Kompleksitas Kasus Korupsi Impor Gula
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
PEMBERANTASAN korupsi selama 25 tahun sejak diberlakukannya UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Tahun 1999 alih-alih memberikan kontribusi yang signifikan dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, justru telah menimbulkan kontroversi yang menarik perhatian masyarakat luas. Perhatian masyarakat luas terutama pakar-pakar hukum pidana merasa terpanggil untuk memberikan pendapatnya dari berbagai sudut pandang yang diyakini benar sesuai dengan keahliannya.
Begitu juga institusi penegak hukum, baik dari kejaksaan maupun KPK, tidak mau kalah tampil bersemangat memberikan penjelasan terbuka kepada masyarakat luas tentang proses penanganan kasusnya. Di sisi lain, pihak awam sekelompok masyarakata hanya pandai menonton saja tanpa berkedip dan tidak paham sesungguhnya apa yang tengah diperbincangkan.
Baru-baru ini, berita penanganan Kejaksaan Agung dalam perkara kebijakan impor gula oleh Kementerian Perdagangan mengemuka ke hadapan publik. Seorang mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) telah ditetapkan sebagai tersangka dan dikenakan penahanan.
Bagi pakar hukum dan aparatur hukum, yang menjadi masalah bukan siapa tersangkanya, melainkan apakah perbuatan yang telah dilakukannya dalam melaksanakan kebijakan impor gula telah memenuhi prosedur yang ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk tujuan impor gula, dan sejauh manakah pelaksanaan kebijakan impor gula telah dilakukan secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kewenangannya (menteri, dirjen, atau pimpinan proyek lelang), sehingga telah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang mengakibatkan negara telah mengalami kerugian sejumlah uang yang secara pasti dan nyata dapat dihitung -actual cost, bukan yang diperkirakan akan terjadi -potential cost.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memerlukan jawaban yang lengkap, terang, dan jelas sesuai dengan asas-asas hukum dan kaidah hukum yang berlaku umum sehubungan dengan kebijakan impor gula. Dipastikan Kejaksaan telah melakukan penanganan secara teknis hukum dalam proses penyelidikan dan penyidikan terhadap Tom Lembong, tidak perlu diragukan sepanjang hasil proses dimaksud telah disertai bukti-bukti permulaan yang cukup dan terbukti kemudian di sidang pengadilan yang terbuka dan dibuka untuk umum.
Dalam hubungan kasus Tom Lembong, seyogianya pakar hukum dan ahli hukum melepaskan diri dari pikiran/pandangan yang menyentuh masalah politik sekalipun kita ketahui dalam praktik penegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi, tidak terbebas dari kepentingan poliitk atau dilatarbelakangi oleh politik praktis.
Dalam pengamatan praktik pemberantasan korupsi, terutama menjelang dan akhir Pemilu 2024, tampak jelas politisasi hukum dengan tujuan kepentingan politik atau menyingkirkan lawan bisnis sehingga semakin tidak jelas lagi perbedaan penegakan hukum, politisasi hukum, dan kriminalisasi. Sesungguhnya solusi dari masalah hukum sebagaimana diuraikan di atas, dapat dilakukan dengan cara pertama, agar baik masyarakat maupun aparatur penegak hukum mematuhi pembatasan informasi mengenai proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang telah ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP), Pasal 17 yang antara lain menyatakan bahwa, setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali: a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat: 1. menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana; 2. mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana; 3. mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional; 4. membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya.
Merujuk kepada ketentuan Pasal 17 aquo, terdapat ketentuan-ketentuan pembatasan terhadap hak dan kebebasan memperoleh informasi oleh masyarakat, akan tetapi juga bagi pejabat publik/aparatur penegak hukum; pelanggaran terhadap ketentuan pembatasan tersebut akan diganjar dengan ancaman pidana karena dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memberikan informasi memperoleh dan/atau yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memberikan informasi memperoleh yang dan/atau dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf c dan huruf e, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
UU KIP merupakan wujud nyata dari ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 khusus Perlindungan Hak Asasi Manusia yang dilengkapi dengan Kewajiban Asasi Manusia, antara lain: setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dalam konteks kasus Tom Lembong, tampak baik aparatur penegak hukum, pakar hukum, dan masyarakat awam tidak lagi mematuhi ketentuan UUD 1945 sebagai jaminan konstitusional dan pilar negara hukum, sedangkan diketahui bersama bahwa penderita psikis dan fisik satu-satunya dalam kasus ini ialah Tom Lembong dan keluarganya, bukan orang lain.
Saran konkret untuk mengakhiri penderitaan Tom Lembong tersebut adalah mempercepat proses penanganan perkara sampai sidang pengadilan yang terbuka dan dibuka untuk umum, dengan hak-hak terdakwa dijamin penuh UU untuk menyampaikan pembelaanya tanpa rasa takut dan penuntut dapat membuktikan tuntutannya secara terang dan jelas di hadapan hakim pengadilan tipikor. Penilaian atas kesalahan Tom Lembong hanya ditentukan oleh lima orang hakim khusus tipikor, bukan oleh lainnya.
