BNPB: Indonesia Harus Menjadi Laboratorium Bencana

Senin, 24 Februari 2020 - 14:38 WIB
BNPB: Indonesia Harus Menjadi Laboratorium Bencana
BNPB: Indonesia Harus Menjadi Laboratorium Bencana
A A A
JAKARTA - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo mengingatkan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki catatan sejarah dengan beragam bencana. Namun, ia menegaskan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi supermarket bencana tetapi laboratorium manajemen bencana baik dalam dan luar negeri.

Hal ini diungkapkan Doni ketika membuka membuka soft launching Asia Disaster Management and Civil Protection and Conference (Adexco) yang akan diselenggarakan di Jakarta International Expo, Kemayoran Jakarta pada 20-22 Oktober mendatang, dengan tema ‘Penerapan Inovasi Teknologi dan Pendekatan Ekosistem Dalam Penanggulangan Bencana Berbasis Kearifan Lokal’, di Graha BNPB, Jakarta, Senin (24/2/2020).

“Indonesia punya sejarah panjang bencana, namun Indonesia tidak boleh hanya menjadi supermarket bencana tetapi laboratorium manajemen bencana baik dalam dan luar negeri. Sehingga, melalui seminar ini salah satu cara untuk memformulasikan solusi jangka panjang, terlebih lagi dalam konteks membangun ekosistem, ini membutuhkan waktu lama,” sambung Doni.

Doni juga menyampaikan beberapa pesan terkait kondisi kebencanaan di Tanah Air. Menurutnya, kategori bencana dibagi dalam empat domain yaitu bencana geologi, hidrometeorologi I, hidrometeorologi II dan bencana non alam.

Bencana hidrometeorologi yang pertama lebih pada kebakaran hutan dan lahan, sedangkan kedua menyangkut banjir, banjir bandang, longsor, abrasi, gelombang ekstrem, atau puting beliung. Dia kemudian menggambarkan bahwa kebanyakan korban bencana karena bangunan yang tidak tepat untuk wilayah rawan bencana.

“Seperti wilayah rawan gempa bumi, korban sebagian besar disebabkan karena bangunan dan bukan gempa. Bangunan tahan gempa masih menjadi tantangan besar bagi sebagian besar masyarakat,” jelas Doni.

Sementara itu terkait sejarah gempa dan tsunami, Indonesia memiliki sejarah yang berulang. Doni mengatakan bahwa kejadian gempa Aceh merupakan bencana berulang dengan ditemukan bukti bahwa tsunami telah ada sejak 7.500 tahun lalu yang dapat diketahui dari lapisan paleotsunami di gua Eek Leuntik, Aceh Besar.

Oleh karena itu, kata Doni, dari potensi bencana yang berulang ini harus diupayakan penanganan pencegahan yang berbasis ekosistem. “Belajar dari tsunami Selat Sunda 2018 di wilayah Pandeglang, khususnya Tanjung Lesung, masyarakat di pinggir pantai terselamatkan karena gugusan pohon yang menghambat terjangan tsunami. Bahwa benteng alam terbaik yaitu vegetasi, seperti mangrove yang ditanam paling pinggir, cemara udang pada lapis kedua dan pule atau ketapang pada lapis ketiga,” katanya.

Doni juga meminta semua pihak untuk memikirkan mitigasi dan penanganan bencana untuk ratusan tahun ke depan. “Bencana yang datang silih berganti itu sejatinya dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia dan juga negara lain di Asia, terkait mitigasi dan penanganan bencana. Paradigma tentang kebencanaan harus dipahami secara kolektif bahwa bencana merupakan urusan bersama, dengan peran aktif dari kelima unsur Pentaheliks,” tegasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0050 seconds (0.1#10.140)