Picu Penolakan, Omnibus Law RUU Ciptaker Harus Jaga Segitiga Keseimbangan
A
A
A
JAKARTA - Omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) memicu penolakan sejumlah kalangan buruh di berbagai daerah. Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens mengatakan ada beberapa pasal yang menjadi polemik, misalnya upah minimum yang mau diseragamkan. Ada juga persoalan pasal mengenai jam kerja dan cuti.
Boni Hargens mengatakan, dalam merumuskan sebuah undang-undang maka negara tidak boleh berpihak, misalnya hanya memperhatikan kepentingan pasar. "Negara harus menjaga segitiga keseimbangan yaitu pasar, rakyat, dan korporasi. Nah, di mana konteks omnibus law dalam konsepsi segitiga kesetimbangan itu," ujarnya dalam diskusi bertema "Urgensi Omnibus Law: Mengkaji Postulat Keadilan dalam Relasi Buruh-Korporasi dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja" di Jakarta, Senin (16/3/2020).
Menurutnya, omnibus law merupakan langkah besar di periode kedua pemerintahan Jokowi sebagai terobosan hukum yang diharapkan bisa lebih efektif, terutama untuk penyederhanaan regulasi yang patut diapresiasi. Dalam konteks ini, menurut Boni, ruang dialog antara buruh, pemerintah, dan pengusaha perlu diperluas.
"Segitiga demokrasi adalah segitiga sama sisi, antara masyarakat sipil, negara, dan pasar. Maka prinsip tripartit harus menjadi semangat omnibus law, utamanya RUU Cipta Kerja," paparnya.
Senada dengan Boni Hargens, dosen FISIP UI dan Universitas Pertahanan Kusnanto Anggoro mengatakan omnibus law merupakan terobosan penting sehingga perlu dibicarakan lebih konstruktif. Ketika Presiden Jokowi bertemu dengan beberapa tokoh di Istana Bogor, satu narasinya harus bagus dan harus melibatkan seluruh stakeholder. Kedua, regulasi ini yang akan dipakai untuk melakukan efektivitas dalam hal regulasi. "Bahkan secara eksplisit, Presiden Jokowi menyatakan bahwa jangan sampai kelompok buruh dirugikan," tuturnya.
Menurutnya, dalam penyusunan RUU ini, pertimbangan publik juga bagian penting dalam ruang demokrasi. "Dari segi substansi, saya kira mau tidak mau Presiden Jokowi akan berupaya menarik investasi, lalu pertimbangan ketenagakerjaan dan daya serap tenaga kerja," katanya.
Sekjen DPP Konfederasi Sarbumusi Eko Darwanto mengatakan, pihaknya sudah berusaha melakukan komunikasi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto untuk membuka ruang komunikasi seluas-luasnya, tetapi tidak direspons positif. "Keterlibatan buruh dalam penyusunan UU Omnibus Law adalah wajib, meskipun dengan embel-embel investasi dan kesejahteraan buruh," katanya.
Menurutnya, omnibus law ini sebenarnya bagus dan seharusnya mampu menciptakan solusi atas aturan-aturan yang menghambat produktivitas atau bottle neck, serta aturan tumpang tindih antara aturan pusat dan daerah. "Teman-teman buruh berharap agar ada dialog sosial diperluas antara pemerintah dan pekerja (kelompok buruh), dan atau sebaliknya," katanya.
Aktivis buruh dari KSPI, Iswandi, mengatakan bahwa omnibus law ini sangat liberal, neolib, bahkan brutal terhadap pekerja Indonesia. Draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini tidak melibatkan kelompok buruh dalam pembahasannya. "Dalam Permenko 378 ada yang namanya Satgas Omnibus Law yang seluruhnya diketuai oleh pangusaha. Maka wajar saja bila omnibus law sangat eksploitatif," katanya.
