China Klaim Natuna, Fadli Zon: Tak Boleh Ada Negosiasi

Senin, 06 Januari 2020 - 14:02 WIB
China Klaim Natuna, Fadli Zon: Tak Boleh Ada Negosiasi
China Klaim Natuna, Fadli Zon: Tak Boleh Ada Negosiasi
A A A
JAKARTA - Protes Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri atas masuknya kapal China ke wilayah perairan Natuna, sudah tepat. Mengacu pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, China memang tak memiliki hak dan kedaulatan apapun di perairan tersebut.

"Argumen bahwa perairan tersebut merupakan wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan China (traditional fishing right), sama sekali tak punya dasar hukum dan tak diakui," kata Anggota DPR Fadli Zon, Senin (6/1/2020)

(Baca juga: Klaim China Pernah Ditolak PBB, Indonesia Diminta Lebih Tegas soal Natuna)

Dalam UNCLOS, konsep yang dikenal adalah 'Traditional Fishing Rights', bukan 'Traditional Fishing Grounds'. Hal itu diatur dalam Pasal 51 UNCLOS. Itu sebabnya masyarakat internasional tidak mengakui keabsahan 9 garis putus yang diklaim China, termasuk klaim 'Traditional Fishing Rights' mereka.

Fadli Zon menegaskan, Indonesia punya dasar hukum internasional yang kuat untuk menolak klaim China tersebut. Apalagi, Putusan Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016, dalam sengketa antara Filipina melawan China, juga telah menegaskan kembali UNCLOS 1982.

"Artinya, China tak punya dasar hukum mengklaim perairan Natuna Utara dan sembilan garis putus yang selalu mereka sampaikan. Padahal, China sendiri adalah anggota UNCLOS," jelasnya.

Memang, dalam kasus Coast Guard China kemarin tidak ada sengketa kedaulatan (sovereignty) antara Indonesia dengan China. Mereka tak memasuki laut teritorial Indonesia. Dalam hukum laut internasional, dibedakan antara "sovereignty" dengan "sovereign rights".

"Sovereignty merujuk pada konsep kedaulatan yang di laut disebut Laut Teritorial (Territorial Sea). Sementara sovereign rights bukanlah kedaulatan. Mereka hanya memasuki ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) Indonesia, di mana kita punya sovereign rights atasnya," ucap Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Fadli Zon.

Dia mengungkapkan, sovereign rights memberi negara pantai seperti Indonesia hak untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alam di wilayah laut lepas tertentu (ZEE) atau yang berada di bawah dasar laut (landas kontinen).

"Jadi, ZEE memang tidak berada di laut teritorial, tetapi di laut lepas (high seas). Di laut lepas memang tak dikenal konsep kedaulatan, sehingga tak dikenal juga tindakan penegakan kedaulatan," ungkapnya.

Namun kata Fadli, Indonesia punya hak penegakan hukum di wilayah tersebut. Sebab, dalam undang-undang kita, misalnya UU Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, ZEE termasuk ke dalam 'laut yurisdiksi nasional'.

"Sesuai Pasal 9 Ayat (2), TNI kita diberi tugas untuk menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional," tegasnya.

"Dalam konteks konflik di Laut China Selatan hari ini, sebagai negara non-claimant state, Indonesia sebenarnya sejak lama telah mengambil sikap tegas untuk melindungi kedaulatan perairan Natuna," tuturnya.

Sejak dulu Indonesia tidak pernah mengakui klaim sepihak China. Pada 2010, misalnya, kita bahkan pernah menulis catatan kepada Sekjen PBB bahwa klaim China mengenai sembilan garis putus-putus itu "tidak memiliki basis hukum internasional".

Pada 2017, kita juga telah mengambil inisiatif penting dengan mengubah nama perairan Natuna menjadi perairan Natuna Utara. Setidaknya ada dua alasan, menurut saya, kenapa perubahan nama itu perlu dilakukan.

Pertama, untuk mencegah kebingungan di antara pihak-pihak yang ingin mengeksploitasi landasan kontinen tersebut, mengingat di wilayah itu kita memiliki hak berdaulat. Dan kedua, untuk memberikan petunjuk yang jelas kepada Tim Penegakkan Hukum di Angkatan Laut (AL) Indonesia.

"Sehingga, saya sepakat dengan pandangan bahwa persoalan perairan Natuna Utara ini memang tak boleh dan tak perlu dibawa ke meja perundingan. China tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna Utara, demikian pula Indonesia juga tidak mengakui wilayah tradisional penagkapan ikan nelayan China. Jadi, tak ada yang perlu dirundingkan. Itu mencederai konsistensi kita dalam menjaga kedaulatan Natuna sejauh ini," ujarnya.

Menurut Fadli Zon, hak Indonesia atas perairan Natuna Utara sudah dilindungi oleh hukum laut internasional. China sendiri mengakui UNCLOS. Jadi, dasarnya sangat kuat. Itu sebabnya jangan sampai dibuka ruang negosiasi sekecil apapun dengan China terkait wilayah perairan tersebut.

"Kita tak boleh didikte oleh China atau berada di bawah tekanan China. Kita hanya perlu meningkatkan patroli dan memperkuat penjagaan keamanan di perairan Natuna Utara. Harus diakui itu adalah kelemahan kita selama ini," katanya.

"Sebab, saya melihat perairan Natuna Utara sepertinya akan selalu diwarnai insiden serupa. Jangan lupa, insiden seperti kemarin sudah terjadi berkali-kali, seperti tahun 2016, 2015, 2013, bahkan sejak tahun 2010 dulu. Kita perlu mencurigai ada upaya sistematis untuk membawa persoalan ini ke meja perundingan bilateral," tambahnya.

Ditegaskan Fadli Zon, sebagai negara berdaulat, sebaiknya tidak terjebak pada skenario tersebut. "Di meja perundingan bilateral, bagaimanapun posisi Indonesia akan mudah sekali ditekan China. Kita tak menginginkan itu terjadi," ucapnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3740 seconds (0.1#10.140)