Pendekatan THR Bisa Jadi Alternatif Dalam Upaya Berhenti Merokok
loading...

Pendekatan Tobacco Harm Reduction (THR) menjadi salah satu cara yang bisa diambil dalam upaya berhenti merokok. Foto/Ilustrasi/Ist
A
A
A
JAKARTA - Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan, faktor risiko merokok menjadi salah satu penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia.
Situasi ini memunculkan pentingnya keterbukaan terhadap strategi lain yang bisa diterapkan untuk menurunkan risiko akibat rokok hingga membantu perokok berhenti merokok.
Pendekatan Tobacco Harm Reduction (THR) menjadi salah satu cara yang bisa diambil dalam mengatasi hal itu.
Berdasarkan laporan “Lives Saved Report” yang dikeluarkan oleh Global Health Consults, penerapan THR dapat menyelamatkan 4,6 juta nyawa perokok hingga 2060 di Indonesia.
“Kalau melihat definisinya, THR ini fokus pada mengurangi dampak risiko dari merokok. THR bisa menjadi salah satu alternatif dalam upaya berhenti merokok. Kami akan menunggu hasil risetnya untuk masukan kebijakan kita,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi dalam acara diskusi di Jakarta, Senin (3/2/2025).
THR sendiri merupakan salah satu metode alternatif untuk menurunkan risiko produk tembakau.
Pendekatan ini bukan hanya menekankan pada peralihan penggunaan produk alternatif, melainkan sebagai keseluruhan upaya menurunkan risiko yang diwujudkan melalui kebijakan, riset, dan perkembangan teknologi hingga akhirnya membuat perokok berhenti merokok.
Nadia mengatakan, peran Kemenkes dalam merumuskan kebijakan menjadi salah satu poin penting dalam upaya mengatasi dampak risiko akibat rokok.
Hingga saat ini, Kemenkes masih berfokus pada penerapan Upaya Berhenti Merokok (UBM) melalui praktik konseling di tingkat Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) dalam membantu orang berhenti merokok.
“Secara strategi [untuk mendorong masyarakat berhenti merokok] kami punya UBM dan hotline berhenti merokok. Memang belum maksimal dan belum ada di semua tempat, ini masukan buat kami. Soal THR, kita lihat perkembangan studinya, apakah THR bisa jadi cara agar regulasi yang terbit bisa evidence-based,” kata Nadia.
Penyusunan kebijakan berbasis bukti atau data menjadi hal yang harus didorong, terutama dalam mengatasi masalah perokok di Indonesia.
Akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung sekaligus salah satu penulis laporan Lives Saved Report, dr. Ronny Lesmana menjelaskan, selama ini gerakan untuk mengajak orang berhenti merokok sudah masif dilakukan, tetapi belum efisien dalam menurunkan angka perokok.
Untuk itu, diperlukan pendekatan dan strategi lain, salah satunya dengan menerapkan metode THR.
“Kita tidak bisa hanya berdiam diri. Kalau THR diterapkan, maka kualitas hidup dan angka harapan hidup masyarakat akan lebih baik. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, dampak penggunaan produk rendah risiko menunjukkan toksisitas lebih rendah dan menurunkan inflamasi paru-paru. Ini data kami,” ujar Ronny.
Uji toksisitas tersebut dilakukan dengan menguji sel molekuler pada perokok konvensional dan perokok produk alternatif rendah risiko.
Produk yang digunakan untuk penelitian disesuaikan dengan standar yang ditetapkan di seluruh dunia. Penelitian replikasi yang diuji di enam negara pun menunjukkan bahwa beberapa produk alternatif tersebut terbukti lebih rendah risiko dibanding rokok konvensional.
Kajian berbasis ilmiah yang dilakukan sesuai metodologi sangat dibutuhkan di Indonesia. Riset THR yang spesifik dengan dukungan dari pemerintah sangat penting, terutama dalam mewujudkan kolaborasi bersama lembaga penelitian dan lembaga pendidikan.
Nantinya, temuan tersebut akan menjadi basis data yang berperan sebagai pertimbangan pemerintah dalam menyusun regulasi.
Saat ini, minimnya data soal THR berdampak pula pada keluaran regulasi yang belum tepat sasaran.
