EBT Jalan di Tempat, METI Dorong UU Segera Diselesaikan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Berbagai negara di dunia terus berlomba beralih dari penggunaan energi fosil dengan mengembangkan energi baru terbarukan (EBT), tak terkecuali Indonesia. Namun, pengembangan di Tanah Air kerap menemui kendala.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menilai regulasi pengembangan EBT masih belum kuat. Karena itu dirinya mendukung langkah DPR yang rencananya mendorong lahirnya UU EBT.
“Kami mendorong Undang-undang (EBT) ini segera lahir supaya ada payung hukum yang lebih pasti. Kalau enggak, (regulasi) masih ‘abu-abu’ lagi dan bakal terombang-ambing lagi, enggak tahu sampai tahun berapa,” kata Surya kepada SINDOnews, Minggu (6/9/2020) malam.
(Baca: Kendala EBT: Harga Belum Kompetitif, UU pun Tak Tuntas Tahun Ini)
Lebih lanjut, dirinya menilik sudah ada komitmen dari pemerintah dengan membuat payung hukum pengembangan EBT. sebenarnya sudah terlihat dengan adanya UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. Kemudian, kebijakan pengembangan energi nasional melalui PP No. 79 Tahun 2014. Kedua regulasi itu dinilai mencerminkan ada prioritas dari pemerintah terhadap potensi EBT.
“Sebetulnya dari sisi landasan payung hukum, sudah ada komitmen pemerintah, sudah ada roadmap untuk pemanfaatan energi baru terbarukan. Misalnya, dari 5% dinaikkan menjadi 23% pada 2025, dan naik lagi menjadi 31% pada 2050,” ungkap pria jebolan Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung itu.
Hanya saja, upaya itu menemui kendala pada implementasinya. Salah satunya adalah persoalan listrik. Padahal, penyediaan listrik menjadi kewajiban PLN. Namun, menurut Surya, PLN punya pandangan berbeda terhadap payung hukum karena merasa tidak ada kewajiban untuk ikut mengembangkan EBT.
“Jadi ada dua payung hukum yang berbeda. Di satu sisi untuk meningkatkan EBT, namun dari sisi lain ternyata PLN tidak ada kewajiban untuk mengembangkan EBT,” ujar dia.
(Baca: Dihantam Resesi, Australia Malah Mau Investasi EBT di RI)
Kondisi itu justru mengembalikan lagi pengembangan energi terbaru menjadi based on voluntary. Ironisnya, selama ini Indonesia lebih banyak bertumpu pada energi minyak yang cenderung harganya tidak stabil.
Mantan Direktur Operasi PT Pertamina Geothermal Energy itu meyakini pengembangan EBT tergantung pada komitmen dan ketegasan pemerintah dalam implementasinya. Sebab, ke depannya EBT menjadi paling menjamin keberlangsungan hidup dan ketersediaan energi.
“Minyak bumi akan habis. Batu bara juga begitu. Belum lagi, kompetisi dengan negara lain juga makin tinggi. Ini akan makin susah,” imbuhnya.
Surya ingin Indonesia segera tancap gas seperti beberapa negara lainnya yang sudah mengembangkan dan berubah drastis untuk mengembangkan energi hijau. China misalnya, dari negara dengan tingkat polusi besar, sekarang mulai beralih ke energi terbarukan. Demikian juga di India, Vietnam, Thailand, Kamboja, dan Myanmar sudah berlomba ke arah sana.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menilai regulasi pengembangan EBT masih belum kuat. Karena itu dirinya mendukung langkah DPR yang rencananya mendorong lahirnya UU EBT.
“Kami mendorong Undang-undang (EBT) ini segera lahir supaya ada payung hukum yang lebih pasti. Kalau enggak, (regulasi) masih ‘abu-abu’ lagi dan bakal terombang-ambing lagi, enggak tahu sampai tahun berapa,” kata Surya kepada SINDOnews, Minggu (6/9/2020) malam.
(Baca: Kendala EBT: Harga Belum Kompetitif, UU pun Tak Tuntas Tahun Ini)
Lebih lanjut, dirinya menilik sudah ada komitmen dari pemerintah dengan membuat payung hukum pengembangan EBT. sebenarnya sudah terlihat dengan adanya UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. Kemudian, kebijakan pengembangan energi nasional melalui PP No. 79 Tahun 2014. Kedua regulasi itu dinilai mencerminkan ada prioritas dari pemerintah terhadap potensi EBT.
“Sebetulnya dari sisi landasan payung hukum, sudah ada komitmen pemerintah, sudah ada roadmap untuk pemanfaatan energi baru terbarukan. Misalnya, dari 5% dinaikkan menjadi 23% pada 2025, dan naik lagi menjadi 31% pada 2050,” ungkap pria jebolan Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung itu.
Hanya saja, upaya itu menemui kendala pada implementasinya. Salah satunya adalah persoalan listrik. Padahal, penyediaan listrik menjadi kewajiban PLN. Namun, menurut Surya, PLN punya pandangan berbeda terhadap payung hukum karena merasa tidak ada kewajiban untuk ikut mengembangkan EBT.
“Jadi ada dua payung hukum yang berbeda. Di satu sisi untuk meningkatkan EBT, namun dari sisi lain ternyata PLN tidak ada kewajiban untuk mengembangkan EBT,” ujar dia.
(Baca: Dihantam Resesi, Australia Malah Mau Investasi EBT di RI)
Kondisi itu justru mengembalikan lagi pengembangan energi terbaru menjadi based on voluntary. Ironisnya, selama ini Indonesia lebih banyak bertumpu pada energi minyak yang cenderung harganya tidak stabil.
Mantan Direktur Operasi PT Pertamina Geothermal Energy itu meyakini pengembangan EBT tergantung pada komitmen dan ketegasan pemerintah dalam implementasinya. Sebab, ke depannya EBT menjadi paling menjamin keberlangsungan hidup dan ketersediaan energi.
“Minyak bumi akan habis. Batu bara juga begitu. Belum lagi, kompetisi dengan negara lain juga makin tinggi. Ini akan makin susah,” imbuhnya.
Surya ingin Indonesia segera tancap gas seperti beberapa negara lainnya yang sudah mengembangkan dan berubah drastis untuk mengembangkan energi hijau. China misalnya, dari negara dengan tingkat polusi besar, sekarang mulai beralih ke energi terbarukan. Demikian juga di India, Vietnam, Thailand, Kamboja, dan Myanmar sudah berlomba ke arah sana.
(muh)