Antisipasi Dini Kerawanan Pilkada

Senin, 02 Maret 2020 - 06:30 WIB
Antisipasi Dini Kerawanan Pilkada
Antisipasi Dini Kerawanan Pilkada
A A A
Pemerintah perlu memberikan perhatian lebih terhadap pelaksanaan pilkada serentak 2020, terutama dari sisi keamanan. Berdasarkan hasil Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang diluncurkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pekan lalu, tampak pilkada yang akan digelar di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota cukup mengkhawatirkan dari sisi keamanan.Betapa tidak, dari sembilan provinsi yang menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur, seluruhnya dikategorikan berada pada tingkat kerawanan tinggi.

Adapun pilkada kabupaten/kota yang masuk kategori rawan tinggi sebanyak lima daerah. Di level pilgub, disebut rawan tinggi jika skor kerawanannya berada di rentang 57,55-100. Kerawanan paling tinggi ditempati Sulawesi Utara (86,42), menyusul Sulawesi Tengah (81,05), Sumatera Barat (80,86), Jambi (73,69), Bengkulu (72,08), Kalimantan Tengah (70,08), Kalimantan Selatan (69,70), Kepulauan Riau (67,43), dan Kalimantan Utara (62,87).

Adapun pilkada kabupaten/kota dengan kategori rawan tinggi adalah Manokwari (82,19), Mamuju (80,44), Sungai Penuh (76,90), Lombok Tengah (74,66), dan Pasangkayu (74,38).

Melihat hasil IKP ini dibutuhkan koordinasi intensif dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan serta Kementerian Dalam Negeri, dengan seluruh pemerintah daerah. Antisipasi dan deteksi dini sangat penting demi menjaga pilkada bisa tetap berjalan lancar, aman, damai, dan demokratis.

Meskipun pilkada serentak sudah digelar beberapa kali, dan seluruhnya relatif berjalan aman, tidak berarti kewaspadaan menjadi longgar. Karena itu, penting bagi pemerintah menganalisis data IKP yang disampaikan Bawaslu ini, lalu dibuat kebijakan yang tujuannya untuk meminimalkan potensi konflik di lapangan.

Seperti pada pilkada serentak sebelumnya, ada beberapa hal yang berpotensi meningkatkan ketegangan di masyarakat dan bisa berujung pada konflik horizontal.

Beberapa di antaranya penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), penggunaan politik uang, netralitas jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan jajaran Bawaslu selaku penyelenggara, netralitas birokrasi dan aparat keamanan, dan penyebaran berita bohong (hoaks).

Karena itu diperlukan pemetaan berdasarkan pada karakteristik masing-masing daerah. Dari situ, kebijakan bisa dirumuskan untuk meredam setiap potensi kerawanan yang ada.

Menjadi tanggung jawab semua pihak untuk menjamin pilkada serentak kali ini bisa berjalan sukses. Dari sisi penyelenggara dibutuhkan komitmen untuk patuh dan tunduk pada aturan perundang-undangan yang ada. Jajaran KPU dan Bawaslu di daerah harus mampu independen dan bebas intervensi oleh pemerintah daerah setempat, terutama yang pilkadanya diikuti calon petahana.

Situasi akan relatif aman jika KPU dan Bawaslu di setiap daerah dianggap mampu memberikan perlakuan yang adil dan setara kepada setiap kontestan peserta pilkada.

Dari sisi partai politik, elite di pusat ataupun pengurus partai di daerah harus mulai menjauhkan diri dari politik transaksional. Sudah rahasia umum partai politik kerap memasang mahar kepada calon kepala daerah untuk bisa mendapatkan rekomendasi.

Jika sejak proses pencalonan di partai transaksi sudah terjadi, peluang terjadinya politik uang saat kampanye dan hari H sangat terbuka. Salah satu akar konflik adalah belum bebasnya kontestasi politik lokal dari penggunaan uang demi meraih suara.

Kandidat kepala daerah yang mencalonkan diri juga berperan penting menciptakan pilkada aman dan damai. Catatan penting berlaku untuk petahana. Selama ini mobilisasi aparatur sipil negara (ASN) untuk mendukung calon yang menjabat jamak terjadi, baik secara terang-terangan maupun halus.

Diperlukan komitmen petahana untuk tidak menyalahgunakan kekuasaannya, baik dalam bentuk pengerahan ASN untuk mendukunya maupun penggunaan dana APBD untuk kepentingan politik praktis.

Peran masyarakat dalam menciptakan pilkada dami juga tidak kalah pentingnya, terutama tidak mudah terpancing oleh berita bohong atau isu-isu tidak bertanggung jawab. Umum terjadi black campaign mewarnai pilkada untuk menjatuhkan kubu lawan. Masyarakat harus bisa menahan diri, termasuk tidak ikut memanaskan situasi dengan menyebarkan hoaks demi menjatuhkan pihak lawan.

Aparat keamanan juga perlu bertindak tegas agar tercipta kepastian hukum di daerah. Jika memang ada pelanggaran yang dilakukan baik oleh kontestan, tim pemenangan calon, penyelenggara pilkada, maupun masyarakat umum harus diproses sesuai mekanisme yang ada.

Aparat keamanan harus mampu memberikan perlindungan kepada semua. Penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu akan menciptakan rasa keadilan di masyarakat yang ujungnya mampu menciptakan suasana teduh.

Jika semua komponen yang terlibat menjalankan perannya baik, berintegritas, dan bertangung jawab, harapan untuk menciptakan pilkada yang demokratis sangat terbuka. Demokratisasi di ajang politik lokal ini perlu diperjuangkan bersama karena itu merupakan jalan untuk melahirkan pemimpin daerah yang kompeten, punya kapabilitas, dan berintegritas. Kepala daerah yang lahir dari kontestasi yang demokratis menjanjikan lahirnya pemimpin yang mampu membawa daerah ke arah kemajuan.
(zil)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6262 seconds (0.1#10.140)