KPI Minta Pasien Corona Diungkap, DPR Ingatkan Kerahasiaan Menjaga Identitas Diatur UU
A
A
A
JAKARTA - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendorong pemerintah mempertimbangkan ulang tentang kebijakan merahasiakan data penderita pasien positif virus corona. Dorongan itu disampaikan KPI dengan dalih kemanusiaan untuk mencegah penularan virus ini di masyarakat. Sehingga, keluarga bisa lebih antisipasif dalam melakukan pencegahan.
Anggota Komisi IX DPR, Saleh Pertaonan Daulay menyatakan, ketentuan menjaga kerahasiaan pasien telah diatur di dalam Undang-Undang (UU). Karena itu, setiap orang tentu harus tetap taat pada ketentuan undang-undang.
"Manfaat dan urgensi menjaga kerahasiaan pasien ini pasti telah dipikirkan oleh para pembuat undang-undang," ujar Saleh saat dihubungi SINDOnews, Minggu (22/3/2020). (Baca juga: Penanganan Corona, Pemerintah Diminta Jangan Biarkan Nasib Rakyat Tak Menentu)
Politikus PAN itu mengatakan, usulan KPI itu sangat bagus. Namun, ia mengingatkan jika ada keinginan untuk membuka data pasien, silahkan buka lagi beberapa undang-undang terkait. "Baca lagi secara seksama batasan-batasan data pasien yang mungkin bisa dipublikasi ke publik," kata dia.
Ia mengungkapkan, UU yang berkaitan dengan kerahasiaan medis diatur dalam 4 UU, yaitu Pasal 48 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 7 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 38 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Pasal 73 UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Dijelaskan dia, meski ada aturan tentang menjaga kerahasiaan data pasien, namun dalam kondisi-kondisi tertentu sepertinya ada kelonggaran. Ketentuan kelonggaran seperti itu yang mesti dipelajari. Untuk itu, ia menyarankan agar ahli hukum kesehatan mesti memberikan pendapatnya. Sehingga dalam bertindak semua pihak tetap dalam koridor hukum yang benar.
Di sisi lain, lanjut Saleh semua pihak bisa memerhatikan ketentuan Pasal 57 Ayat (1) UU Kesehatan yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
"Akan tetapi, pada Pasal 57 Ayat (2) hak atas kerahasiaan itu dikecualikan salah satunya, demi kepentingan masyarakat," ungkapnya.
Selain itu, sambung dia, apakah ketentuan pasal 57 Ayat (2) UU Kesehatan itu dianggap cukup? Silakan dielaborasi dan ditafsirkan dengan baik. Yang jelas, demi kepentingan bangsa dan negara, semua pihak harus bekerja keras membantu pemerintah. Termasuk untuk mewaspadai daerah-daerah yang dianggap rawan dengan penyebaran virus corona.
Tak hanya itu, Saleh juga meminta semua pihak perlu membaca ketentuan Pasal 48 UU Praktik Kedokteran yang berbunyi, "Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. Menurut dia, rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri," jelasnya.
Di samping itu, pada Pasal 10 Ayat (2) Permenkes 269/2008 disebutkan bahwa informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal: untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan; permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri, permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan, dan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien.
Dengan demikian, ia melihat UU 48 dan Permenkes 269/2008 memberikan peluang untuk membuka data pasien dengan berbagai ketentuan di atas. Selain itu, demi kepentingan penelitian dan pendidikan, data pasien bisa juga dibuka ke publik.
"Kalau hanya menyebutkan daerah-daerah tempat pasien tinggal, saya kira tidak masalah. Yang tidak boleh itu jika data lengkap pasien dibuka secara luas ke publik. Itu akan mendatangkan masalah bagi pasien karena bisa jadi akan ada semacam stigma yang tidak baik. Kecuali, jika pasiennya dengan sukarela mau mengungkap identitasnya. Itu sangat baik dan dianjurkan," pungkasnya.
Anggota Komisi IX DPR, Saleh Pertaonan Daulay menyatakan, ketentuan menjaga kerahasiaan pasien telah diatur di dalam Undang-Undang (UU). Karena itu, setiap orang tentu harus tetap taat pada ketentuan undang-undang.
"Manfaat dan urgensi menjaga kerahasiaan pasien ini pasti telah dipikirkan oleh para pembuat undang-undang," ujar Saleh saat dihubungi SINDOnews, Minggu (22/3/2020). (Baca juga: Penanganan Corona, Pemerintah Diminta Jangan Biarkan Nasib Rakyat Tak Menentu)
Politikus PAN itu mengatakan, usulan KPI itu sangat bagus. Namun, ia mengingatkan jika ada keinginan untuk membuka data pasien, silahkan buka lagi beberapa undang-undang terkait. "Baca lagi secara seksama batasan-batasan data pasien yang mungkin bisa dipublikasi ke publik," kata dia.
Ia mengungkapkan, UU yang berkaitan dengan kerahasiaan medis diatur dalam 4 UU, yaitu Pasal 48 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 7 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 38 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Pasal 73 UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Dijelaskan dia, meski ada aturan tentang menjaga kerahasiaan data pasien, namun dalam kondisi-kondisi tertentu sepertinya ada kelonggaran. Ketentuan kelonggaran seperti itu yang mesti dipelajari. Untuk itu, ia menyarankan agar ahli hukum kesehatan mesti memberikan pendapatnya. Sehingga dalam bertindak semua pihak tetap dalam koridor hukum yang benar.
Di sisi lain, lanjut Saleh semua pihak bisa memerhatikan ketentuan Pasal 57 Ayat (1) UU Kesehatan yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
"Akan tetapi, pada Pasal 57 Ayat (2) hak atas kerahasiaan itu dikecualikan salah satunya, demi kepentingan masyarakat," ungkapnya.
Selain itu, sambung dia, apakah ketentuan pasal 57 Ayat (2) UU Kesehatan itu dianggap cukup? Silakan dielaborasi dan ditafsirkan dengan baik. Yang jelas, demi kepentingan bangsa dan negara, semua pihak harus bekerja keras membantu pemerintah. Termasuk untuk mewaspadai daerah-daerah yang dianggap rawan dengan penyebaran virus corona.
Tak hanya itu, Saleh juga meminta semua pihak perlu membaca ketentuan Pasal 48 UU Praktik Kedokteran yang berbunyi, "Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. Menurut dia, rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri," jelasnya.
Di samping itu, pada Pasal 10 Ayat (2) Permenkes 269/2008 disebutkan bahwa informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal: untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan; permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri, permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan, dan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien.
Dengan demikian, ia melihat UU 48 dan Permenkes 269/2008 memberikan peluang untuk membuka data pasien dengan berbagai ketentuan di atas. Selain itu, demi kepentingan penelitian dan pendidikan, data pasien bisa juga dibuka ke publik.
"Kalau hanya menyebutkan daerah-daerah tempat pasien tinggal, saya kira tidak masalah. Yang tidak boleh itu jika data lengkap pasien dibuka secara luas ke publik. Itu akan mendatangkan masalah bagi pasien karena bisa jadi akan ada semacam stigma yang tidak baik. Kecuali, jika pasiennya dengan sukarela mau mengungkap identitasnya. Itu sangat baik dan dianjurkan," pungkasnya.
(maf)