PEMBERANTASAN korupsi selama 25 tahun sejak diberlakukannya UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Tahun 1999 alih-alih memberikan kontribusi yang signifikan dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, justru telah menimbulkan kontroversi yang menarik perhatian masyarakat luas. Perhatian masyarakat luas terutama pakar-pakar hukum pidana merasa terpanggil untuk memberikan pendapatnya dari berbagai sudut pandang yang diyakini benar sesuai dengan keahliannya.
Begitu juga institusi penegak hukum, baik dari kejaksaan maupun KPK, tidak mau kalah tampil bersemangat memberikan penjelasan terbuka kepada masyarakat luas tentang proses penanganan kasusnya. Di sisi lain, pihak awam sekelompok masyarakata hanya pandai menonton saja tanpa berkedip dan tidak paham sesungguhnya apa yang tengah diperbincangkan.
Baru-baru ini, berita penanganan Kejaksaan Agung dalam perkara kebijakan impor gula oleh Kementerian Perdagangan mengemuka ke hadapan publik. Seorang mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) telah ditetapkan sebagai tersangka dan dikenakan penahanan.
Bagi pakar hukum dan aparatur hukum, yang menjadi masalah bukan siapa tersangkanya, melainkan apakah perbuatan yang telah dilakukannya dalam melaksanakan kebijakan impor gula telah memenuhi prosedur yang ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk tujuan impor gula, dan sejauh manakah pelaksanaan kebijakan impor gula telah dilakukan secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kewenangannya (menteri, dirjen, atau pimpinan proyek lelang), sehingga telah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang mengakibatkan negara telah mengalami kerugian sejumlah uang yang secara pasti dan nyata dapat dihitung -actual cost, bukan yang diperkirakan akan terjadi -potential cost.
Baca Juga
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memerlukan jawaban yang lengkap, terang, dan jelas sesuai dengan asas-asas hukum dan kaidah hukum yang berlaku umum sehubungan dengan kebijakan impor gula. Dipastikan Kejaksaan telah melakukan penanganan secara teknis hukum dalam proses penyelidikan dan penyidikan terhadap Tom Lembong, tidak perlu diragukan sepanjang hasil proses dimaksud telah disertai bukti-bukti permulaan yang cukup dan terbukti kemudian di sidang pengadilan yang terbuka dan dibuka untuk umum.
Dalam hubungan kasus Tom Lembong, seyogianya pakar hukum dan ahli hukum melepaskan diri dari pikiran/pandangan yang menyentuh masalah politik sekalipun kita ketahui dalam praktik penegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi, tidak terbebas dari kepentingan poliitk atau dilatarbelakangi oleh politik praktis.
Dalam pengamatan praktik pemberantasan korupsi, terutama menjelang dan akhir Pemilu 2024, tampak jelas politisasi hukum dengan tujuan kepentingan politik atau menyingkirkan lawan bisnis sehingga semakin tidak jelas lagi perbedaan penegakan hukum, politisasi hukum, dan kriminalisasi. Sesungguhnya solusi dari masalah hukum sebagaimana diuraikan di atas, dapat dilakukan dengan cara pertama, agar baik masyarakat maupun aparatur penegak hukum mematuhi pembatasan informasi mengenai proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang telah ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP), Pasal 17 yang antara lain menyatakan bahwa, setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali: a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat: 1. menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana; 2. mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana; 3. mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional; 4. membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya.
Merujuk kepada ketentuan Pasal 17 aquo, terdapat ketentuan-ketentuan pembatasan terhadap hak dan kebebasan memperoleh informasi oleh masyarakat, akan tetapi juga bagi pejabat publik/aparatur penegak hukum; pelanggaran terhadap ketentuan pembatasan tersebut akan diganjar dengan ancaman pidana karena dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memberikan informasi memperoleh dan/atau yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memberikan informasi memperoleh yang dan/atau dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf c dan huruf e, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
UU KIP merupakan wujud nyata dari ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 khusus Perlindungan Hak Asasi Manusia yang dilengkapi dengan Kewajiban Asasi Manusia, antara lain: setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dalam konteks kasus Tom Lembong, tampak baik aparatur penegak hukum, pakar hukum, dan masyarakat awam tidak lagi mematuhi ketentuan UUD 1945 sebagai jaminan konstitusional dan pilar negara hukum, sedangkan diketahui bersama bahwa penderita psikis dan fisik satu-satunya dalam kasus ini ialah Tom Lembong dan keluarganya, bukan orang lain.
Saran konkret untuk mengakhiri penderitaan Tom Lembong tersebut adalah mempercepat proses penanganan perkara sampai sidang pengadilan yang terbuka dan dibuka untuk umum, dengan hak-hak terdakwa dijamin penuh UU untuk menyampaikan pembelaanya tanpa rasa takut dan penuntut dapat membuktikan tuntutannya secara terang dan jelas di hadapan hakim pengadilan tipikor. Penilaian atas kesalahan Tom Lembong hanya ditentukan oleh lima orang hakim khusus tipikor, bukan oleh lainnya.
(zik)