Menurutnya, ada beberapa hal yang dilanggar dalam konteks ini,di antaranya apakah negara memberikan job security atau jaminan pekerjaan yang layak. Dalam omnibus law, sistem outsourcing semakin dibuka lebar. "Terkait dengan pekerjaan kontrak, UU ini meniadakan perlindungan terhadap pekerja kontrak," katanya. Selain itu, yang menjadi perhatian adalah hilangnya jaminan sosial atau perlindungan terhadap pekerja. "Juga persoalan income security yang meniadakan upah mininum dan negara membolehkan pengusaha membayar upah pekerja tanpa patokan dasar," katanya. (Abdul Rochim)
Boni Hargens mengatakan, dalam merumuskan sebuah undang-undang maka negara tidak boleh berpihak, misalnya hanya memperhatikan kepentingan pasar. "Negara harus menjaga segitiga keseimbangan yaitu pasar, rakyat, dan korporasi. Nah, di mana konteks omnibus law dalam konsepsi segitiga kesetimbangan itu," ujarnya dalam diskusi bertema "Urgensi Omnibus Law: Mengkaji Postulat Keadilan dalam Relasi Buruh-Korporasi dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja" di Jakarta, Senin (16/3/2020).
Menurutnya, omnibus law merupakan langkah besar di periode kedua pemerintahan Jokowi sebagai terobosan hukum yang diharapkan bisa lebih efektif, terutama untuk penyederhanaan regulasi yang patut diapresiasi. Dalam konteks ini, menurut Boni, ruang dialog antara buruh, pemerintah, dan pengusaha perlu diperluas.
"Segitiga demokrasi adalah segitiga sama sisi, antara masyarakat sipil, negara, dan pasar. Maka prinsip tripartit harus menjadi semangat omnibus law, utamanya RUU Cipta Kerja," paparnya.
Senada dengan Boni Hargens, dosen FISIP UI dan Universitas Pertahanan Kusnanto Anggoro mengatakan omnibus law merupakan terobosan penting sehingga perlu dibicarakan lebih konstruktif. Ketika Presiden Jokowi bertemu dengan beberapa tokoh di Istana Bogor, satu narasinya harus bagus dan harus melibatkan seluruh stakeholder. Kedua, regulasi ini yang akan dipakai untuk melakukan efektivitas dalam hal regulasi. "Bahkan secara eksplisit, Presiden Jokowi menyatakan bahwa jangan sampai kelompok buruh dirugikan," tuturnya.
Menurutnya, dalam penyusunan RUU ini, pertimbangan publik juga bagian penting dalam ruang demokrasi. "Dari segi substansi, saya kira mau tidak mau Presiden Jokowi akan berupaya menarik investasi, lalu pertimbangan ketenagakerjaan dan daya serap tenaga kerja," katanya.
Sekjen DPP Konfederasi Sarbumusi Eko Darwanto mengatakan, pihaknya sudah berusaha melakukan komunikasi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto untuk membuka ruang komunikasi seluas-luasnya, tetapi tidak direspons positif. "Keterlibatan buruh dalam penyusunan UU Omnibus Law adalah wajib, meskipun dengan embel-embel investasi dan kesejahteraan buruh," katanya.
Menurutnya, omnibus law ini sebenarnya bagus dan seharusnya mampu menciptakan solusi atas aturan-aturan yang menghambat produktivitas atau bottle neck, serta aturan tumpang tindih antara aturan pusat dan daerah. "Teman-teman buruh berharap agar ada dialog sosial diperluas antara pemerintah dan pekerja (kelompok buruh), dan atau sebaliknya," katanya.
Aktivis buruh dari KSPI, Iswandi, mengatakan bahwa omnibus law ini sangat liberal, neolib, bahkan brutal terhadap pekerja Indonesia. Draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini tidak melibatkan kelompok buruh dalam pembahasannya. "Dalam Permenko 378 ada yang namanya Satgas Omnibus Law yang seluruhnya diketuai oleh pangusaha. Maka wajar saja bila omnibus law sangat eksploitatif," katanya.
Menurutnya, ada beberapa hal yang dilanggar dalam konteks ini,di antaranya apakah negara memberikan job security atau jaminan pekerjaan yang layak. Dalam omnibus law, sistem outsourcing semakin dibuka lebar. "Terkait dengan pekerjaan kontrak, UU ini meniadakan perlindungan terhadap pekerja kontrak," katanya. Selain itu, yang menjadi perhatian adalah hilangnya jaminan sosial atau perlindungan terhadap pekerja. "Juga persoalan income security yang meniadakan upah mininum dan negara membolehkan pengusaha membayar upah pekerja tanpa patokan dasar," katanya. (Abdul Rochim)
(ysw)