Gaduh Cukai Karbon hingga Pemanis

Jum'at, 21 Februari 2020 - 06:04 WIB
Gaduh Cukai Karbon hingga Pemanis
Gaduh Cukai Karbon hingga Pemanis
A A A
PEMERINTAH mewacanakan memungut cukai untuk plas­tik, emisi karbon, dan pemanis. Sontak, wacana ter­se­but kembali menimbulkan kegaduhan. Kalangan in­dus­tri pun mempertanyakan wacana kebijakan baru dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu. Bahkan, beberapa pihak menanggapinya dengan sinis. Penye­bab­nya, pernyataan Menteri Keuangan yang me­ngait­kan cukai karbon tersebut dengan prevalensi diabetes melitus dan obe­sitas yang cenderung meningkat. Pihak yang tidak sepakat pun mengusulkan agar garam dikenai cukai. Alasannya, garam juga memiliki prevalensi terhadap penyakit hipertensi atau darah tinggi.

Sejatinya, beragam wacana itu merupakan upaya pemerintah untuk menggenjot penerimaan. Hanya, yang menjadi pertanyaan sejauh mana efektivitas dan seberapa besar pendapatan dari cukai tersebut. Jika dibandingkan dengan insentif pajak sebesar Rp220 tri­liun kepada pelaku usaha pada 2018 lalu atau setara dengan 1,5% produk domestik bruto (PDB), nilai cukai dari plastik, emisi karbon, ataupun pe­manis tersebut masih kalah besar.

Ambil contoh cukai yang akan dikenakan untuk plastik adalah Rp30.000 per kilogram atau Rp200 per lembar. Tarif yang diajukan ini menurut hitungan Kemenkeu bisa menekan konsumsi plastik hingga 50% dan potensi penerimaan cukai bisa mencapai Rp1,6 triliun. Untuk cukai produk dengan kandungan pemanis, teh ke­mas­an tarif cukainya Rp1.500/liter. Saat ini produksi minuman teh ke­mas­an adalah 2,191 miliar liter, dan setelah pengenaan cukai di­pro­­yek­sikan akan turun menjadi 2,015 miliar liter. Potensi penerimaan cukai­nya adalah Rp2,7 triliun.

Sementara itu, minuman berkarbonasi dan minuman lainnya ha­nya menyumbang Rp3,5 triliun. Meski pendapatan yang akan diterima tidak terlalu besar, dampaknya justru akan dirasakan oleh ma­syarakat, mengingat hasil akhir produk tersebut akan dibayar ma­syarakat sebagai konsumen. Ini tentu akan menambah beban hidup masyarakat. Begitu pula dengan cukai emisi karbon. Apabila terealisasi maka pemilik kendaraan bermotor akan mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar cukai.

Kalangan industri pun kali ini berani meneriakkan ketidak­setu­ju­an­nya dengan keras. Industri plastik, misalnya, menganggap jika pe­merintah menginginkan sumber pendanaan baru maka bisa men­cari dari sektor lain. Misalnya mengenai tarif besar pada bahan baku impor plastik dan bahan baku plastik.

Jika pemerintah ingin mengedepankan aspek lingkungan dan ke­sehatan, seharusnya cukai plastik tidak hanya ditujukan untuk kan­tong kresek saja, tetapi juga terhadap beberapa produk plastik lain­nya, seperti minuman kemasan, kemasan makanan instan, dan pro­duk lainnya. Wacana cukai tersebut sejatinya berpotensi me­rugi­kan negara. Pasalnya, cukai berpotensi menurunkan pen­da­pat­an industri se­hing­ga setoran pajak ke negara pun ikut berkurang.

Penerapan cukai sama saja dengan memaksa pengusaha mem­beri­kan harga jual lebih tinggi pada konsumen, sebab mau tidak mau industri harus mempertahankan margin keuntungan untuk me­me­nuhi komponen biaya produksi lain, termasuk biaya tenaga kerja. Masyarakat akan terkena dampak karena harus membeli produk ma­kanan dan minuman dengan harga lebih mahal. Multiplier effect -nya, daya beli masyarakat berpotensi turun.

Cukai produk plastik juga berpotensi menghambat investasi hingga USD5 miliar atau setara Rp69 triliun menurut versi asosiasi industri olefin, aromatik, dan plastik. Selain itu pertumbuhan in­dustri padat karya itu diproyeksi melambat akibat adanya tambahan regulasi. Adapun cukai emisi karbon akan dikutip dari pabrikan dan importir. Pabrikan yang dimaksud adalah produsen dalam negeri. Mengenai pembayaran dilakukan secara berkala setiap bulannya. Pa­brikan mobil di dalam negeri tentunya tak mau menanggung cu­kai tersebut sendirian. Seperti prinsip bisnis pada umumnya, shar­ing the pain, kutipan cukai itu berpotensi dibebankan kepada kon­su­men melalui harga jual. Hal ini akan membuat industri automotif se­makin diliputi ketidakpastian.

Apalagi, sejak 2019 lalu, sektor ini cen­derung melemah karena kurangnya minat masyarakat untuk mem­beli kendaraan baru.

Selama 2019 penjualan mobil tergerus dibandingkan dengan realisasi 2018. Meskipun yang dijaikan alasan adalah 2019 tahun po­litik, namun data mberkata lain. Pada 2019, pertumbuhan eko­nomi nasional hanya 5,05%.Kenaikan harga sangat mungkin mem­b­uat permintaan mobil dan sepeda motor turun. Akibatnya, pen­jual­an akan tertekan. Penjualan sepeda motor sudah turun selama em­pat bulan beruntun. Penjualan monil, malah lebih parah selama 13 bulan berturut-turut anjlok.

Tingginya penjualan kendaraan bermotor baik mobil maupun se­peda motor merupakan salah satu indikator pergerakan per­eko­nomian. Dengan statusnya sebagai kebutuhan tersier, jika volume pen­jualan besar naik berarti daya beli masyarakat sedang tinggi ka­rena ada kemampuan untuk membeli barang yang bukan kebu­tuh­an pokok. Untuk me­nam­bah pemasukan keuangan negara, di­per­­lu­kan daya pikir dan anali­sis yang brilian sehingga mampu men­cari sum­ber yang tepat sehingga tidak menimbulkan kegaduhan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5954 seconds (0.1#10.140)