Dugaan Suap Perkara MA, KPK Diingatkan Tidak Melanggar Hukum
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diingatkan agar tidak melanggar aturan hukum dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini terkait dengan rencana pemanggilan pemeriksaan apalagi berniat melakukan penjemputan paksa terhadap mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurachman dan menantunya, Rezky Herbiyono.
Pakar hukum Universitas Khairun Ternate Margarito Kamis menyatakan, penyidik KPK sah-sah saja memanggil tersangka Nurhadi dan Rezky guna menjalani pemeriksaan sebagai tersangka maupun saksi. Meski begitu, pemanggilan tersebut harus dilakukan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Menurut KUHAP, tutur Margarito, surat panggilan terhadap seseorang harus dibawa tiga hari sebelum waktu pemeriksaan, dibawa oleh petugas ke kediaman orang yang dipanggil, penyidik bertemu langsung dengan orang yang dipanggil, dan dibuatkan tanda terimanya. Aturan dalam KUHAP tersebut juga berlaku ketika KPK akan memeriksa Nurhadi dan menantunya atau saat membawa surat panggilan.
"Sesuai KUHAP memang begitu. Bagaimana anda tahu bahwa orang itu tidak memenuhi panggilan kalau anda sendiri tidak tahu bahwa surat itu sudah sampai pada yang bersangkutan atau yang dipanggil," kata Margarito kepada SINDOnews, Selasa (4/2/2020).
Ia membeberkan, pernyataan KPK sebelumnya bahwa Nurhadi dan menantunya mangkir dari jadwal pemeriksaan pada Senin (27/1/2020) karena telah ada tanda terimanya juga tidak berdasar. Apalagi, ujar Margarito, KPK tidak menyampaikan secara spesifik dan detil surat tersebut diterima oleh siapa dan dibawa ke alamat mana.
Bahkan kemungkinan besar penyidik tidak mengetahui surat panggilan diterima atau tidak oleh Nurhadi dan Rezky. "Oleh karena itu pernyataan bahwa Nurhadi dan menantunya tidak memenuhi panggilan, itu tidak berdasar. Kenapa tidak berdasar? Oleh karena KPK atau penyidik sendiri tidak tahu bahwa surat ini sudah sampai (diterima) atau belum," ujarnya.
Margarito berpandangan, seandainya KPK atau penyidik KPK menyampaikan bahwa surat panggilan diterima oleh orang yang berada di rumah Nurhadi maupun Rezky atau keluarga keduanya atau istri masing-masing, maka tidak bisa juga disimpulkan bahwa Nurhadi dan Rezky telah menerima surat panggilan. Semestinya, penyidik KPK mendatangi kembali kediaman Nurhadi dan Rezky guna memastikan surat tersebut telah benar-benar diterima keduanya.
"Kenapa KPK tidak ke rumahnya orang ini untuk menanyakan lagi surat ini sudah sampai atau belum? Balik aja lagi, pastikan surat panggilan diterima Nurhadi dan menantunya atau tidak. Dalam kerangka itu, penyidik harus bisa memastikan bahwa surat itu sudah sungguh-sungguh sampai ke yang bersangkutan," bebernya.
Nurhadi selaku sekretaris MA kurun 2011-2016 dan Rezky Herbiyono disangkakan telah melakukan dua delik tindak pidana korupsi (tipikor). Pertama, diduga menerima suap berupa sembilan lembar cek (yang kemudian dikembalikan) dan uang dengan total Rp33,1 miliar dalam 45 transaksi.
Suap berasal dari tersangka pemberi Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto. Suap diduga untuk pengurusan perkara yang dilakukan kurun 2015-2016.
Kedua, Nurhadi dan Rezky diduga telah menerima gratifikasi dengan total sekitar Rp12,9 miliar. Penerimaan uang gratifikasi terjadi kurun Oktober 2014 hingga Agustus 2016. Gratifikasi diduga terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA serta permohonan perwalian.
Pakar hukum Universitas Khairun Ternate Margarito Kamis menyatakan, penyidik KPK sah-sah saja memanggil tersangka Nurhadi dan Rezky guna menjalani pemeriksaan sebagai tersangka maupun saksi. Meski begitu, pemanggilan tersebut harus dilakukan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Menurut KUHAP, tutur Margarito, surat panggilan terhadap seseorang harus dibawa tiga hari sebelum waktu pemeriksaan, dibawa oleh petugas ke kediaman orang yang dipanggil, penyidik bertemu langsung dengan orang yang dipanggil, dan dibuatkan tanda terimanya. Aturan dalam KUHAP tersebut juga berlaku ketika KPK akan memeriksa Nurhadi dan menantunya atau saat membawa surat panggilan.
"Sesuai KUHAP memang begitu. Bagaimana anda tahu bahwa orang itu tidak memenuhi panggilan kalau anda sendiri tidak tahu bahwa surat itu sudah sampai pada yang bersangkutan atau yang dipanggil," kata Margarito kepada SINDOnews, Selasa (4/2/2020).
Ia membeberkan, pernyataan KPK sebelumnya bahwa Nurhadi dan menantunya mangkir dari jadwal pemeriksaan pada Senin (27/1/2020) karena telah ada tanda terimanya juga tidak berdasar. Apalagi, ujar Margarito, KPK tidak menyampaikan secara spesifik dan detil surat tersebut diterima oleh siapa dan dibawa ke alamat mana.
Bahkan kemungkinan besar penyidik tidak mengetahui surat panggilan diterima atau tidak oleh Nurhadi dan Rezky. "Oleh karena itu pernyataan bahwa Nurhadi dan menantunya tidak memenuhi panggilan, itu tidak berdasar. Kenapa tidak berdasar? Oleh karena KPK atau penyidik sendiri tidak tahu bahwa surat ini sudah sampai (diterima) atau belum," ujarnya.
Margarito berpandangan, seandainya KPK atau penyidik KPK menyampaikan bahwa surat panggilan diterima oleh orang yang berada di rumah Nurhadi maupun Rezky atau keluarga keduanya atau istri masing-masing, maka tidak bisa juga disimpulkan bahwa Nurhadi dan Rezky telah menerima surat panggilan. Semestinya, penyidik KPK mendatangi kembali kediaman Nurhadi dan Rezky guna memastikan surat tersebut telah benar-benar diterima keduanya.
"Kenapa KPK tidak ke rumahnya orang ini untuk menanyakan lagi surat ini sudah sampai atau belum? Balik aja lagi, pastikan surat panggilan diterima Nurhadi dan menantunya atau tidak. Dalam kerangka itu, penyidik harus bisa memastikan bahwa surat itu sudah sungguh-sungguh sampai ke yang bersangkutan," bebernya.
Nurhadi selaku sekretaris MA kurun 2011-2016 dan Rezky Herbiyono disangkakan telah melakukan dua delik tindak pidana korupsi (tipikor). Pertama, diduga menerima suap berupa sembilan lembar cek (yang kemudian dikembalikan) dan uang dengan total Rp33,1 miliar dalam 45 transaksi.
Suap berasal dari tersangka pemberi Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto. Suap diduga untuk pengurusan perkara yang dilakukan kurun 2015-2016.
Kedua, Nurhadi dan Rezky diduga telah menerima gratifikasi dengan total sekitar Rp12,9 miliar. Penerimaan uang gratifikasi terjadi kurun Oktober 2014 hingga Agustus 2016. Gratifikasi diduga terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA serta permohonan perwalian.
(poe)