Sementara peneliti dan mantan Direktur Riset Kebijakan World Health Organization (WHO) Prof. Tikki Pangestu menekankan pentingnya penelitian soal THR di Indonesia.
Hasil penelitian tersebut akan menjadi basis awal dalam proses perumusan kebijakan agar hasilnya lebih efektif. Penelitian mengenai THR yang sebelumnya sudah dilakukan di luar negeri belum bisa sepenuhnya menggambarkan kondisi perokok sesungguhnya di Indonesia.
“Penelitian lanjutan THR dalam konteks lokal harus diberi prioritas tinggi dan mendapat sokongan. Ini yang masih sangat kurang di Indonesia. Penelitian bisa berfokus pada dampak kesehatan dan dampak ekonomi, seperti apa perbandingannya antara rokok konvensional dengan produk alternatif,” kata Tikki.
Dukungan untuk menerapkan THR sebagai salah satu cara untuk berhenti merokok turut disuarakan oleh praktisi kesehatan dr. Arifandi Sanjaya.
Berdasarkan apa yang ditemukan ketika berhadapan langsung dengan pasien, perkembangan produk alternatif sebagai salah satu strategi THR menunjukkan adanya peningkatan kualitas hidup pasien.
“Saya sempat menerapkan THR pada 2014, fokus untuk mengurangi risiko tembakau. Memang ada cara-cara yang berbeda, tetapi alangkah lebih baik kalau ada yang meregulasi THR dan mengaitkannya dengan penelitian yang sudah dilakukan. Membuat orang berhenti merokok itu susahnya luar biasa. Maka perlu membatasi dosisnya, perlu diturunkan frekuensi zat berbahaya dan ditingkatkan kualitas hidupnya, akhirnya dicari produk alternatif,” kata Arifandi.
Seperti diketahui, saat ini Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia.
Selain itu, jumlah kematian akibat rokok di Indonesia mencapai 300.000 jiwa setiap tahunnya. Kondisi ini memerlukan langkah serius dari pemerintah untuk menurunkan jumlah perokok, terutama dengan membuka diri dalam menerapkan pendekatan alternatif berbasis data yang dirumuskan dalam kebijakan.
Situasi ini memunculkan pentingnya keterbukaan terhadap strategi lain yang bisa diterapkan untuk menurunkan risiko akibat rokok hingga membantu perokok berhenti merokok.
Baca Juga :
6 Tips Berhenti Merokok, Ayo Hidup Lebih Sehat!
Pendekatan Tobacco Harm Reduction (THR) menjadi salah satu cara yang bisa diambil dalam mengatasi hal itu.
Berdasarkan laporan “Lives Saved Report” yang dikeluarkan oleh Global Health Consults, penerapan THR dapat menyelamatkan 4,6 juta nyawa perokok hingga 2060 di Indonesia.
“Kalau melihat definisinya, THR ini fokus pada mengurangi dampak risiko dari merokok. THR bisa menjadi salah satu alternatif dalam upaya berhenti merokok. Kami akan menunggu hasil risetnya untuk masukan kebijakan kita,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi dalam acara diskusi di Jakarta, Senin (3/2/2025).
THR sendiri merupakan salah satu metode alternatif untuk menurunkan risiko produk tembakau.
Pendekatan ini bukan hanya menekankan pada peralihan penggunaan produk alternatif, melainkan sebagai keseluruhan upaya menurunkan risiko yang diwujudkan melalui kebijakan, riset, dan perkembangan teknologi hingga akhirnya membuat perokok berhenti merokok.
Nadia mengatakan, peran Kemenkes dalam merumuskan kebijakan menjadi salah satu poin penting dalam upaya mengatasi dampak risiko akibat rokok.
Hingga saat ini, Kemenkes masih berfokus pada penerapan Upaya Berhenti Merokok (UBM) melalui praktik konseling di tingkat Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) dalam membantu orang berhenti merokok.
“Secara strategi [untuk mendorong masyarakat berhenti merokok] kami punya UBM dan hotline berhenti merokok. Memang belum maksimal dan belum ada di semua tempat, ini masukan buat kami. Soal THR, kita lihat perkembangan studinya, apakah THR bisa jadi cara agar regulasi yang terbit bisa evidence-based,” kata Nadia.
