Omnibus Law: Tinjauan Politik Hukum Progresif-Responsif

Kamis, 27 Februari 2020 - 07:20 WIB
Omnibus Law: Tinjauan Politik Hukum Progresif-Responsif
Omnibus Law: Tinjauan Politik Hukum Progresif-Responsif
A A A
Triantono
Dosen dan Pengamat Kebijakan Publik Universitas Tidar

BEBERAPA waktu terakhir publik maupun media menjadi riuh dengan omnibus law. Pemerintah menilai bahwa omnibus law diperlukan dalam rangka percepatan terhadap harmonisasi, sinkronisasi, dan koreksi atas undang-undang yang berlaku.

Di sisi lain, tidak sedikit kalangan, baik akademisi, aktivis, analis, maupun profesional melihat omnibus law masih sarat dengan persoalan, baik dari sisi substansi maupun proses yang minim dengan partisipasi. Ada kekhawatiran publik bahwa omnibus law justru hanya akan menguntungkan kelompok tertentu, menindas kelompok yang lain, serta jauh dari rasa keadilan.

Kedudukan Omnibus Law

Muncul dan menguatnya gagasan tentang omnibus law tidak bisa dilepaskan dari apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019. Salah satu poin penting pidato tersebut adalah tentang pemangkasan aturan (deregulasi) yang menghambat percepatan investasi. Dengan konsep tersebut kemudian pemerintah membuat rancangan undang-undang (RUU) terkait dengan menggunakan pendekatan omnibus law.

Dua dari tiga RUU yang diusulkan oleh pemerintah, yaitu "Cipta Kerja" dan Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian "dikebut" untuk bisa disahkan segera. Satu RUU lainnya yang juga usulan dari pemerintah adalah RUU tentang Ibu Kota Negara. Sementara satu RUU yang merupakan usulan dari DPR RI adalah RUU tentang Kefarmasian.

Dari aspek historis pada dasarnya istilah omnibus law sendiri hal baru bagi Indonesia yang diadopsi dari tradisi hukum common law . Negara-negara dengan tradisi common law seperti Amerika, Kanada, maupun Irlandia, misalnya, telah menggunakan pendekatan ini dalam penyusunan berbagai perundang-undangan.

Pada 1888 Amerika Serikat telah menggunakan istilah omnibus bill untuk mengatur pembagian rel kereta api, kemudian pada 1967 Amerika Serikat juga menggunakan metode yang sama ketika mengubah undang-undang hukum pidananya melalui "omnibus law amendement bill ". Belakangan, sekitar 2008 Irlandia juga menggunakan pendekatan omnibus law untuk membuat satu undang-undang yang menggantikan lebih kurang 3.225 undang-undang.

Dari praktik-praktik di negara-negara tersebut dapat diketahui bahwa omnibus law merupakan suatu pendekatan/metode dalam proses yang memungkinkan dilakukannya harmonisasi, sinkronisasi, koreksi sekaligus simplifikasi secara komprehensif dalam penyusunan suatu undang-undang.

Dengan metode ini satu undang-undang sangat mungkin terdiri atas berbagai macam substansi dan bersifat multisektor. Hal tersebut juga diterapkan dalam omnibus law misalnya RUU "cipta kerja" sendiri akan mencabut sekitar 79 UU, 1.244 pasal, dan secara substantif mencakup 11 klaster.

Pendekatan omnibus law digadang-gadang akan memberikan efek positif dan signifikan khususnya dalam meningkatkan investasi, produktivitas, serta daya saing ekonomi. Namun, tidak sedikit yang meragukannya. Efek peningkatan investasi dan produktivitas dinilai hanya akan menguntungkan kalangan pengusaha dan pemilik modal, tetapi mengabaikan perlindungan buruh, kelompok rentan, dan abai terhadap lingkungan hidup.

Terlebih lagi proses omnibus law yang digagas oleh pemerintah dinilai minim partisipasi dan tidak akuntabel. Dari sinilah problem dan perdebatan mulai mengemuka dan semakin menguat seiring dengan besarnya keinginan pemerintah untuk segera "memberlakukan" RUU omnibus law.

