Menyelamatkan Lembaga Negara OJK
loading...
A
A
A
Ketiga, lembaga negara yang disebut dalam Undang-Undang Dasar (UUD) dengan klasifikasi sebagai berikut; eksplisit organnya disebut dalam UUD, fungsinya disebut eksplisit, serta nama dan fungsinya disebut eksplisit namun pengaturannya lebih lanjut melalui UU. Mekanisme pembubaran lembaga negara yang mekanisme pendirinnya seperti tersebut lebih rumit dibanding dua klaster sebelumnya.
Opsi yang dapat dilakukan untuk pembubaran lembaga negara yang keberadaannya (baik organ dan fungsi) melalui UUD tak lain melalui amandemen konstitusi. Dalam konteks konstitusi di Indonesia yang karakteristik perubahannya bercirikan rigid, tidak mudah untuk membubarkan lembaga negara yang masuk klaster ini.
Dalam konteks ini, keberadaan OJK masuk klaster kedua yang pendiriannya melalui payung hukum berupa UU yang jika dirunut merupakan hasil pendelegasian dari Pasal 34 Ayat (1) UU Nomor 3/2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI). Terkait mekanisme pembubaran lembaga OJK, prosedurnya tidak berbeda saat mendirikannya yakni melalui prosedur perubahan UU. Dalam hal ini, harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
Namun demikian, ada satu mekanisme yang dapat ditempuh tanpa melalui prosedur normal seperti dalam pembentukan UU yakni melalui mekanisme penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden. Dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 disebutkan Presiden berhak menetapkan Perppu jika terdapat keadaan genting dan memaksa.
Dalam konteks tersebut, putusan MK Nomor 138/2009 telah memberi panduan mengenai batasan “kegentingan yang memaksa” sebagai dasar dalam penerbitan Perppu oleh Presiden. Terdapat tiga kondisi yang menjadi kriteria keadaan genting dan memaksa yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah melalui keberadaan UU, terdapat UU namun belum memadai, serta terjadinya kekosongan hukum (tidak adanya UU). Paramater ini menjadi guidance bagi Presiden dalam menerbitkan sebuah Perppu.
Pertanyaannya, apakah situasi saat ini khususnya yang terjadi di OJK cukup menjadi alasan bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu? Apakah persoalan yang muncul di sektor jasa keuangan Indonesia menjadikan alasan yang kuat bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu dengan mengembalikan fungsi yang dimiliki OJK saat ini ke BI?
Kebijakan Rendah Risiko
Merespons persoalan yang saat ini terjadi di sektor jasa keuangan, telunjuk publik langsung mengarah pada OJK sebagai lembaga yang memiliki otoritas sebagai pengawas terhadap lembaga perbankan dan lembaga keungan non perbankan. Kritik tersebut harus ditempatkan sebagai bagian dari upaya kontrol publik terhadap OJK. Sebagai lembaga negara, menjadi keharusan bagi OJK untuk senantiasa mendapat kontrol baik secara formal melalui lembaga parlemen maupun oleh masyarakat sipil lainnya. Kritik dan masukan dari publik tersebut semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya OJK untuk melakukan perbaikan kinerja.
Perbaikan kinerja OJK yang diwujudkan pembentukan sistem yang ajeg di internal lembaga mutlak dilakukan dengan secara simultan membarengi dengan perbaikan berupa: pertama, pembuatan aturan yang berorientasi di internal lembaga yang sifatnya penguatan code of conduct (pedoman perilaku) dalam tata kerja di internal yang berlaku bagi seluruh pegawai OJK serta aturan yang berorientasi eksternal yang mengatur eksositem lembaga perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan.
Kedua, aparatur yang berintegritas. Munculnya aparatur yang berintegritas tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan aturan main di internal yang meliputi aspek hukum sekaligus aspek etik. Di poin ini memiliki relevansi dan signifikansi yang kuat, menyusul penetapan tersangka salah satu pejabat dengan oleh Kejaksaan Agung dalam kasus Jiwasraya.
