasanya didahului oleh milling, yaitu proses komunikasi yang mengarah pada suatu pembentukan definisi situasi yang kemudian mengarah pada kemungkinan tindakan bersama. Dalam kerumunan orang mudah dipengaruhi (sugestible).

Situasi psikologis inilah yang harus dengan cermat dipahami oleh para kandidat dan tim suksesnya. Kerumunan yang mereka ciptakan akan membentuk perilaku kolektif tertentu. Jika pasangan calon dan timnya tertib atas protokol kesehatan, ditunjang dengan pengorganisasian kampanye yang juga sensitif penanggulangan pandemi Covid-19, tentunya akan turut berpengaruh pada kampanye sesuai protokol kesehatan. Sebaliknya jika para pasangan calonnya ugal-ugalan dalam berkampanye, maka akan menciptakan kampanye di lapangan yang tak mengindahkan penanggulangan Covid-19. Mereka yang bertarung memperebutkan kursi kepala daerah seharusnya sadar bahwa ujian kepemimpinan mereka dimulai sejak kampanye. Apakah mereka mengedepankan kesalamatan nyawa banyak orang, atau pongah dengan kepentingannya untuk tetap menabuh genderang kematian dan bergembira dengan perilaku ugal-ugalan.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1238 seconds (0.1#10.140)