Kasus Jual Beli PAW, ICW Desak KPK Tetapkan Obstruction of Justice

Senin, 13 Januari 2020 - 11:19 WIB
Kasus Jual Beli PAW,...
Kasus Jual Beli PAW, ICW Desak KPK Tetapkan Obstruction of Justice
A A A
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berani menerapkan aturan obstruction of justice bagi pihak-pihak yang menghambat atau menghalang-halangi proses hukum terkait Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Diketahui, petugas KPK batal melakukan penggeledahan di Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis 9 Januari 2020.

"KPK harus berani menerapkan aturan obstruction of justice bagi pihak-pihak yang menghambat atau menghalang-halangi proses hukum," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/1/2020). (Baca juga: Buru Harun Masiku, KPK Jalin Kerja Sama dengan Imigrasi )

Dia mengatakan, KPK telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan salah satu Komisioner KPU karena diduga menerima suap untuk pertukaran anggota DPR RI. Dia mengatakan, banyak pihak yang menganggap tangkap tangan kali ini membuktikan bahwa Pimpinan KPK dan Undang-undang (UU) KPK baru tidak relevan lagi untuk dipersoalkan.

"Faktanya justru sebaliknya, UU KPK baru (UU Nomor 19 Tahun 2019) terbukti mempersulit kinerja KPK dalam melakukan berbagai tindakan pro justicia," ungkapnya.

Dia melanjutkan, setidaknya ada dua kejadian penting dan harus dicermati dalam peristiwa OTT yang melibatkan Komisioner KPU tersebut. Pertama, kata dia, KPK faktanya terbukti lambat dalam melakukan penggeledahan di kantor PDIP.

"Ini disebabkan adanya Pasal 37 B ayat (1) UU KPK baru yang menyebutkan bahwa tindakan penggeledahan mesti atas seizin Dewan Pengawas. Padahal dalam UU KPK lama (UU Nomor 30 Tahun 2002) untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak mana pun," tuturnya.

Dia melanjutkan logika sederhana saja sebenarnya, bagaimana mungkin tindakan penggeledahan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan bukti dapat berjalan dengan tepat serta cepat jika harus menunggu izin dari Dewan Pengawas. "Belum lagi persoalan waktu, yang mana proses administrasi tersebut dapat dipergunakan pelaku korupsi untuk menyembunyikan bahkan menghilangkan bukti-bukti," paparnya.

Kedua, lanjut dia, tim KPK diduga dihalang-halangi saat menangani perkara tersebut. Menurut dia, penting untuk ditegaskan bahwa setiap upaya menghalang-halangi proses hukum dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menggunakan Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor).

Dia berpendapat, harusnya setiap pihak dapat kooperatif dengan proses hukum yang sedang dijalankan oleh KPK. "Dengan kondisi seperti ini dapat disimpulkan bahwa narasi penguatan yang selama ini diucapkan oleh Presiden dan DPR hanya ilusi semata," katanya. (Baca juga: Ketua KPK Tegaskan Pihaknya Masih Buru Harun Masiku )

Sebab, kata dia, berlakunya UU KPK justru menyulitkan penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga anti rasuah tersebut. "Presiden Joko Widodo agar tidak buang badan saat kondisi KPK yang semakin lemah akibat berlakunya UU KPK baru. Penerbitan Perppu harus menjadi prioritas utama dari presiden untuk menyelematkan KPK," pungkasnya.

Sekadar diketahui, selain Wahyu Setiawan, KPK juga telah menetapkan tersangka orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina. Wahyu dan Agustina sebagai penerima suap. Sedangkan pemberi suap adalah calon anggota legislatif (Caleg) dari PDIP Harun Masiku, dan Saeful dari swasta.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1938 seconds (0.1#10.140)