Ketiga, jika dua hal sebelumnya berjalan dengan baik, maka akan melahirkan budaya hukum dan etik yang baik yang melembaga baik di internal lembaga maupun di lingkungan ekosistem perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan. Ketiga hal tersebut merupakan mekanisme perbaikan OJK yang rendah risiko daripada pilihan yang tersedia seperti mengembalikan kewenangan OJK ke BI melalui mekanisme penerbitan Perppu oleh Presiden atau perubahan UU oleh DPR dan Presiden.
Opsi yang dapat dilakukan untuk pembubaran lembaga negara yang keberadaannya (baik organ dan fungsi) melalui UUD tak lain melalui amandemen konstitusi. Dalam konteks konstitusi di Indonesia yang karakteristik perubahannya bercirikan rigid, tidak mudah untuk membubarkan lembaga negara yang masuk klaster ini.
Dalam konteks ini, keberadaan OJK masuk klaster kedua yang pendiriannya melalui payung hukum berupa UU yang jika dirunut merupakan hasil pendelegasian dari Pasal 34 Ayat (1) UU Nomor 3/2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI). Terkait mekanisme pembubaran lembaga OJK, prosedurnya tidak berbeda saat mendirikannya yakni melalui prosedur perubahan UU. Dalam hal ini, harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
Namun demikian, ada satu mekanisme yang dapat ditempuh tanpa melalui prosedur normal seperti dalam pembentukan UU yakni melalui mekanisme penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden. Dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 disebutkan Presiden berhak menetapkan Perppu jika terdapat keadaan genting dan memaksa.
Dalam konteks tersebut, putusan MK Nomor 138/2009 telah memberi panduan mengenai batasan “kegentingan yang memaksa” sebagai dasar dalam penerbitan Perppu oleh Presiden. Terdapat tiga kondisi yang menjadi kriteria keadaan genting dan memaksa yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah melalui keberadaan UU, terdapat UU namun belum memadai, serta terjadinya kekosongan hukum (tidak adanya UU). Paramater ini menjadi guidance bagi Presiden dalam menerbitkan sebuah Perppu.
Pertanyaannya, apakah situasi saat ini khususnya yang terjadi di OJK cukup menjadi alasan bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu? Apakah persoalan yang muncul di sektor jasa keuangan Indonesia menjadikan alasan yang kuat bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu dengan mengembalikan fungsi yang dimiliki OJK saat ini ke BI?
Kebijakan Rendah Risiko
Merespons persoalan yang saat ini terjadi di sektor jasa keuangan, telunjuk publik langsung mengarah pada OJK sebagai lembaga yang memiliki otoritas sebagai pengawas terhadap lembaga perbankan dan lembaga keungan non perbankan. Kritik tersebut harus ditempatkan sebagai bagian dari upaya kontrol publik terhadap OJK. Sebagai lembaga negara, menjadi keharusan bagi OJK untuk senantiasa mendapat kontrol baik secara formal melalui lembaga parlemen maupun oleh masyarakat sipil lainnya. Kritik dan masukan dari publik tersebut semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya OJK untuk melakukan perbaikan kinerja.
Perbaikan kinerja OJK yang diwujudkan pembentukan sistem yang ajeg di internal lembaga mutlak dilakukan dengan secara simultan membarengi dengan perbaikan berupa: pertama, pembuatan aturan yang berorientasi di internal lembaga yang sifatnya penguatan code of conduct (pedoman perilaku) dalam tata kerja di internal yang berlaku bagi seluruh pegawai OJK serta aturan yang berorientasi eksternal yang mengatur eksositem lembaga perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan.
Kedua, aparatur yang berintegritas. Munculnya aparatur yang berintegritas tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan aturan main di internal yang meliputi aspek hukum sekaligus aspek etik. Di poin ini memiliki relevansi dan signifikansi yang kuat, menyusul penetapan tersangka salah satu pejabat dengan oleh Kejaksaan Agung dalam kasus Jiwasraya.
Ketiga, jika dua hal sebelumnya berjalan dengan baik, maka akan melahirkan budaya hukum dan etik yang baik yang melembaga baik di internal lembaga maupun di lingkungan ekosistem perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan. Ketiga hal tersebut merupakan mekanisme perbaikan OJK yang rendah risiko daripada pilihan yang tersedia seperti mengembalikan kewenangan OJK ke BI melalui mekanisme penerbitan Perppu oleh Presiden atau perubahan UU oleh DPR dan Presiden.