Penyusunan kebijakan berbasis bukti atau data menjadi hal yang harus didorong, terutama dalam mengatasi masalah perokok di Indonesia.
Akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung sekaligus salah satu penulis laporan Lives Saved Report, dr. Ronny Lesmana menjelaskan, selama ini gerakan untuk mengajak orang berhenti merokok sudah masif dilakukan, tetapi belum efisien dalam menurunkan angka perokok.
Untuk itu, diperlukan pendekatan dan strategi lain, salah satunya dengan menerapkan metode THR.
“Kita tidak bisa hanya berdiam diri. Kalau THR diterapkan, maka kualitas hidup dan angka harapan hidup masyarakat akan lebih baik. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, dampak penggunaan produk rendah risiko menunjukkan toksisitas lebih rendah dan menurunkan inflamasi paru-paru. Ini data kami,” ujar Ronny.
Uji toksisitas tersebut dilakukan dengan menguji sel molekuler pada perokok konvensional dan perokok produk alternatif rendah risiko.
Produk yang digunakan untuk penelitian disesuaikan dengan standar yang ditetapkan di seluruh dunia. Penelitian replikasi yang diuji di enam negara pun menunjukkan bahwa beberapa produk alternatif tersebut terbukti lebih rendah risiko dibanding rokok konvensional.
Kajian berbasis ilmiah yang dilakukan sesuai metodologi sangat dibutuhkan di Indonesia. Riset THR yang spesifik dengan dukungan dari pemerintah sangat penting, terutama dalam mewujudkan kolaborasi bersama lembaga penelitian dan lembaga pendidikan.
Nantinya, temuan tersebut akan menjadi basis data yang berperan sebagai pertimbangan pemerintah dalam menyusun regulasi.
Saat ini, minimnya data soal THR berdampak pula pada keluaran regulasi yang belum tepat sasaran.
Sementara peneliti dan mantan Direktur Riset Kebijakan World Health Organization (WHO) Prof. Tikki Pangestu menekankan pentingnya penelitian soal THR di Indonesia.
Hasil penelitian tersebut akan menjadi basis awal dalam proses perumusan kebijakan agar hasilnya lebih efektif. Penelitian mengenai THR yang sebelumnya sudah dilakukan di luar negeri belum bisa sepenuhnya menggambarkan kondisi perokok sesungguhnya di Indonesia.
“Penelitian lanjutan THR dalam konteks lokal harus diberi prioritas tinggi dan mendapat sokongan. Ini yang masih sangat kurang di Indonesia. Penelitian bisa berfokus pada dampak kesehatan dan dampak ekonomi, seperti apa perbandingannya antara rokok konvensional dengan produk alternatif,” kata Tikki.
Dukungan untuk menerapkan THR sebagai salah satu cara untuk berhenti merokok turut disuarakan oleh praktisi kesehatan dr. Arifandi Sanjaya.
Berdasarkan apa yang ditemukan ketika berhadapan langsung dengan pasien, perkembangan produk alternatif sebagai salah satu strategi THR menunjukkan adanya peningkatan kualitas hidup pasien.
“Saya sempat menerapkan THR pada 2014, fokus untuk mengurangi risiko tembakau. Memang ada cara-cara yang berbeda, tetapi alangkah lebih baik kalau ada yang meregulasi THR dan mengaitkannya dengan penelitian yang sudah dilakukan. Membuat orang berhenti merokok itu susahnya luar biasa. Maka perlu membatasi dosisnya, perlu diturunkan frekuensi zat berbahaya dan ditingkatkan kualitas hidupnya, akhirnya dicari produk alternatif,” kata Arifandi.
Seperti diketahui, saat ini Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia.
Selain itu, jumlah kematian akibat rokok di Indonesia mencapai 300.000 jiwa setiap tahunnya. Kondisi ini memerlukan langkah serius dari pemerintah untuk menurunkan jumlah perokok, terutama dengan membuka diri dalam menerapkan pendekatan alternatif berbasis data yang dirumuskan dalam kebijakan.
(shf)
Lihat Juga :