Politik Hukum Progresif-Responsif

Perdebatan tentang omnibus law dapat ditinjau salah satunya dari aspek politik hukum. Terkait dengan hal tersebut, Wiliam Zevenbergen memberikan tesis bahwa politik hukum berkaitan dengan upaya untuk mencoba menjawab pertanyaan, peraturan-peraturan hukum mana yang patut untuk dijadikan hukum. Itu sebabnya, dapat dikatakan bahwa kebijakan perundang-undangan, tidak terkecuali omnibus law, masuk framing politik hukum.

Terkait dengan hal tersebut maka paling tidak ada dua hal penting yang menjadi bagian dari politik hukum perundang-undangan. Pertama, berkaitan dengan proses yang di dalamnya termasuk metode maupun pendekatan yang digunakan. Kedua, berkaitan dengan produk yang dihasilkan dari politik hukum itu sendiri yang kemudian akan menjadi suatu hukum yang berlaku secara sah dan mengikat.

Secara ideal pendekatan omnibus law diharapkan dapat menjadi alternatif yang tepat untuk mengatasi banyaknya regulasi yang justru rentan menjebak pada kondisi inefisiensi, disharmoni, disinkronisasi, dan inflasi kebijakan. Oleh karenanya, pendekatan ini mutlak membutuhkan tidak saja keahlian, namun juga kecermatan, kehati-hatian, dan kepekaan dalam melihat persoalan.

Keberhasilan dalam penerapan pendekatan omnibus law akan menjadi sejarah baru dalam proses politik hukum perundang-undangan di Indonesia. Hal tersebut tentu harus dibarengi dengan kemampuan undang-undang untuk bisa diterima dan dilaksanakan secara efektif.

Pada aspek efisiensi, komprehensivitas, berorientasi pada tujuan maka semangat yang ada pada proses omnibus law mengingatkan kita pada tawaran dan semangat anti-status quo dalam perspektif hukum progresif. Pemikiran tentang progresivitas hukum oleh Prof Satjipto Rahardjo berupaya untuk memberikan solusi atas kelumpuhan/hambatan hukum yang dihasilkan dari pendekatan dogmatis/positivitstik yang kaku dan sulit menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Hal ini sedikit banyak bersesuaian dengan cita-cita ideal dari desain omnibus law yang menghendaki adanya deregulasi, harmonisasi, sinkronisasi serta simplifikasi undang-undang. Namun demikian, perlu dicatat bahwa politik hukum progresif juga mensyaratkan dengan ketat adanya dua hal. Pertama, partisipasi publik. Kedua, hanya bertujuan untuk kesejahteraan dan keadilan sosial. Untuk kedua syarat inilah politik hukum progresif dari pendekatan omnibus law perundang-undangan yang saat ini dibahas perlu diuji kembali.

Apa yang ditawarkan oleh suatu politik hukum progresif pada hakikatnya adalah erat kaitannya dengan dapat dihasilkannya produk hukum yang responsif. Itu sebabnya, pendekatan omnibus law yang sedang dijalankan oleh pemerintah untuk menyusun beberapa RUU, selain bertujuan untuk mengatasi hambatan prosedural maka secara proses dan hasil tidak boleh bertentangan dengan kepentingan publik (rakyat). Hal ini tidak bisa dilepaskan dari sifat responsif daripada hukum yang akan menguji sejauh mana hukum itu dalam melayani kebutuhan dan kepentingan serta keadilan sosial secara umum.

Ada dua syarat yang harus dimiliki suatu hukum yang responsif. Pertama, adanya penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan. Kedua, pentingnya watak kerakyatan (populis), baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.

Dengan kedua syarat tersebut progresivitas dalam proses dan pendekatan omnibus law akan berkontribusi dalam mewujudkan produk hukum yang responsif. Hal ini harus menjadi perhatian serius dalam proses politik hukum perundang-undangan dengan menggunakan omnibus law yang saat ini sedang digarap. Jika tidak, kekhawatiran publik akan adanya distorsi bahkan destruksi terhadap keadilan sosial akan menjadi kenyataan.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4812 seconds (0.1#10.140)