Perlindungan Bagi Guru
loading...
A
A
A
Hendarman
Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan
Berbagai perlakuan yang kurang pantas terhadap guru menjadi viral di berbagai media. Yang baru-baru ini sangat marak menimpa seorang guru honorer wanita yang sudah 16 tahun mengabdi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Guru ini disangkakan melakukan penganiayaan terhadap seorang siswa yang merupakan anak aparat penegak hukum. Guru tersebut bersikukuh dirinya tidak pernah melakukan penganiayaan seperti yang dituduhkan.
Yang memprihatinkan, penyelidikan yang dilakukan aparat penegak hukum (APH) sudah berjalan cukup lama yaitu sampai tiga bulan. Dalam waktu tersebut telah dilakukan upaya mediasi total sebanyak 5 kali. Perkara kemudian dilimpahkan ke yang lebih berwenangan yaitu kejaksaan karena waktu itu tidak diperoleh kesepakatan damai.
Proses terakhir, jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan bebas untuk guru tersebut. Juga guru tersebut dinyatakan berhak mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi sebagai korban kriminalisasi.
Bukan tidak mungkin, masih ada kasus-kasus seperti guru honorer tersebut di tempat lain. Tetapi keberanian untuk melaporkan kemungkinan belum muncul karena ketakutan akan menjadi bumerang terhadap keamanan dirinya.
Pertanyaannya, apakah regulasi yang mengatur perlindungan terhadap guru atau pendidik selama ini tidak memiliki kekuatan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan? Jangan sampai guru justru mengalami ketidaknyamanan, kekhawatiran dan bahkan ketakutan ketika harus menjalankan tanggungjawab dalam proses pembelajaran. Hal ini akan berdampak hilangnya martabat guru sebagai individu yang harusnya dimuliakan.
Regulasi
Melindungi guru atau pendidik seyogianya menjadi tanggungjawab Pemerintah. Guru wajib mendapatkan perlindungan, kepastian dan jaminan untuk memeroleh rasa aman dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Adanya perlindungan akan memastikan bahwa guru dapat menciptakan pembelajaran yang nyaman, aman dan menyenangkan. Apabila guru mengalami tekanan baik secara psikis maupun fisik, pembelajaran menjadi tidak kondusif baik bagi guru maupun peserta didik.
Perlindungan merupakan hak kostitusional (constitutional right) dan hak hukum (legal right) yang dimiliki oleh guru. Hak konstitusional terkait hak yang dimiliki setiap warga negara Indonesia (WNI) termasuk guru, yang bersumber pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Dalam pasal 28 D ayat (1) dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Sedangkan hak hukum adalah hak yang dimiliki setiap WNI termasuk para guru atau pendidik, yang bersumber dari peraturan-peraturan di bawah UUD NRI Tahun 1945. Salah satunya adalah pasal 40 ayat (1) huruf d Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal ini menyatakan bahwa Pendidik dan Tenaga Kependidikan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual.
Beberapa regulasi telah ditetapkan terkait perlindungan dalam rangka menjaga martabat guru. Dalam Undang-Undang Nomor 14 tentang Guru dan Dosen, telah diatur berbagai pasal yang memberikan perlindungan terhadap guru. Misal, dalam Pasal 7 disebutkan bahwa profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Pasal 14 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual. Terkait kewenangan, Pasal 39 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
Isu kewenangan juga ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Pasal 40 peraturan ini menyatakan bahwa guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, satuan pendidikan, Organisasi Profesi Guru, dan/atau Masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing. Pasal 41 menyatakan bahwa guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
Regulasi lain yang menguatkan keberpihakan Pemerintah adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Perlindungan dimaksud adalah ketika terjadi permasalahan terkait pelaksanaan tugas di satuan pendidikan. Sebagai turunan dari peraturan ini, baru-baru ini telah ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Nomor 3798/B.B1/Hk.03/2024 tentang Petunjuk Teknis Perlindungan Pendidik dan Tenaga Kependidikan dalam Pelaksanaan Tugas. Peraturan ini merupakan turunan yang diamanahkan dalam Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017.
Keputusan Dirjen ini menyesuaikan perlindungan guru terhadap tindakan kekerasan yang dialaminya dengan merujuk kepada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023. Permendikbudristek ini merinci kekerasan dalam 7 jenis kekerasan, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, dan bentuk kekerasan lainnya.
