Wujudkan Food Estate, Pemerintah Diminta Optimalkan Lahan Pertanian
loading...
A
A
A
"Sempat dilanjutkan di era Presiden Jokowi dengan luas puluhan ribu hektare, tapi gagal juga. Lalu di Merauke, itu juga jutaan hektare,” ucapnya.
Khudori menuturkan ketidakberhasilan program tersebut karena pemerintah belum melakukan kaidah-kaidah food estate secara benar.
“Yang perlu diingat, food estate terutama dari lahan hutan bukaan baru pasti memerlukan waktu. Jangan berharap food estate demikian akan bisa menghasilkan produksi berkelanjutan dan tinggi dalam waktu pendek,” ujarnya.
Seperti pada tahun pertama dimulainya program tersebut dipastikan akan diwarnai aneka tantangan dan kegagalan. Karena itu perlu konsistensi dan perbaikan terus-menerus hingga beberapa kali musim tanam.
Khudori menilai untuk membuka lahan baru tergolong mudah, namun membuat kawasan baru menjadi lahan pertanian produktif berkelanjutan tanpa ada gangguan hama-penyakit, tanpa ada gangguan iklim, tanpa ada persoalan lingkungan, tanpa ada konflik dengan masyarakat dan sebagainya adalah tidak mudah.
“Ini yang tidak banyak disadari selama ini. Ketika membuka lahan baru seringkali kearifan lokal dalam bentuk pola tanam dengan tanaman lokal, pola makan, dan lain-lain tidak dipertimbangkan sebagai bagian yang harus diintegrasikan dalam food estate. Akhirnya yang terjadi kemudian bukan hanya kegagalan, tapi juga menciptakan konflik dengan masyarakat,” katanya.
Untuk itu, selain menambah lahan baru pertanian, lahan yang sudah ada harus dioptimalkan. Sejauh ini, lahan pertanian yang sudah ada juga belum dioptimalkan penggunaannya.
“Pada minggu kedua November lalu saya ke Klaten, Jawa Tengah, mengunjungi mitra Bulog. Ternyata petani mitra Bulog ini 5 kali musim tanam dalam dua tahun terus gagal panen padi. Karena diserang wereng, sundep, dan tikus. Karena tak lagi punya modal, petani membiarkan sawahnya hingga ditumbuhi ilalang dan rumput,” ungkapnya.
Padahal, kehadiran Bulog diharapkan dapat memberikan permodalan sehingga membuat para petani kembali bergairah. “Nah, jumlah lahan seperti ini ada ribuan hektare di Klaten. Saya yakin ada ribuan hektare juga di kabupaten dan kota lain. Ini perlu ditelisik,” ujarnya.
Menurut Khudori, belum optimalnya lahan-lahan pertanian yang sudah ada juga bisa dilihat dari indeks pertanaman sawah yang hanya 1,4. Tidak bergerak sejak beberapa tahun terakhir. Artinya, sebagian besar sawah hanya ditanami 1,5 kali dalam setahun.
Khudori menuturkan ketidakberhasilan program tersebut karena pemerintah belum melakukan kaidah-kaidah food estate secara benar.
“Yang perlu diingat, food estate terutama dari lahan hutan bukaan baru pasti memerlukan waktu. Jangan berharap food estate demikian akan bisa menghasilkan produksi berkelanjutan dan tinggi dalam waktu pendek,” ujarnya.
Seperti pada tahun pertama dimulainya program tersebut dipastikan akan diwarnai aneka tantangan dan kegagalan. Karena itu perlu konsistensi dan perbaikan terus-menerus hingga beberapa kali musim tanam.
Khudori menilai untuk membuka lahan baru tergolong mudah, namun membuat kawasan baru menjadi lahan pertanian produktif berkelanjutan tanpa ada gangguan hama-penyakit, tanpa ada gangguan iklim, tanpa ada persoalan lingkungan, tanpa ada konflik dengan masyarakat dan sebagainya adalah tidak mudah.
“Ini yang tidak banyak disadari selama ini. Ketika membuka lahan baru seringkali kearifan lokal dalam bentuk pola tanam dengan tanaman lokal, pola makan, dan lain-lain tidak dipertimbangkan sebagai bagian yang harus diintegrasikan dalam food estate. Akhirnya yang terjadi kemudian bukan hanya kegagalan, tapi juga menciptakan konflik dengan masyarakat,” katanya.
Untuk itu, selain menambah lahan baru pertanian, lahan yang sudah ada harus dioptimalkan. Sejauh ini, lahan pertanian yang sudah ada juga belum dioptimalkan penggunaannya.
“Pada minggu kedua November lalu saya ke Klaten, Jawa Tengah, mengunjungi mitra Bulog. Ternyata petani mitra Bulog ini 5 kali musim tanam dalam dua tahun terus gagal panen padi. Karena diserang wereng, sundep, dan tikus. Karena tak lagi punya modal, petani membiarkan sawahnya hingga ditumbuhi ilalang dan rumput,” ungkapnya.
Padahal, kehadiran Bulog diharapkan dapat memberikan permodalan sehingga membuat para petani kembali bergairah. “Nah, jumlah lahan seperti ini ada ribuan hektare di Klaten. Saya yakin ada ribuan hektare juga di kabupaten dan kota lain. Ini perlu ditelisik,” ujarnya.
Menurut Khudori, belum optimalnya lahan-lahan pertanian yang sudah ada juga bisa dilihat dari indeks pertanaman sawah yang hanya 1,4. Tidak bergerak sejak beberapa tahun terakhir. Artinya, sebagian besar sawah hanya ditanami 1,5 kali dalam setahun.