Wujudkan Food Estate, Pemerintah Diminta Optimalkan Lahan Pertanian
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto berkomitmen mewujudkan Program Food Estate . Hal itu sebagai upaya pemerintahan untuk mencapai swasembada pangan.
Termasuk sebagai salah satu elemen kunci dalam cita-citanya mewujudkan kedaulatan pangan dengan pengembangan pertanian skala besar di berbagai daerah.
Namun demikian, penggunaan lahan pertanian dalam rangka mendukung Program Food Estate dinilai belum dilakukan secara optimal. Terbukti, pemerintah cenderung mengedepankan membuka lahan baru dari hutan.
Sebelumnya, pemerintah hendak membuka lahan hingga 3 juta hektare (Ha) di Merauke. Bahkan, dalam visi misi Presiden Prabowo ditargetkan ada tambahan lahan minimal 4 juta Ha hingga 2029 untuk padi, jagung, singkong, dan tebu.
Pengamat Ekonomi dan Pertanian dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengungkapkan, jika dilihat lahan untuk program food estate yang sudah dibuka di tahun-tahun sebelumnya belum dapat dioptimalkan.
"Food estate bagi Indonesia bukan hal baru. Sejak era kolonial Belanda sudah ada upaya membangun lumbung pangan atau kawasan pangan berskala luas. Langkah serupa berlanjut di zaman Orde Baru, yang pada 1970-an membuka Palembang Rice Estate dilanjutkan pembukaan lahan gambut sejuta hektare," ujarnya, Sabtu (21/12/2024).
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) food estate dibuka di Merauke dengan Merauke Integrated Food adan Energy Estate (MIFEE) di Bulungan dan Ketapang. Lalu, di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali dilanjutkan dengan membuka di Humbang Hasundutan (Sumut), kemudian di Kalimantan Tengah, dan Merauke.
“Jadi, sejarah food estate sudah panjang dan lama. Apakah berhasil? Tidak. Tingkat keberhasilannya kecil, kalau tidak dikatakan gagal. Nah, lahan-lahan eks food estate ini kan banyak dan luas. Juga tersebar di banyak wilayah,” kata Khudori.
Sementara, di bekas pembukaan lahan gambut yang dibuka pada 1995-1996 itu luasnya 1,4 juta Ha. Sebagian kecil sudah ditempati transmigran sampai saat ini. Tapi, sisanya publik tidak tahu.
"Sempat dilanjutkan di era Presiden Jokowi dengan luas puluhan ribu hektare, tapi gagal juga. Lalu di Merauke, itu juga jutaan hektare,” ucapnya.
Khudori menuturkan ketidakberhasilan program tersebut karena pemerintah belum melakukan kaidah-kaidah food estate secara benar.
“Yang perlu diingat, food estate terutama dari lahan hutan bukaan baru pasti memerlukan waktu. Jangan berharap food estate demikian akan bisa menghasilkan produksi berkelanjutan dan tinggi dalam waktu pendek,” ujarnya.
Seperti pada tahun pertama dimulainya program tersebut dipastikan akan diwarnai aneka tantangan dan kegagalan. Karena itu perlu konsistensi dan perbaikan terus-menerus hingga beberapa kali musim tanam.
Khudori menilai untuk membuka lahan baru tergolong mudah, namun membuat kawasan baru menjadi lahan pertanian produktif berkelanjutan tanpa ada gangguan hama-penyakit, tanpa ada gangguan iklim, tanpa ada persoalan lingkungan, tanpa ada konflik dengan masyarakat dan sebagainya adalah tidak mudah.
“Ini yang tidak banyak disadari selama ini. Ketika membuka lahan baru seringkali kearifan lokal dalam bentuk pola tanam dengan tanaman lokal, pola makan, dan lain-lain tidak dipertimbangkan sebagai bagian yang harus diintegrasikan dalam food estate. Akhirnya yang terjadi kemudian bukan hanya kegagalan, tapi juga menciptakan konflik dengan masyarakat,” katanya.
Untuk itu, selain menambah lahan baru pertanian, lahan yang sudah ada harus dioptimalkan. Sejauh ini, lahan pertanian yang sudah ada juga belum dioptimalkan penggunaannya.
“Pada minggu kedua November lalu saya ke Klaten, Jawa Tengah, mengunjungi mitra Bulog. Ternyata petani mitra Bulog ini 5 kali musim tanam dalam dua tahun terus gagal panen padi. Karena diserang wereng, sundep, dan tikus. Karena tak lagi punya modal, petani membiarkan sawahnya hingga ditumbuhi ilalang dan rumput,” ungkapnya.
