Klaim China di Perairan Natuna Ancaman bagi Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Perairan Natuna kembali memanas setelah Coast Guard China bermanuver mengawal kapal-kapal ikan mereka di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Meski Coast Guard China berhasil diusir Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan militer Indonesia, namun mereka mengklaim bahwa mereka memiliki hak di perairan tersebut. (Baca juga: Code of Conduct di LCS Penting untuk Meredam Konflik di Natuna)
Pengamat Intelijen dan Pertahanan, Connie Rahakundini mengaku pernah mengingatkan konflik di perairan ini sejak 2012 silam. Sebuah makalah tentang sejarah konflik perairan Natuna atau Laut China Selatan (LCS) itu pernah di sampaikannya di forum internasional Amerika Serikat dan dalam Forum Group Diskusi (FGD) di Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) November 2012 silam. (Baca juga: Sikap Jokowi Terkait Konflik Indonesia-China di Perairan Natuna)
Dalam makalahnya, Connie menyebut, pada grafik navigasi Kerajaan Britania Raya, wilayah yang sekarang diklaim sebagai LCS telah disebut sebagai pelataran berbahaya. Perairan ini di dalam kedaulatan Indonesia merujuk pada perairan Natuna. "Pelataran berbahaya ini tumbuh menjadi jalur pelayaran tersibuk di dunia dan dijuluki Teluk Persia baru atau Hidrokarbon Eldorado," kata Connie saat dihubungi SINDOnews, Minggu (5/1/2020).
Connie menjelaskan, klaim maritim LCS melibatkan garis berbentuk U misterius yang terbentuk dari gugusan 9 titik pulau-pulau. Menurut dia, wilayah ini juga meliputi LCS tengah di mana masyarakat internasional merasa memiliki hak untuk mengeksploitasinya. "Garis U yang mengelilingi LCS dianggap memengaruhi hak-hak negara yang memiliki hak-hak ZEE di sekitarnya," ujar dia. (Baca juga: Wilayah Perairan Natuna Memanas, Indonesia Tambah Pasukan)
Lebih lanjut Connie mengatakan, reputasi pelataran berbahaya dalam arti navigasi, namun tumbuh terbentuk sebagai tempat strategis. Dalam hal ini, wilayah ini bercirikan ketegangan yang berimplikasi pada geopolitik. "Meskipun pertanyaan akan kedaulatan berpusat atas sengketa kepulauan, sengketa LCS dalam praktiknya merupakan wilayah sengketa maritim yang paling mungkin untuk memulai percikan konflik di kawasan," tutur Connie.
Connie mengatakan, dengan kesepakatan dan penandatanganan UNCLOS, China harus menghormati dan tidak dapat mengklaim alasan sejarah yang memberikan pembenaran hak ruang maritim seputar garis U misterius tersebut. Klaim China tersebut, kata dia, dapat diasumsikan sebagai ancaman bagi Indonesia, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam dan Vietnam. "Hal ini juga dapat dianggap berpengaruh terhadap hak-hak masyarakat internasional karena UNCLOS juga memberikan hak di dalam wilayah perairan ini untuk masyarakat internasional," ulas dia.
Connie menduga, penolakan China untuk menginternasionalisasi LCS bisa dicurigai sebagai upaya negeri tirai bambu itu untuk menginternasionalisasi wilayah laut internasional. "Terdapat kekhawatiran dengan tidak di internasionalisasikannya sengketa ini, maka Beijing akan mampu membawa kekuatannya pada negara-negara Asia Tenggara dan memaksakan aturannya sendiri pada wilayah perairan ini," jelasnya.
Dengan demikian, Connie meminta agar ketegangan yang terjadi di perairan Natuna kemarin menjadi momentum sekaligus upaya pemerintah Indonesia untuk memperkuat kerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara dalam melindungi kedaulatan wilayah perairan mereka masing-masing.
Connie menuturkan, ada dua pendekatan bagi pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan kedaulatan dalam negerinya yaitu, pendekatan hard power atau dengan kata lain menggunakan political security pillar ASEAN di mana seluruh negara ASEAN bersepakat untuk bersama berpatroli, misalnya untuk menjaga kedaulatan maritim dan dirgantara kawasan.
