Wacana Reposisi Polri Dinilai Aneh dan Tolak Penerapan Asas Dominus Litis di RKUHAP
loading...
A
A
A
Kemudian, dia menyoroti maraknya penyebaran hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) di media sosial yang kerap dikaitkan dengan kebijakan pemerintah atau institusi Polri.
Fenomena ini bukan hanya meresahkan, tetapi juga berpotensi memecah belah persatuan nasional. Kebohongan yang disebarkan secara masif lambat laun dapat dianggap sebagai kebenaran, terutama jika tidak ada tindakan tegas dari pemerintah.
Sofyan mengingatkan situasi pada tahun 2017 ketika Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis Indeks Potensi Radikalisme yang mencapai 55%. Saat itu, masyarakat Indonesia terpolarisasi menjadi dua kelompok yang dikenal dengan istilah “cebong” dan “kampret”. “Kita seperti berada di ambang perang saudara. Ini sangat berbahaya,” ucapnya.
Karena itu, dia mendukung penegakan hukum terhadap ujaran kebencian di media sosial. “Jika tidak, negara ini seperti negara tanpa hukum. Orang bebas membully, mencaci maki, dan menyebarkan kebencian,” ucapnya.
Sofyan juga mengingatkan dampak serius hoaks dan ujaran kebencian terhadap kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan Polri. Dia mencontohkan situasi di Suriah yang mengalami perang saudara selama 13 tahun akibat provokasi dan ajaran kebencian.
“Kita tidak ingin Indonesia yang multikultural ini dikotori oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab,” katanya.
Dia menilai Indonesia bisa menjadi negara gagal jika tidak mampu menertibkan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.
“Termasuk yang ada di Tunisia, kemudian di Mesir lalu di Yaman, kemudian Suriah yang sampai sekarang menjadi negara antah-berantah, hancur karena peperangan. Makanya ini tidak boleh terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Sofyan menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam menindak tegas penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Dengan meningkatnya kasus hoaks dan ujaran kebencian di media sosial, upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan institusi penegak hukum seperti Polri dinilai sangat penting untuk menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.
Fenomena ini bukan hanya meresahkan, tetapi juga berpotensi memecah belah persatuan nasional. Kebohongan yang disebarkan secara masif lambat laun dapat dianggap sebagai kebenaran, terutama jika tidak ada tindakan tegas dari pemerintah.
Sofyan mengingatkan situasi pada tahun 2017 ketika Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis Indeks Potensi Radikalisme yang mencapai 55%. Saat itu, masyarakat Indonesia terpolarisasi menjadi dua kelompok yang dikenal dengan istilah “cebong” dan “kampret”. “Kita seperti berada di ambang perang saudara. Ini sangat berbahaya,” ucapnya.
Karena itu, dia mendukung penegakan hukum terhadap ujaran kebencian di media sosial. “Jika tidak, negara ini seperti negara tanpa hukum. Orang bebas membully, mencaci maki, dan menyebarkan kebencian,” ucapnya.
Sofyan juga mengingatkan dampak serius hoaks dan ujaran kebencian terhadap kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan Polri. Dia mencontohkan situasi di Suriah yang mengalami perang saudara selama 13 tahun akibat provokasi dan ajaran kebencian.
“Kita tidak ingin Indonesia yang multikultural ini dikotori oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab,” katanya.
Dia menilai Indonesia bisa menjadi negara gagal jika tidak mampu menertibkan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.
“Termasuk yang ada di Tunisia, kemudian di Mesir lalu di Yaman, kemudian Suriah yang sampai sekarang menjadi negara antah-berantah, hancur karena peperangan. Makanya ini tidak boleh terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Sofyan menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam menindak tegas penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Dengan meningkatnya kasus hoaks dan ujaran kebencian di media sosial, upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan institusi penegak hukum seperti Polri dinilai sangat penting untuk menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.
(jon)
Lihat Juga :