Wacana Reposisi Polri Dinilai Aneh dan Tolak Penerapan Asas Dominus Litis di RKUHAP
loading...

Mantan narapidana teroris (napiter) Muhammad Sofyan Tsauri menolak wacana reposisi Polri yang digaungkan oleh segelintir kelompok masyarakat. Isu tersebut dinilai sangat aneh. Foto: Ist
A
A
A
JAKARTA - Mantan narapidana teroris (napiter) Muhammad Sofyan Tsauri menolak wacana reposisi Polri yang digaungkan oleh segelintir kelompok masyarakat. Isu tersebut dinilai sangat aneh.
Sekelompok orang yang ingin Polri tidak lagi di bawah Presiden, namun di bawah lembaga tertentu mencederai semangat Reformasi 98.
"Di antaranya menjadikan Indonesia sebagai negara yang menjunjung HAM, negara yang menjunjung demokrasi," ujar Sofyan, Sabtu (15/2/2025).
Baca juga: Wacana Polri di Bawah Kemendagri Dinilai Langkah Mundur
Menurut dia, bisa bayangkan bila Polri di bawah lembaga lain seperti TNI atau lembaga semimiliter jelas mencederai semangat reformasi.
"Supremasi sipil itu harus terdepan bukan militer. Apa kata dunia kalau kita kembali ke Orde Baru di mana militer mendominasi dan ini akan mengancam HAM maupun demokrasi yang kita jalani selama dua dekade," katanya.
Sofyan juga menolak dominus litis pada RKUHAP di mana Kejaksaan justru menjadi lembaga super power dan Polri berpotensi di bawah Kejaksaan. Polri justru harus diperkuat sebagaimana KPK, Kejaksaan, dan sebagainya agar nanti penegakan hukum bisa lebih independen.
"Karena kalau sampai di bawah institusi yang lain ini tidak jadi independen dan tidak objektif dalam penegakan hukum. Dan ini sangat-sangat mengancam demokrasi kita dan memicu distabilitas," ujarnya.
Selanjutnya, Sofyan meminta masyarakat terus mendukung dan membantu institusi kepolisian agar Polri bisa tetap dicintai masyarakat, bisa menjalankan tugas-tugasnya secara baik.
"Kenapa bisa demikian? Bayangkan kalau kepolisian institusi yang kita cintai ini dirusak nama baiknya. Kemudian kepada siapa kita mau mengadukan setiap permasalahan-permasalahan kita. Lebih baik kita dikuasai 80 tahun oleh polisi-polisi yang kita anggap kurang baik daripada satu malam nggak ada polisi. Artinya betapa posisi polisi sangat penting. Perlu kita jaga juga dan kita juga perlu membangun kritikan yang sifatnya membangun bukan menjatuhkan," ungkapnya.
Kemudian, dia menyoroti maraknya penyebaran hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) di media sosial yang kerap dikaitkan dengan kebijakan pemerintah atau institusi Polri.
Fenomena ini bukan hanya meresahkan, tetapi juga berpotensi memecah belah persatuan nasional. Kebohongan yang disebarkan secara masif lambat laun dapat dianggap sebagai kebenaran, terutama jika tidak ada tindakan tegas dari pemerintah.
Sofyan mengingatkan situasi pada tahun 2017 ketika Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis Indeks Potensi Radikalisme yang mencapai 55%. Saat itu, masyarakat Indonesia terpolarisasi menjadi dua kelompok yang dikenal dengan istilah “cebong” dan “kampret”. “Kita seperti berada di ambang perang saudara. Ini sangat berbahaya,” ucapnya.
Karena itu, dia mendukung penegakan hukum terhadap ujaran kebencian di media sosial. “Jika tidak, negara ini seperti negara tanpa hukum. Orang bebas membully, mencaci maki, dan menyebarkan kebencian,” ucapnya.
Sofyan juga mengingatkan dampak serius hoaks dan ujaran kebencian terhadap kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan Polri. Dia mencontohkan situasi di Suriah yang mengalami perang saudara selama 13 tahun akibat provokasi dan ajaran kebencian.
“Kita tidak ingin Indonesia yang multikultural ini dikotori oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab,” katanya.
Dia menilai Indonesia bisa menjadi negara gagal jika tidak mampu menertibkan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.
