Meletakkan Putusan DKPP Secara Proporsional

Jum'at, 04 September 2020 - 07:17 WIB
loading...
Meletakkan Putusan DKPP Secara Proporsional
A Ahsin Thohari
A A A
A Ahsin Thohari
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta

PRESIDEN Joko Widodo telah mencabut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P/2020 tentang Pemberhentian dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Masa Jabatan 2017-2022 atas nama Evi Novida Ginting Manik. Pencabutan tersebut tertuang dalam Keppres Nomor 83/P/2020. Evi pun kini aktif kembali menjadi anggota KPU.

Seperti diketahui, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT telah membatalkan Keppres Nomor 34/P/2020. Putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), karena Presiden Joko Widodo tidak mengajukan banding. Sikap presiden itu sesuai dengan Pasal 7 Ayat (2) huruf l Undang-Undang Nomor 30/2004 tentang Administrasi Pemerintahan yang mewajibkan pejabat pemerintahan mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Keberadaan Keppres Nomor 83/P/2020 ini penting untuk mengakhiri polemik seputar ketidakpastian keabsahan pemberhentian Evi.

Sebelumnya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui Putusan Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 telah menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Evi lantaran terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu. Presiden lalu menindaklanjuti putusan ini dengan menerbitkan Keppres Nomor 34/P/2020 tersebut.

Tak bisa dimungkiri bahwa pemberhentian Evi itu semakin menggerus integritas dan legitimasi KPU yang sedang berjibaku menyiapkan penyelenggaraan Pilkada 2020 di tengah kecamuk pandemi Covid-19 yang belum ada tanda-tanda berkesudahan. Padahal, sebelum kasus Evi ini pun, durja integritas dan legitimasi KPU sudah coreng-moreng oleh keterlibatan anggota KPU lain, Wahyu Setiawan, dalam kasus suap yang kini telah dijatuhi hukuman enam tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Sayangnya, DKPP cenderung kurang menerima putusan PTUN Jakarta dan sikap presiden itu. Seolah-olah ingin menunjukkan kepada publik bahwa putusan DKPP adalah produk hukum yang superior, DKPP bersikeras dengan pendiriannya. Pertama, putusan PTUN Jakarta yang mengoreksi putusan DKPP itu tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Kedua, putusan DKPP bersifat final dan mengikat, sehingga pemberhentian Evi tetap, tidak berubah, dan tidak bisa dianulir. Ketiga, dengan demikian, DKPP tidak mengakui kembalinya Evi sebagai anggota KPU.

Tindakan DKPP ini tentu saja tidak sebangun dengan pendirian Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 31/PUU-XI/2013 yang pernah menafsirkan makna putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat yang diatur dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu. MK menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat lembaga peradilan pada umumnya.

Sifat final dan mengikat putusan DKPP harus dimaknai final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP. Adapun keputusan presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu merupakan keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di PTUN. PTUN berwenang memeriksa dan menilai kembali putusan DKPP.

Tafsir MK itu secara mutatis mutandis berlaku dan mengikat pula bagi pemaknaan konstitusionalitas Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang juga mengatur sifat final dan mengikat putusan DKPP. Artinya, sifat final dan mengikat putusan DKPP itu tak boleh dilepaskan dari kerangka penafsiran MK tersebut sebagai wujud konsistensi norma undang-undang atas norma konstitusionalnya.

Pada sisi lain, Putusan PTUN Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT tersebut juga menguak kekeliruan putusan DKPP yang mengandung cacat yuridis, karena tidak patuh pada hukum acara. Cacat yuridis itu meliputi: (1) Evi tidak pernah didengar keterangan dan pembelaannya dalam persidangan; (2) putusan diambil dalam rapat pleno yang hanya dihadiri 4 orang anggota DKPP yang seharusnya 7 orang dan dalam keadaan tertentu paling sedikit 5 orang; dan (3) pengadu sudah mencabut pengaduan dalam kesempatan sidang pertama dan tak bersedia lagi hadir dalam sidang berikutnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1268 seconds (0.1#10.140)