Masalah Tafsir Hukum di Dalam Membaca KUHP 2023

Kamis, 24 Oktober 2024 - 15:42 WIB
loading...
Masalah Tafsir Hukum...
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
SETIAP frasa di dalam suatu undang-undang dipastikan mengandung lebih dari satu makna. Akan tetapi yang pasti bahwa membaca suatu ketentuan undang-undang memiliki metoda penafsiran (tidak cukup membaca).

Adapun 5 (lima) jenis penafsiran hukum yaitu: metoda penafsiran dari sudut sejarah pembentukan UU atau ketentuan UU (penafsiran historis), dari sudut perkembangan pandangan masyarakat pada saat UU dibahas, (sosiologis), dari sudut maksud dan tujuan pembentukannya (penafsiran teleologis), dan dari arti/makna tiap frasa secara sistematis dan logis.

Kelima jenis penafsiran hukum dimaksud dalam praktik peradilan tampaknya diabaikan, disebabkan sebagian besar fokus hanya pada ada tidaknya bukti permulaan atas perbuatan yang dirumuskan dalam ketentuan UU dalam hubungan antara pelaku dan korban kejahatan. Tafsir historis UU Nomor 1 Tahun 2023 KUHP sengaja dirancang untuk mengganti KUHP 1946 yang telah diberlakukan di seluruh Indonesia dengan UU Nomor 73 Tahun 1958.



Penggantian tersebut disebabkan telah terjadi perubahan pandangan masyarakat pascakemerdekaan pada abad 20-21 tentang perbuatan tercela dan bukan tercela atau perbuatan yang patut dihukum. Peradaban masyarakat dipastikan berubah sesuai dengan masanya sehingga mempengaruhi pandangan manusia tentang kehidupan alam sekitarnya dan pandangan tersebut diyakini berbeda pada setiap bangsa-bangsa di dunia.

Contoh konkret pandangan masyarakat tentang kesusilaan di masyarakat modern di barat dan timur berbeda seperti tentang perbuatan zina/perzinaan dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, bahkan pandangan tentang agama.

Dalam konteks masalah nilai masyarakat adat dimaksud maka solusi yang tepat adalah proses penyelesaian melalui tetua adat masyarakat setempat seperti masalah awig-awig dan sengketa masalah air di Bali, merupakan proses penyelesaian sebagai primum remedium. Jika tidak dapat diselesaikan, maka sanksi adat yang diterapkan seperti pengasingan tehadap anggota masyarakat adat yang tidak mau mengakui kesalahan. Jika proses adat tidak menyelesaikan persengketaan, maka dapat dilanjutkan pada penyelesaian secara hukum- ultimum remedium.

Makna dari pola penyelesaian melalui hukum adat yang merupakan primum remedium dan melalui hukum nasional sebagai ultimum remedium mencerminkan bahwa, negara hukum RI mengutamakan politik hukum nasional yang berlandaskan asas musyawarah mufakat yang merupakan ciri khas kehidupan ber-Pancasila.

Negara RI berdasarkan UUD 1945 adalah negara hukum. Sejatinya ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, masih harus dilanjutkan dengan mengutip frasa yang tercantum pada alinea keempat Mukadimah UUD 1945 yaitu: Kemudian daripada itu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kedudukan NKRI sebagai negara hukum harus dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, terutama hak asasi rakyat yang memiliki kepentingan hukum, bukan hanya sebatas keadilan hukum saja. Ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan mandat yang tercantum pada alinea keempat mukadimah UUD 1945 tersebut telah diwujudkan dalam bentuk konkritisasi norma Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 UU KUHP Nomor 1 tahun 2023.

Kedua ketentuan KUHP 2023 pada intinya menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak akan dipidana/dijatuhi hukuman tanpa ada ketentuan undang-undang pidana yang mengaturnya akan tetapi tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang KUHP (2023).

Merujuk pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1) KUHP disimpulkan bahwa UU Pidana tahun 2023 yang akan berlaku efektif pada tanggal 2 Januari 2026; mengadopsi bukan hanya aliran pemikiran positivisme hukum – asas legalitas (Kelsen) melainkan juga aliran pemikiran sosiologis-sociological jurisprudence (Pound).

