Tingkat Kesukaan Masyarakat pada Prabowo Subianto Capai 90%
loading...
A
A
A
JAKARTA - Setelah lebih dari 15 tahun perjalanan politik yang penuh dinamika, Presiden Prabowo Subianto kini berada di puncak popularitasnya. Hasil survei terbaru dari LSI Denny JA menunjukkan tingkat kesukaan masyarakat terhadap Prabowo mencapai 90,5%. Angka ini melonjak signifikan dari 83,5% di awal 2023.
"Popularitas ini bukan hanya mencerminkan pengenalan publik, tetapi juga dukungan yang kuat," kata Direktur Sigi LSI Denny JA, Ardian Sopa dalam rilis hasil survei berjudul Prabowo di Puncak Popularitas dan Tantangan Utama di Jakarta, Selasa (22/10/2024).
Menurut hasil survei, kata Ardian Sopa, kesukaan terhadap Prabowo merata hampir di semua segmen pemilih. Prabowo disukai masyarakat ekonomi lemah hingga mapan, berpendidikan rendah hingga terpelajar, muslim maupun non-muslim, Gen Z hingga generasi baby boomers, konstituen partai, semua kelompok etnis, dan semua pemilih capres 2024.
Di segmen pendidikan, kesukaan terhadap Prabowo paling tinggi di mereka yang berpendidikan rendah. Mereka yang hanya tamat SD ke bawah, 91,3% menyatakan suka dengan karakter Prabowo. Sementara pada kelompok terpelajar, mereka yang mengatakan suka dengan Prabowo sebesar 87,2%.
Di segmen pemilih capres 2024, mereka yang menyatakan suka dengan Prabowo juga mayoritas di setiap pendukung capres masing-masing. Pemilih Prabowo-Gibran tentunya paling tinggi yaitu sebesar 98% menyatakan suka dengan karakter Prabowo.
Pendukung Anies-Muhaimin, 71,4% tetap suka dengan personaliti Prabowo. Sementara pendukung Ganjar-Mahfud, sebesar 68,4% menyatakan suka dengan karakter Prabowo. "Mengapa pesona Prabowo makin kuat dan makin disukai? LSI Denny JA menemukan ada 3 alasan," kata Ardian Sopa.
Pertama, lanjutnya, karena karakter Prabowo yang dikenal sebagai tipe coalition builder. Pascapilpres, saat penetapan capres-cawapres terpilih di Kantor KPU, Prabowo berpidato mengajak semua pihak untuk bersatu. Ketika kalah pada pilpres 2019, Prabowo bersedia diajak masuk membantu pemerintahan Jokowi.
Hal ini juga terlihat dari upaya Prabowo merangkul semua pihak termasuk yang berlawanan dengannya pada Pilpres 2024 untuk masuk dalam kabinetnya. "Karakter personal Prabowo yang merangkul banyak pihak disenangi oleh mayoritas publik yang mengutamakan kebersamaan dan kerukunan," katanya.
Kedua, Prabowo menerapkan prinsip satu musuh terlalu banyak 1.000 kawan terlalu sedikit. Dalam sejumlah pernyataan publik, Prabowo sering kali mengatakan jika dicemooh, balas dengan kebaikan. Jika ada di posisi atas, selalu ingat yang ada di bawah.
Tak hanya ucapan, selama kampanye Pilpres 2024, Prabowo juga terlihat menghindari sikap menyerang lawan secara terbuka, tak emosional jika dikritik, membalas cemoohan dengan senyuman, dan lebih riang gembira. "Sikap ini terbukti membantu mengubah image Prabowo, dan meningkatkan kesukaan pemilih," kata Ardian Sopa.
Ketiga, era bulan madu. Setiap pemimpin di awal pemerintahannya selalu berada di fase bulan madu dengan rakyatnya. Masa awal pemerintahan hingga 100 hari selalu pada titik ini, ada bonus kecintaan dan ekspektasi menjulang tinggi.
Meski mengawali pemerintahan yang cukup meyakinkan, Prabowo-Gibran tidak juga menghadapi sejumlah tantangan. Survei menunjukkan bahwa sebesar 65% masyarakat menyatakan bahwa lapangan kerja saat ini lebih sulit dibandingkan kondisi pada tahun-tahun sebelumnya. Mayoritas publik (64%) juga menilai bahwa saat ini mereka lebih sulit memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Tantangan selanjutnya adalah turunnya indeks demokrasi Indonesia. Berdasarkan data lembaga Economist Intelligence Unit, dalam 3 tahun terakhir, indeks demokrasi Indonesia terus turun. Dari 6.71 pada 2021 menjadi 6.53 pada 2023. Peringkat Indonesia sebagai negara demokrasi juga turun, dari peringkat 52 pada 2021 menjadi peringkat 56 pada 2023. "Tentunya indeks demokrasi sebuah negara tak hanya soal angka dan peringkat. Namun angka dan peringkat tersebut mencerminkan ada pekerjaan rumah besar bagi pemerintah baru," kata Ardian Sopa.