Peraturan ini mempersyaratkan adanya sistem pelaporan melalui pembentukan satuan kerja (satgas). Satgas dimaksud berada pada masing-masing berjenjang, yaitu pada satuan pendidikan, pemerintah daerah, kementerian dan organisasi profesi. Perlindungan diberikan dalam tiga bentuk, yaitu konsultasi hukum, mediasi, serta pemenuhan dan/atau pemulihan hak pendidik dan tenaga kependidikan. Konsultasi hukum berupa pemberian saran atau pendapat untuk penyelesaian sengketa atau perselisihan. Mediasi, penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memeroleh kesepakatan para pihak. Pemenuhan dan/atau pemulihan hak dimaknai sebagai bantuan untuk mendapatkan penasihat hukum dalam penyelesaian perkara melalui proses pidana, perdata, atau tata usaha negara.
Martabat Guru
Suka atau tidak suka, martabat guru harus dikedepankan. Untuk itu, regulasi atau peraturan perlindungan bagi guru seyogianya didasarkan atas 5 (lima) prinsip. Pertama, non-diskriminatif yaitu tidak membedakan baik dari agama, gender, latar budaya, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial ekonomi. Kedua, inisiatif yaitu bahwa perlindungan berasal dari pihak yang memberikan perlindungan atau inisiatif berasal dari guru yang menjadi korban. Ketiga, nirlaba, yaitu bahwa perlindungan yang diberikan tidak digunakan untuk menarik keuntungan bagi pihak-pihak terkait. Keempat, pendekatan yang demokratis artinya mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Kelima, praduga tak bersalah, yaitu bahwa guru belum dapat dinyatakan bersalah sebelum ada keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Perlindungan terhadap guru dan tenaga kependidikan sesungguhnya sudah dipayungi oleh berbagai regulasi atau peraturan. Tetapi, kasus-kasus masih saja selalu terbentur dengan adanya peraturan yang dibuat oleh kementerian atau lembaga lain, yang bahkan hirarki nya lebih tinggi daripada yang ada. Sudah harus dipertimbangkan bahwa peraturan yang melindungi guru sudah harus ditingkatkan dalam bentuk Undang-Undang ketimbang diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri atau bahkan Keputusan Direktur Jenderal dan setara lainnya. Ini kalau memang ada keseriusan Pemerintah untuk mengamankan dan menyelamatkan guru dan tenaga kependidikan dari tindakan-tindakan yang meresahkan profesi mereka.
Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan
Berbagai perlakuan yang kurang pantas terhadap guru menjadi viral di berbagai media. Yang baru-baru ini sangat marak menimpa seorang guru honorer wanita yang sudah 16 tahun mengabdi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Guru ini disangkakan melakukan penganiayaan terhadap seorang siswa yang merupakan anak aparat penegak hukum. Guru tersebut bersikukuh dirinya tidak pernah melakukan penganiayaan seperti yang dituduhkan.
Yang memprihatinkan, penyelidikan yang dilakukan aparat penegak hukum (APH) sudah berjalan cukup lama yaitu sampai tiga bulan. Dalam waktu tersebut telah dilakukan upaya mediasi total sebanyak 5 kali. Perkara kemudian dilimpahkan ke yang lebih berwenangan yaitu kejaksaan karena waktu itu tidak diperoleh kesepakatan damai.
Proses terakhir, jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan bebas untuk guru tersebut. Juga guru tersebut dinyatakan berhak mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi sebagai korban kriminalisasi.
Bukan tidak mungkin, masih ada kasus-kasus seperti guru honorer tersebut di tempat lain. Tetapi keberanian untuk melaporkan kemungkinan belum muncul karena ketakutan akan menjadi bumerang terhadap keamanan dirinya.
Pertanyaannya, apakah regulasi yang mengatur perlindungan terhadap guru atau pendidik selama ini tidak memiliki kekuatan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan? Jangan sampai guru justru mengalami ketidaknyamanan, kekhawatiran dan bahkan ketakutan ketika harus menjalankan tanggungjawab dalam proses pembelajaran. Hal ini akan berdampak hilangnya martabat guru sebagai individu yang harusnya dimuliakan.
Regulasi
Melindungi guru atau pendidik seyogianya menjadi tanggungjawab Pemerintah. Guru wajib mendapatkan perlindungan, kepastian dan jaminan untuk memeroleh rasa aman dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Adanya perlindungan akan memastikan bahwa guru dapat menciptakan pembelajaran yang nyaman, aman dan menyenangkan. Apabila guru mengalami tekanan baik secara psikis maupun fisik, pembelajaran menjadi tidak kondusif baik bagi guru maupun peserta didik.