Perubahan mendasar landasan pemikiran hukum tersebut merupakan suatu Upaya ahli hukum pidana bangsa Indonesia untuk mengembalikan secara evolutive nilai-nilai dan budaya yang merupakan karakteristik bangsa Indonesia, Pancasila. Hal ini semakin nyata pada ketentuan mengenai tujuan, pedoman dan jenis pidana dalam UU KUHP 2023; di dalam Pasal 52, tidak untuk merendahkan martabat manusia.

Paragraf 2 Pedoman Pemidanaan Pasal 53 (1) Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. l2l Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.



Hal ini tercermin dalam Pasal 65, yakni jenis pidana, terdiri atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial.

Jenis pidana baru yang dalam UU KUHP 2023 adalah pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang mencerminkan bahwa hukum pidana Indonesia masa depan tidak lagi bertumpu pada norma dan sanksi melainkan juga pada pengawasan dan sanksi sosial. Kedua jenis pidana tersebut merupakan ciri khas berhasil tidaknya sistem pemidanaan di dalam masyarakat Indonesia pada khususnya tentang pandangan masyarakat mengenai perbuatan tercela atau tidak tercela dan merupakan pelanggaran atas norma agama dan kesusilaan merupakan parameter pemahaman Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia sejak lama.
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Berita Terkait
Yusril Tegaskan Hukuman...
Yusril Tegaskan Hukuman Mati Tidak Dihapus di KUHP Nasional, Begini Penjelasannya
Muruah Hukum
Muruah Hukum
Antara Hukum dan Kekuasaan
Antara Hukum dan Kekuasaan
Peninjauan Kembali dalam...
Peninjauan Kembali dalam KUHAP 1981
Respons Hukuman Mati...
Respons Hukuman Mati Koruptor, Pakar Hukum Henry: Harus Dibarengi Perbaikan Sistem
Penerapan KUHP Baru...
Penerapan KUHP Baru 2026, LBH Ansor: Semangat Lepas dari Warisan Kolonial
Dilema Danantara di...
Dilema Danantara di Tengah Pemberantasan Korupsi
KNPRI: Kejagung Jangan...
KNPRI: Kejagung Jangan Tebang Pilih Kasus Hukum
Sudah Benarkah Arah...
Sudah Benarkah Arah Pemberantasan Korupsi di Indonesia?
Rekomendasi
Efek Lebaran 2025: Penjualan...
Efek Lebaran 2025: Penjualan Honda Naik 5 Persen, Brio Masih Dominan 50 Persen
Pesan Cristiano Ronaldo...
Pesan Cristiano Ronaldo yang Penuh Makna untuk Alexander Volkanovski usai Jadi Raja Kelas Bulu UFC
Viral Penumpang Pesawat...
Viral Penumpang Pesawat Bercanda Bawa Bom, Begini Penjelasan Batik Air
Berita Terkini
TPUA Geruduk Rumah Jokowi...
TPUA Geruduk Rumah Jokowi di Solo, Minta Klarifikasi Ijazah Asli UGM
39 menit yang lalu
Marak Dokter Cabul,...
Marak Dokter Cabul, Penyalahgunaan Kekuasaaan hingga Krisis Etika Jadi Faktor
1 jam yang lalu
DPR: Pendirian Pangkalan...
DPR: Pendirian Pangkalan Militer Asing di Indonesia Langgar Konstitusi
2 jam yang lalu
7 Fakta Terbaru Polemik...
7 Fakta Terbaru Polemik Ijazah Jokowi, Muncul Gugatan Lagi hingga Dibela Hercules
2 jam yang lalu
3 Pejabat KPK Jadi Kapolda,...
3 Pejabat KPK Jadi Kapolda, Nomor 2 Pernah Tugas di BNN
4 jam yang lalu
Banyak Kader PDIP Minta...
Banyak Kader PDIP Minta Megawati Jadi Ketum Lagi
4 jam yang lalu
Infografis
Kapal Induk Kedua Tiba...
Kapal Induk Kedua Tiba di Timur Tengah, AS Serius Ancam Iran
Copyright ©2025 SINDOnews.com All Rights Reserved