Padahal, kehadiran Bulog diharapkan dapat memberikan permodalan sehingga membuat para petani kembali bergairah. “Nah, jumlah lahan seperti ini ada ribuan hektare di Klaten. Saya yakin ada ribuan hektare juga di kabupaten dan kota lain. Ini perlu ditelisik,” ujarnya.
Menurut Khudori, belum optimalnya lahan-lahan pertanian yang sudah ada juga bisa dilihat dari indeks pertanaman sawah yang hanya 1,4. Tidak bergerak sejak beberapa tahun terakhir. Artinya, sebagian besar sawah hanya ditanami 1,5 kali dalam setahun.
Sementara, ada yang hanya ditanami sekali dan ada yang dua kali atau tiga kali setahun. Jika pemerintah bisa menaikkan indeks pertanaman jadi 2 kali, produksi aneka komoditas pangan akan naik. Dan tekanan untuk menambah lahan baru semakin berkurang.
Dia menuturkan, Food Estate harus dimulai dengan perencanaan yang benar dan komprehensif. Salah satu sumber kegagalan food estate adalah perencanaannya tidak benar.
“Misalnya, saat pembukaan lahan gambut sejuta hektare pada 1995 dan diteruskan kembali oleh Pak Jokowi, tim yang membangun fisik datang ke lokasi terlebih dahulu. Mereka membangun infrastruktur pendukung menggunakan asumsi-asumsi yang dibawa dari pusat,” ujarnya.
Kemudian, setelah bekerja demikian jauh baru tim yang mengumpulkan data datang belakangan. Mereka ini yang akan mengumpulkan data sifat tanah, hidrologi, topografi, cuaca/iklim, data lingkungan, masyarakat, dan potensi konflik dengan masyarakat setempat ini mestinya datang di awal.
Dari data yang mereka kumpulkan baru kemudian dianalisis kelayakannya, cocok untuk komoditas apa, kesesuaian iklim, dan sebagainya. Dari hasil analisis dan kelayakan itu kemudian dibangun food estate baik di lokasi baru maupun lokasi yang sudah ada.
"Food estate, terutama di lokasi bukaan baru pasti memerlukan waktu dan beberapa kali musim. Di tahap awal amat mungkin gagal atau mengalami hambatan. Karena itu, perlu monitoring dan evaluasi terus menerus, perbaikan terus menerus,” tuturnya.
Termasuk sebagai salah satu elemen kunci dalam cita-citanya mewujudkan kedaulatan pangan dengan pengembangan pertanian skala besar di berbagai daerah.
Namun demikian, penggunaan lahan pertanian dalam rangka mendukung Program Food Estate dinilai belum dilakukan secara optimal. Terbukti, pemerintah cenderung mengedepankan membuka lahan baru dari hutan.
Sebelumnya, pemerintah hendak membuka lahan hingga 3 juta hektare (Ha) di Merauke. Bahkan, dalam visi misi Presiden Prabowo ditargetkan ada tambahan lahan minimal 4 juta Ha hingga 2029 untuk padi, jagung, singkong, dan tebu.
Pengamat Ekonomi dan Pertanian dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengungkapkan, jika dilihat lahan untuk program food estate yang sudah dibuka di tahun-tahun sebelumnya belum dapat dioptimalkan.
"Food estate bagi Indonesia bukan hal baru. Sejak era kolonial Belanda sudah ada upaya membangun lumbung pangan atau kawasan pangan berskala luas. Langkah serupa berlanjut di zaman Orde Baru, yang pada 1970-an membuka Palembang Rice Estate dilanjutkan pembukaan lahan gambut sejuta hektare," ujarnya, Sabtu (21/12/2024).
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) food estate dibuka di Merauke dengan Merauke Integrated Food adan Energy Estate (MIFEE) di Bulungan dan Ketapang. Lalu, di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali dilanjutkan dengan membuka di Humbang Hasundutan (Sumut), kemudian di Kalimantan Tengah, dan Merauke.
“Jadi, sejarah food estate sudah panjang dan lama. Apakah berhasil? Tidak. Tingkat keberhasilannya kecil, kalau tidak dikatakan gagal. Nah, lahan-lahan eks food estate ini kan banyak dan luas. Juga tersebar di banyak wilayah,” kata Khudori.
Sementara, di bekas pembukaan lahan gambut yang dibuka pada 1995-1996 itu luasnya 1,4 juta Ha. Sebagian kecil sudah ditempati transmigran sampai saat ini. Tapi, sisanya publik tidak tahu.