Perlindungan merupakan hak kostitusional (constitutional right) dan hak hukum (legal right) yang dimiliki oleh guru. Hak konstitusional terkait hak yang dimiliki setiap warga negara Indonesia (WNI) termasuk guru, yang bersumber pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Dalam pasal 28 D ayat (1) dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Sedangkan hak hukum adalah hak yang dimiliki setiap WNI termasuk para guru atau pendidik, yang bersumber dari peraturan-peraturan di bawah UUD NRI Tahun 1945. Salah satunya adalah pasal 40 ayat (1) huruf d Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal ini menyatakan bahwa Pendidik dan Tenaga Kependidikan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual.
Beberapa regulasi telah ditetapkan terkait perlindungan dalam rangka menjaga martabat guru. Dalam Undang-Undang Nomor 14 tentang Guru dan Dosen, telah diatur berbagai pasal yang memberikan perlindungan terhadap guru. Misal, dalam Pasal 7 disebutkan bahwa profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Pasal 14 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual. Terkait kewenangan, Pasal 39 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
Isu kewenangan juga ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Pasal 40 peraturan ini menyatakan bahwa guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, satuan pendidikan, Organisasi Profesi Guru, dan/atau Masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing. Pasal 41 menyatakan bahwa guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
Regulasi lain yang menguatkan keberpihakan Pemerintah adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Perlindungan dimaksud adalah ketika terjadi permasalahan terkait pelaksanaan tugas di satuan pendidikan. Sebagai turunan dari peraturan ini, baru-baru ini telah ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Nomor 3798/B.B1/Hk.03/2024 tentang Petunjuk Teknis Perlindungan Pendidik dan Tenaga Kependidikan dalam Pelaksanaan Tugas. Peraturan ini merupakan turunan yang diamanahkan dalam Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017.
Keputusan Dirjen ini menyesuaikan perlindungan guru terhadap tindakan kekerasan yang dialaminya dengan merujuk kepada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023. Permendikbudristek ini merinci kekerasan dalam 7 jenis kekerasan, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, dan bentuk kekerasan lainnya.
Peraturan ini mempersyaratkan adanya sistem pelaporan melalui pembentukan satuan kerja (satgas). Satgas dimaksud berada pada masing-masing berjenjang, yaitu pada satuan pendidikan, pemerintah daerah, kementerian dan organisasi profesi. Perlindungan diberikan dalam tiga bentuk, yaitu konsultasi hukum, mediasi, serta pemenuhan dan/atau pemulihan hak pendidik dan tenaga kependidikan. Konsultasi hukum berupa pemberian saran atau pendapat untuk penyelesaian sengketa atau perselisihan. Mediasi, penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memeroleh kesepakatan para pihak. Pemenuhan dan/atau pemulihan hak dimaknai sebagai bantuan untuk mendapatkan penasihat hukum dalam penyelesaian perkara melalui proses pidana, perdata, atau tata usaha negara.
Martabat Guru
Suka atau tidak suka, martabat guru harus dikedepankan. Untuk itu, regulasi atau peraturan perlindungan bagi guru seyogianya didasarkan atas 5 (lima) prinsip. Pertama, non-diskriminatif yaitu tidak membedakan baik dari agama, gender, latar budaya, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial ekonomi. Kedua, inisiatif yaitu bahwa perlindungan berasal dari pihak yang memberikan perlindungan atau inisiatif berasal dari guru yang menjadi korban. Ketiga, nirlaba, yaitu bahwa perlindungan yang diberikan tidak digunakan untuk menarik keuntungan bagi pihak-pihak terkait. Keempat, pendekatan yang demokratis artinya mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Kelima, praduga tak bersalah, yaitu bahwa guru belum dapat dinyatakan bersalah sebelum ada keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Perlindungan terhadap guru dan tenaga kependidikan sesungguhnya sudah dipayungi oleh berbagai regulasi atau peraturan. Tetapi, kasus-kasus masih saja selalu terbentur dengan adanya peraturan yang dibuat oleh kementerian atau lembaga lain, yang bahkan hirarki nya lebih tinggi daripada yang ada. Sudah harus dipertimbangkan bahwa peraturan yang melindungi guru sudah harus ditingkatkan dalam bentuk Undang-Undang ketimbang diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri atau bahkan Keputusan Direktur Jenderal dan setara lainnya. Ini kalau memang ada keseriusan Pemerintah untuk mengamankan dan menyelamatkan guru dan tenaga kependidikan dari tindakan-tindakan yang meresahkan profesi mereka.
(wur)