Usulkan Revisi UU Kejaksaan, Komisi III DPR Himpun Sejumlah UU Terkait
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi III DPR mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) atas revisi UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan RI (RUU Kejaksaan) . RUU ini telah selesai disusun oleh Komisi III DPR dan akan memasuki tahapan harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
(Baca juga: Peraturan Kejaksaan 15/2020 Jawaban Suara Keadilan Masyarakat)
Di hadapan anggota dan pimpinan Baleg, Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh sebagai perwakilan pengusul diperkenankan untuk memaparkan usulan tentang RUU Kejaksaan. Pihaknya mengatakan bahwa RUU ini juga mengimpun sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tugas, fungsi dan wewenang kejaksaan.
(Baca juga: Representasi Keadilan, Peraturan Kejaksaan 15/2020 Patut Diapresiasi)
"Kejaksaan diatur secara khusus melalui UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan RI yang mencabut UU 5/1991 tentang Kejaksaan RI. Dalam perjalanannya, UU Kejaksaan telah diajukan beberapa kali judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Pangeran di Ruang Rapat Baleg DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (31/8/2020).
Khairul menjelaskan, beberapa putusan MK tersebut mempengaruhi tugas Jaksa seperti Putusan MK 6-13-2020/PUU/VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 yang membuat kewenangan jaksa untuk menarik barang cetakan dalam rangka pengawasan harus melalui pengujian di sidang pengadilan, selanjutnya terdapat juga putusan MK 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 di mana penyidik wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum dalam waktu 7 hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan.
"Putusan ini mencerminkan penegasan Asas Dominus Litis yang hanya dimiliki oleh Jaksa," ucapnya.
Kemudian, sambung politikus PAN ini, telah terjadi pergeseran paradigma dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif. Hal ini tergambar dengan munculnya peraturan perundang-undangan yang mengedepankan paradigma tersebut seperti UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU Pencucian Uang yang diubah melalui UU 8/2010 yang mana, Kejaksaan diberi peran untuk menggunakan dan mengedepankan keadilan restoratif.
"Rasa keadilan masyarakat saat ini menghendaki penanganan kasus-kasus yang relatif ringan dan beraspek menuntut atau bersikap dengan berpedoman kepada keadilan restoratif," papar Khairul.
"Perkembangan lain adalah bahwa penegakan hukum tidak hanya menggunakan pendekatan preventif-represif, namun juga dapat diambil pendekatan lainnya seperti Penyelesaian Sengketa Alternatif sebagaimana halnya mediasi penal. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan dari diskresi penuntutan (prosecutorial discretionary," tambahnya.
Selain itu, kata Khairul, sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi seperti United Nations Against Transnational Organized Crime (UNTOC), United Nations Conventions Against Corurption (UNCAC) yang diratifikasi oleh Indonesia di mana, Indonesia harus menjalankan norma-norma dalam konvensi itu sebagai suatu keataatan.
Norma-norma baru yang ada tersebut juga mempengaruhi terhadap kewenangan, tugas dan fungsi Kejaksaan. "Ketentuan tersebut menjadi alasan perubahan UU Kejaksaan utamanya hal-hal yang berkaitan dengan independensi dalam penuntutan, akuntabilitas penanganan perkara, standar profesionalitas dan perlindungan bagi para jaksa," tuturnya.
Khairul menambahkan, hal lain yang menjadi penting dalam menguatkan kedudukan jaksa dalam sistem pemerintahan adalah jabatan jaksa sebagai kekhususan di dalam ASN sebagaimana pegawai di TNI dan Polri.
"Karakteristik Jaksa Agung, Kejaksaan dan Jaksa sebagai suatu profesi harus diwadahi dalam suatu bentuk pengaturan kepegawaian secara khusus," jelas Khairul.
Menurut dia, perubahan ini juga menghimpun beberapa kewenangan Jaksa Agung, Kejaksaan, dan Jaksa yang tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan untuk dapat melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang Jaksa untuk lebih optimal seperti kewenangan melakukan penyidikan dalam tindak pidana korupsi, perusakan hutan, pencucian uang dan tindak pidana lainnya.
"Hal ini sejalan dengan semangat penyederhanaan legislasi sehingga dengan perubahan ini UU Kejaksaan akan lebih komprehensif dan terpadu. Dengan demikian, perubahan UU Kejaksaan 16/2004 merupakan suatu hal yang penting agar sistem peradilan pidana dapat berjalan secara optimal," tandasnya.