"Sempat dilanjutkan di era Presiden Jokowi dengan luas puluhan ribu hektare, tapi gagal juga. Lalu di Merauke, itu juga jutaan hektare,” ucapnya.
Khudori menuturkan ketidakberhasilan program tersebut karena pemerintah belum melakukan kaidah-kaidah food estate secara benar.
“Yang perlu diingat, food estate terutama dari lahan hutan bukaan baru pasti memerlukan waktu. Jangan berharap food estate demikian akan bisa menghasilkan produksi berkelanjutan dan tinggi dalam waktu pendek,” ujarnya.
Seperti pada tahun pertama dimulainya program tersebut dipastikan akan diwarnai aneka tantangan dan kegagalan. Karena itu perlu konsistensi dan perbaikan terus-menerus hingga beberapa kali musim tanam.
Khudori menilai untuk membuka lahan baru tergolong mudah, namun membuat kawasan baru menjadi lahan pertanian produktif berkelanjutan tanpa ada gangguan hama-penyakit, tanpa ada gangguan iklim, tanpa ada persoalan lingkungan, tanpa ada konflik dengan masyarakat dan sebagainya adalah tidak mudah.
“Ini yang tidak banyak disadari selama ini. Ketika membuka lahan baru seringkali kearifan lokal dalam bentuk pola tanam dengan tanaman lokal, pola makan, dan lain-lain tidak dipertimbangkan sebagai bagian yang harus diintegrasikan dalam food estate. Akhirnya yang terjadi kemudian bukan hanya kegagalan, tapi juga menciptakan konflik dengan masyarakat,” katanya.
Untuk itu, selain menambah lahan baru pertanian, lahan yang sudah ada harus dioptimalkan. Sejauh ini, lahan pertanian yang sudah ada juga belum dioptimalkan penggunaannya.
“Pada minggu kedua November lalu saya ke Klaten, Jawa Tengah, mengunjungi mitra Bulog. Ternyata petani mitra Bulog ini 5 kali musim tanam dalam dua tahun terus gagal panen padi. Karena diserang wereng, sundep, dan tikus. Karena tak lagi punya modal, petani membiarkan sawahnya hingga ditumbuhi ilalang dan rumput,” ungkapnya.
Padahal, kehadiran Bulog diharapkan dapat memberikan permodalan sehingga membuat para petani kembali bergairah. “Nah, jumlah lahan seperti ini ada ribuan hektare di Klaten. Saya yakin ada ribuan hektare juga di kabupaten dan kota lain. Ini perlu ditelisik,” ujarnya.
Menurut Khudori, belum optimalnya lahan-lahan pertanian yang sudah ada juga bisa dilihat dari indeks pertanaman sawah yang hanya 1,4. Tidak bergerak sejak beberapa tahun terakhir. Artinya, sebagian besar sawah hanya ditanami 1,5 kali dalam setahun.
Sementara, ada yang hanya ditanami sekali dan ada yang dua kali atau tiga kali setahun. Jika pemerintah bisa menaikkan indeks pertanaman jadi 2 kali, produksi aneka komoditas pangan akan naik. Dan tekanan untuk menambah lahan baru semakin berkurang.
Dia menuturkan, Food Estate harus dimulai dengan perencanaan yang benar dan komprehensif. Salah satu sumber kegagalan food estate adalah perencanaannya tidak benar.
“Misalnya, saat pembukaan lahan gambut sejuta hektare pada 1995 dan diteruskan kembali oleh Pak Jokowi, tim yang membangun fisik datang ke lokasi terlebih dahulu. Mereka membangun infrastruktur pendukung menggunakan asumsi-asumsi yang dibawa dari pusat,” ujarnya.
Kemudian, setelah bekerja demikian jauh baru tim yang mengumpulkan data datang belakangan. Mereka ini yang akan mengumpulkan data sifat tanah, hidrologi, topografi, cuaca/iklim, data lingkungan, masyarakat, dan potensi konflik dengan masyarakat setempat ini mestinya datang di awal.
Dari data yang mereka kumpulkan baru kemudian dianalisis kelayakannya, cocok untuk komoditas apa, kesesuaian iklim, dan sebagainya. Dari hasil analisis dan kelayakan itu kemudian dibangun food estate baik di lokasi baru maupun lokasi yang sudah ada.
"Food estate, terutama di lokasi bukaan baru pasti memerlukan waktu dan beberapa kali musim. Di tahap awal amat mungkin gagal atau mengalami hambatan. Karena itu, perlu monitoring dan evaluasi terus menerus, perbaikan terus menerus,” tuturnya.
(jon)