Kendala EBT: Harga Belum Kompetitif, UU pun Tak Tuntas Tahun Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Upaya Indonesia untuk mempercepat transformasi penggunaan energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) ternyata tak semudah dibayangkan. Kendala utama EBT adalah harga yang belum kompetitif dibandingkan energi fosil.
Di sisi lain, RUU EBT yang salah satunya mengatur soal harga tersebut diperkirakan tidak akan selesai tahun ini. “Selama ini terkendala terbesar dari sisi harga. EBT ini kurang kompetitif dibandingkan dengan fosil. Makanya, nanti upaya apa saja yang harus dilakukan agar EBT bisa lebih kompetitif,” tutur anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dyah Roro Esti kepada SINDOnews Minggu (6/9/2020) malam.
Dyah mengungkapkan hambatan dalam pengembangan EBT adalah belum adanya payung hukum yang mengatur secara keseluruhan. Padahal Indonesia telah menandatangani Paris Agreement pada 2015. Indonesia bahkan telah meratifikasi kesepakatan tersebut menjadi UU Nomor 16/2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To United Nations Framework Convention on Climate Change.
Di luar pembahasan RUU, Komisi VII mendorong pemerintah untuk memperbanyak pembangunan pembangkit EBT dalam program 35.000 MW. Dyah menerangkan wilayah Indonesia memiliki sumber EBT yang melimpah. “Misalnya di Indonesia Timur itu tenaga surya. Di Sulawesi itu tenaga angin. Setiap wilayah mempunyai specialty yang berbeda-beda. Kita harus maksimalkan,” tegasnya.
Dalam pengembangan EBT, pemerintah tidak berjalan sendirian. Putri dari Satya Widya Yudha itu mengatakan swasta pun harus berperan dalam pengembangan EBT di Tanah Air. Tinggal dibagi saja peran antara pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), dan swasta. Ia mencontoh peran swasta dalam pengembangan PLTS atap atau pemanfaatan solar panel di perumahan.
Dia menceritakan dalam sebuah rapat di Komisi VII, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yakin akan memenuhi target 23 persen EBT pada 2025. Dyah sendiri menyatakan hal itu akan bisa terwujud jika sudah ada payung hukum dan kerja sama lintas sektor untuk merealisasikan target itu.
“Karena bukan hanya dari sisi harga (saja), kita punya kendala segi birokrasi, perizinan, dan lain-lain. Kita upayakan bisa memudahkan investor. Gimana caranya Indonesia menjadi investor friendly terhadap negara yang ingin berinvestasi EBT. Hal seperti itu yang bisa kita dorong ke depannya,” pungkasnya.
Di sisi lain, RUU EBT yang salah satunya mengatur soal harga tersebut diperkirakan tidak akan selesai tahun ini. “Selama ini terkendala terbesar dari sisi harga. EBT ini kurang kompetitif dibandingkan dengan fosil. Makanya, nanti upaya apa saja yang harus dilakukan agar EBT bisa lebih kompetitif,” tutur anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dyah Roro Esti kepada SINDOnews Minggu (6/9/2020) malam.
Dyah mengungkapkan hambatan dalam pengembangan EBT adalah belum adanya payung hukum yang mengatur secara keseluruhan. Padahal Indonesia telah menandatangani Paris Agreement pada 2015. Indonesia bahkan telah meratifikasi kesepakatan tersebut menjadi UU Nomor 16/2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To United Nations Framework Convention on Climate Change.
Di luar pembahasan RUU, Komisi VII mendorong pemerintah untuk memperbanyak pembangunan pembangkit EBT dalam program 35.000 MW. Dyah menerangkan wilayah Indonesia memiliki sumber EBT yang melimpah. “Misalnya di Indonesia Timur itu tenaga surya. Di Sulawesi itu tenaga angin. Setiap wilayah mempunyai specialty yang berbeda-beda. Kita harus maksimalkan,” tegasnya.
Dalam pengembangan EBT, pemerintah tidak berjalan sendirian. Putri dari Satya Widya Yudha itu mengatakan swasta pun harus berperan dalam pengembangan EBT di Tanah Air. Tinggal dibagi saja peran antara pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), dan swasta. Ia mencontoh peran swasta dalam pengembangan PLTS atap atau pemanfaatan solar panel di perumahan.
Dia menceritakan dalam sebuah rapat di Komisi VII, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yakin akan memenuhi target 23 persen EBT pada 2025. Dyah sendiri menyatakan hal itu akan bisa terwujud jika sudah ada payung hukum dan kerja sama lintas sektor untuk merealisasikan target itu.
“Karena bukan hanya dari sisi harga (saja), kita punya kendala segi birokrasi, perizinan, dan lain-lain. Kita upayakan bisa memudahkan investor. Gimana caranya Indonesia menjadi investor friendly terhadap negara yang ingin berinvestasi EBT. Hal seperti itu yang bisa kita dorong ke depannya,” pungkasnya.
(muh)