(Baca juga: Peraturan Kejaksaan 15/2020 Jawaban Suara Keadilan Masyarakat)
Di hadapan anggota dan pimpinan Baleg, Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh sebagai perwakilan pengusul diperkenankan untuk memaparkan usulan tentang RUU Kejaksaan. Pihaknya mengatakan bahwa RUU ini juga mengimpun sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tugas, fungsi dan wewenang kejaksaan.
(Baca juga: Representasi Keadilan, Peraturan Kejaksaan 15/2020 Patut Diapresiasi)
"Kejaksaan diatur secara khusus melalui UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan RI yang mencabut UU 5/1991 tentang Kejaksaan RI. Dalam perjalanannya, UU Kejaksaan telah diajukan beberapa kali judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Pangeran di Ruang Rapat Baleg DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (31/8/2020).
Khairul menjelaskan, beberapa putusan MK tersebut mempengaruhi tugas Jaksa seperti Putusan MK 6-13-2020/PUU/VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 yang membuat kewenangan jaksa untuk menarik barang cetakan dalam rangka pengawasan harus melalui pengujian di sidang pengadilan, selanjutnya terdapat juga putusan MK 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 di mana penyidik wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum dalam waktu 7 hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan.
"Putusan ini mencerminkan penegasan Asas Dominus Litis yang hanya dimiliki oleh Jaksa," ucapnya.
Kemudian, sambung politikus PAN ini, telah terjadi pergeseran paradigma dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif. Hal ini tergambar dengan munculnya peraturan perundang-undangan yang mengedepankan paradigma tersebut seperti UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU Pencucian Uang yang diubah melalui UU 8/2010 yang mana, Kejaksaan diberi peran untuk menggunakan dan mengedepankan keadilan restoratif.
"Rasa keadilan masyarakat saat ini menghendaki penanganan kasus-kasus yang relatif ringan dan beraspek menuntut atau bersikap dengan berpedoman kepada keadilan restoratif," papar Khairul.
"Perkembangan lain adalah bahwa penegakan hukum tidak hanya menggunakan pendekatan preventif-represif, namun juga dapat diambil pendekatan lainnya seperti Penyelesaian Sengketa Alternatif sebagaimana halnya mediasi penal. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan dari diskresi penuntutan (prosecutorial discretionary," tambahnya.
Selain itu, kata Khairul, sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi seperti United Nations Against Transnational Organized Crime (UNTOC), United Nations Conventions Against Corurption (UNCAC) yang diratifikasi oleh Indonesia di mana, Indonesia harus menjalankan norma-norma dalam konvensi itu sebagai suatu keataatan.
Norma-norma baru yang ada tersebut juga mempengaruhi terhadap kewenangan, tugas dan fungsi Kejaksaan. "Ketentuan tersebut menjadi alasan perubahan UU Kejaksaan utamanya hal-hal yang berkaitan dengan independensi dalam penuntutan, akuntabilitas penanganan perkara, standar profesionalitas dan perlindungan bagi para jaksa," tuturnya.
Khairul menambahkan, hal lain yang menjadi penting dalam menguatkan kedudukan jaksa dalam sistem pemerintahan adalah jabatan jaksa sebagai kekhususan di dalam ASN sebagaimana pegawai di TNI dan Polri.
"Karakteristik Jaksa Agung, Kejaksaan dan Jaksa sebagai suatu profesi harus diwadahi dalam suatu bentuk pengaturan kepegawaian secara khusus," jelas Khairul.
Menurut dia, perubahan ini juga menghimpun beberapa kewenangan Jaksa Agung, Kejaksaan, dan Jaksa yang tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan untuk dapat melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang Jaksa untuk lebih optimal seperti kewenangan melakukan penyidikan dalam tindak pidana korupsi, perusakan hutan, pencucian uang dan tindak pidana lainnya.
"Hal ini sejalan dengan semangat penyederhanaan legislasi sehingga dengan perubahan ini UU Kejaksaan akan lebih komprehensif dan terpadu. Dengan demikian, perubahan UU Kejaksaan 16/2004 merupakan suatu hal yang penting agar sistem peradilan pidana dapat berjalan secara optimal," tandasnya.
(maf)