“Termasuk yang ada di Tunisia, kemudian di Mesir lalu di Yaman, kemudian Suriah yang sampai sekarang menjadi negara antah-berantah, hancur karena peperangan. Makanya ini tidak boleh terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Sofyan menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam menindak tegas penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Dengan meningkatnya kasus hoaks dan ujaran kebencian di media sosial, upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan institusi penegak hukum seperti Polri dinilai sangat penting untuk menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.
Sekelompok orang yang ingin Polri tidak lagi di bawah Presiden, namun di bawah lembaga tertentu mencederai semangat Reformasi 98.
"Di antaranya menjadikan Indonesia sebagai negara yang menjunjung HAM, negara yang menjunjung demokrasi," ujar Sofyan, Sabtu (15/2/2025).
Baca juga: Wacana Polri di Bawah Kemendagri Dinilai Langkah Mundur
Menurut dia, bisa bayangkan bila Polri di bawah lembaga lain seperti TNI atau lembaga semimiliter jelas mencederai semangat reformasi.
"Supremasi sipil itu harus terdepan bukan militer. Apa kata dunia kalau kita kembali ke Orde Baru di mana militer mendominasi dan ini akan mengancam HAM maupun demokrasi yang kita jalani selama dua dekade," katanya.
Sofyan juga menolak dominus litis pada RKUHAP di mana Kejaksaan justru menjadi lembaga super power dan Polri berpotensi di bawah Kejaksaan. Polri justru harus diperkuat sebagaimana KPK, Kejaksaan, dan sebagainya agar nanti penegakan hukum bisa lebih independen.
"Karena kalau sampai di bawah institusi yang lain ini tidak jadi independen dan tidak objektif dalam penegakan hukum. Dan ini sangat-sangat mengancam demokrasi kita dan memicu distabilitas," ujarnya.
Selanjutnya, Sofyan meminta masyarakat terus mendukung dan membantu institusi kepolisian agar Polri bisa tetap dicintai masyarakat, bisa menjalankan tugas-tugasnya secara baik.
"Kenapa bisa demikian? Bayangkan kalau kepolisian institusi yang kita cintai ini dirusak nama baiknya. Kemudian kepada siapa kita mau mengadukan setiap permasalahan-permasalahan kita. Lebih baik kita dikuasai 80 tahun oleh polisi-polisi yang kita anggap kurang baik daripada satu malam nggak ada polisi. Artinya betapa posisi polisi sangat penting. Perlu kita jaga juga dan kita juga perlu membangun kritikan yang sifatnya membangun bukan menjatuhkan," ungkapnya.
Kemudian, dia menyoroti maraknya penyebaran hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) di media sosial yang kerap dikaitkan dengan kebijakan pemerintah atau institusi Polri.
Fenomena ini bukan hanya meresahkan, tetapi juga berpotensi memecah belah persatuan nasional. Kebohongan yang disebarkan secara masif lambat laun dapat dianggap sebagai kebenaran, terutama jika tidak ada tindakan tegas dari pemerintah.
Sofyan mengingatkan situasi pada tahun 2017 ketika Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis Indeks Potensi Radikalisme yang mencapai 55%. Saat itu, masyarakat Indonesia terpolarisasi menjadi dua kelompok yang dikenal dengan istilah “cebong” dan “kampret”. “Kita seperti berada di ambang perang saudara. Ini sangat berbahaya,” ucapnya.
Karena itu, dia mendukung penegakan hukum terhadap ujaran kebencian di media sosial. “Jika tidak, negara ini seperti negara tanpa hukum. Orang bebas membully, mencaci maki, dan menyebarkan kebencian,” ucapnya.
Sofyan juga mengingatkan dampak serius hoaks dan ujaran kebencian terhadap kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan Polri. Dia mencontohkan situasi di Suriah yang mengalami perang saudara selama 13 tahun akibat provokasi dan ajaran kebencian.
“Kita tidak ingin Indonesia yang multikultural ini dikotori oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab,” katanya.
Dia menilai Indonesia bisa menjadi negara gagal jika tidak mampu menertibkan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.
“Termasuk yang ada di Tunisia, kemudian di Mesir lalu di Yaman, kemudian Suriah yang sampai sekarang menjadi negara antah-berantah, hancur karena peperangan. Makanya ini tidak boleh terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Sofyan menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam menindak tegas penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Dengan meningkatnya kasus hoaks dan ujaran kebencian di media sosial, upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan institusi penegak hukum seperti Polri dinilai sangat penting untuk menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.
(jon)
Lihat Juga :