Berikutnya, kata Connie, pendekatan soft power yakni duduk bersama semua negara ASEAN dan China yang melibatkan para sejarawan dan antropolog membahas claim historical masing-masing termasuk bukti-bukti sejarah nenek moyang serta pendudukan pulau-pulau dalam area U tersebut. "Ini akan membuat China sadar bahwa bukan saja mereka yang memiliki history di sana," kata dia. rakhmat
Pengamat Intelijen dan Pertahanan, Connie Rahakundini mengaku pernah mengingatkan konflik di perairan ini sejak 2012 silam. Sebuah makalah tentang sejarah konflik perairan Natuna atau Laut China Selatan (LCS) itu pernah di sampaikannya di forum internasional Amerika Serikat dan dalam Forum Group Diskusi (FGD) di Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) November 2012 silam. (Baca juga: Sikap Jokowi Terkait Konflik Indonesia-China di Perairan Natuna)
Dalam makalahnya, Connie menyebut, pada grafik navigasi Kerajaan Britania Raya, wilayah yang sekarang diklaim sebagai LCS telah disebut sebagai pelataran berbahaya. Perairan ini di dalam kedaulatan Indonesia merujuk pada perairan Natuna. "Pelataran berbahaya ini tumbuh menjadi jalur pelayaran tersibuk di dunia dan dijuluki Teluk Persia baru atau Hidrokarbon Eldorado," kata Connie saat dihubungi SINDOnews, Minggu (5/1/2020).
Connie menjelaskan, klaim maritim LCS melibatkan garis berbentuk U misterius yang terbentuk dari gugusan 9 titik pulau-pulau. Menurut dia, wilayah ini juga meliputi LCS tengah di mana masyarakat internasional merasa memiliki hak untuk mengeksploitasinya. "Garis U yang mengelilingi LCS dianggap memengaruhi hak-hak negara yang memiliki hak-hak ZEE di sekitarnya," ujar dia. (Baca juga: Wilayah Perairan Natuna Memanas, Indonesia Tambah Pasukan)
Lebih lanjut Connie mengatakan, reputasi pelataran berbahaya dalam arti navigasi, namun tumbuh terbentuk sebagai tempat strategis. Dalam hal ini, wilayah ini bercirikan ketegangan yang berimplikasi pada geopolitik. "Meskipun pertanyaan akan kedaulatan berpusat atas sengketa kepulauan, sengketa LCS dalam praktiknya merupakan wilayah sengketa maritim yang paling mungkin untuk memulai percikan konflik di kawasan," tutur Connie.
Connie mengatakan, dengan kesepakatan dan penandatanganan UNCLOS, China harus menghormati dan tidak dapat mengklaim alasan sejarah yang memberikan pembenaran hak ruang maritim seputar garis U misterius tersebut. Klaim China tersebut, kata dia, dapat diasumsikan sebagai ancaman bagi Indonesia, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam dan Vietnam. "Hal ini juga dapat dianggap berpengaruh terhadap hak-hak masyarakat internasional karena UNCLOS juga memberikan hak di dalam wilayah perairan ini untuk masyarakat internasional," ulas dia.
Connie menduga, penolakan China untuk menginternasionalisasi LCS bisa dicurigai sebagai upaya negeri tirai bambu itu untuk menginternasionalisasi wilayah laut internasional. "Terdapat kekhawatiran dengan tidak di internasionalisasikannya sengketa ini, maka Beijing akan mampu membawa kekuatannya pada negara-negara Asia Tenggara dan memaksakan aturannya sendiri pada wilayah perairan ini," jelasnya.
Dengan demikian, Connie meminta agar ketegangan yang terjadi di perairan Natuna kemarin menjadi momentum sekaligus upaya pemerintah Indonesia untuk memperkuat kerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara dalam melindungi kedaulatan wilayah perairan mereka masing-masing.
Connie menuturkan, ada dua pendekatan bagi pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan kedaulatan dalam negerinya yaitu, pendekatan hard power atau dengan kata lain menggunakan political security pillar ASEAN di mana seluruh negara ASEAN bersepakat untuk bersama berpatroli, misalnya untuk menjaga kedaulatan maritim dan dirgantara kawasan.
Berikutnya, kata Connie, pendekatan soft power yakni duduk bersama semua negara ASEAN dan China yang melibatkan para sejarawan dan antropolog membahas claim historical masing-masing termasuk bukti-bukti sejarah nenek moyang serta pendudukan pulau-pulau dalam area U tersebut. "Ini akan membuat China sadar bahwa bukan saja mereka yang memiliki history di sana," kata dia. rakhmat
(cip)