BMKG: Fenomena Bencana Hidrometeorologi Akibat Perubahan Iklim

Senin, 03 Februari 2020 - 14:37 WIB
BMKG: Fenomena Bencana...
BMKG: Fenomena Bencana Hidrometeorologi Akibat Perubahan Iklim
A A A
BOGOR - Tren kebencanaan di Indonesia hingga 2020 saat ini mengalami peningkatan terutama bencana hidrometeorologi seperti banjir, puting beliung, banjir bandang, abrasi juga tanah longsor. (Baca juga: Kepala BNPB: Bencana Alam Meningkat Secara Kualitas dan Kuantitas)

Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, Dodo Gunawan mengungkapkan fenomena bencana hidrometeorologi ini berkaitan erat dengan perubahan iklim. Hal ini diungkapkan Dodo saat menjadi pembicara dalam diskusi panel Rapat Koordinasi Nasional Badan Penanggulangan Bencana 2020 dengan tema ‘Ancaman Hidrometeorologi: Banjir, Banjir Bandang, Tanah Longsor, Puting Beliung, Abrasi’ di Indonesia Disaster Relief Training Ground (Ina DRTG) Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Bogor, Jawa Barat (3/2/2020).

“Bahwa tren kebencanaan, di Indonesia kita melihat semakin sering terjadi berbagai jenis bencana namun kalau dihimpun secara umum, paling banyak karena bencana hidrometeorologi. Fenomena perubahan iklim atau iklim ekstrem kaitannya dengan bencana hidrometeorologi secara keseluruhan,” ungkap Dodo.

Saat ini, perubahan iklim dan dampaknya semakin nyata dapat dirasakan. “Perubahan iklim dan dampaknya sudah dapat kita rasakan. Kondisi ekstrem yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari perubahan iklim itu sendiri. Kalau kita tidak dapat mengendalikan perubahan iklim, maka bahaya semakin mengancam,” katanya.

Dodo menjelaskan emisi gas rumah kaca menjadi salah satu penyebab utama terjadinya perubahan iklim. “Sebagaimana kita mengenal namanya perjanjian Paris, dimana kita harus menekan laju emisi gas rumah kaca itu sebagai biang perubahan iklim. Dia yang membuat perubahan suhu di bumi kita meningkat sehingga dampaknya cuaca dan iklim kita tidak menentu,” jelasnya.

Lalu, bagaimana identifikasi dan proyeksi ke depan untuk mencegah terjadinya bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim ini. “Kalau bencana hidrometeorologi kalau dari sisi waktu kita mengenal adanya fenomena cuaca harian. Kami, di BMKG telah menyiapkan prakiraan cuaca harian. Kemudian lebih panjang lagi kita punya prakiraan musim,” kata Dodo.

Dodo mengatakan, BMKG mengidentifikasi frekuensi cuaca ekstrem masih tinggi hingga saat ini. Namun, kondisi ini akan mengalami kecenderungan untuk menurun apalagi setelah terjadi kondisi ekstrem pada awal 2020 lalu.

“Melihat kondisi iklim saat ini, perlu kewaspadaan. Tentu karena cuaca ekstrem yang tinggi dan itu perlu. Namun, kecenderungan akan menurun setelah dari catatan BMKG bahwa kejadian bencana yang awal Tahun Baru, pertama kali catatan itu terjadi 377 hujan dalam sehari. Itu rekor yang pernah kita catat. Namun akan mengalami kecenderungan menurun, tapi memang kita perlu kewaspadaan,” tambah Dodo.

Secara umum di Indonesia mengenal dua musim penghujan dan kemarau sehingga masyarakat harus waspada dampak yang diakibatkan. “Dua musim ini ada dampaknya atau akibatnya seperti kalau musim hujan sehari-hari, kita mengenal banjir, tanah longsor, puting beliung dan seterusnya. Kalau musim kemarau, dampaknya terhadap kekeringan lebih lanjut disertai dengan kebakaran hutan, itu dampak yang ditimbulkan. Jadi masyarakat harus siap hal itu,” tegas Dodo.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8018 seconds (0.1#10.140)