Stagnansi penanganan korupsi juga menjadi tantangan selanjutnya. Prabowo-Gibran harus mampu menurunkan praktik korupsi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Data dari Transparency International menunjukkan bahwa dalam setahun terakhir nilai dari penanganan korupsi di Indonesia cenderung stagnan. Di angka 34 pada 2022, dan tetap sama di angka 34 pada 2023.
Sementara peringkat Indonesia di dunia sebagai negara yang bersih dari korupsi mengalami turun peringkat. Dari peringkat 110 pada 2022 menjadi peringkat 115 pada tahun 2023.
Seberapa kuat Prabowo akan mengoreksi rapor merah demokrasi di Indonesia? Kebisingan pro dan kontra, konsultasi publik, suara oposisi, di satu sisi terlihat tidak membuat kerja publik menjadi efisien. Apalagi negara seperti China dan Singapura bisa tumbuh secara ekonomi tanpa terlalu banyak memberi ruang untuk demokrasi.
Namun tanpa demokrasi yang memadai, tanpa check and balances yang cukup, dan tanpa suara oposisi yang kuat, kebijakan yang mungkin salah akan sulit dikoreksi secara kelembagaan. Demokrasi memberi ruang untuk perbaikan melalui pengawasan, kritik, dan evaluasi, yang justru menjadi instrumen penting untuk menciptakan kebijakan yang lebih baik.
"Tanpa itu, kestabilan ekonomi jangka pendek bisa jadi mengorbankan keadilan dan kestabilan sosial jangka Panjang," katanya.
"Popularitas ini bukan hanya mencerminkan pengenalan publik, tetapi juga dukungan yang kuat," kata Direktur Sigi LSI Denny JA, Ardian Sopa dalam rilis hasil survei berjudul Prabowo di Puncak Popularitas dan Tantangan Utama di Jakarta, Selasa (22/10/2024).
Menurut hasil survei, kata Ardian Sopa, kesukaan terhadap Prabowo merata hampir di semua segmen pemilih. Prabowo disukai masyarakat ekonomi lemah hingga mapan, berpendidikan rendah hingga terpelajar, muslim maupun non-muslim, Gen Z hingga generasi baby boomers, konstituen partai, semua kelompok etnis, dan semua pemilih capres 2024.
Di segmen pendidikan, kesukaan terhadap Prabowo paling tinggi di mereka yang berpendidikan rendah. Mereka yang hanya tamat SD ke bawah, 91,3% menyatakan suka dengan karakter Prabowo. Sementara pada kelompok terpelajar, mereka yang mengatakan suka dengan Prabowo sebesar 87,2%.
Di segmen pemilih capres 2024, mereka yang menyatakan suka dengan Prabowo juga mayoritas di setiap pendukung capres masing-masing. Pemilih Prabowo-Gibran tentunya paling tinggi yaitu sebesar 98% menyatakan suka dengan karakter Prabowo.
Pendukung Anies-Muhaimin, 71,4% tetap suka dengan personaliti Prabowo. Sementara pendukung Ganjar-Mahfud, sebesar 68,4% menyatakan suka dengan karakter Prabowo. "Mengapa pesona Prabowo makin kuat dan makin disukai? LSI Denny JA menemukan ada 3 alasan," kata Ardian Sopa.
Pertama, lanjutnya, karena karakter Prabowo yang dikenal sebagai tipe coalition builder. Pascapilpres, saat penetapan capres-cawapres terpilih di Kantor KPU, Prabowo berpidato mengajak semua pihak untuk bersatu. Ketika kalah pada pilpres 2019, Prabowo bersedia diajak masuk membantu pemerintahan Jokowi.
Hal ini juga terlihat dari upaya Prabowo merangkul semua pihak termasuk yang berlawanan dengannya pada Pilpres 2024 untuk masuk dalam kabinetnya. "Karakter personal Prabowo yang merangkul banyak pihak disenangi oleh mayoritas publik yang mengutamakan kebersamaan dan kerukunan," katanya.
Kedua, Prabowo menerapkan prinsip satu musuh terlalu banyak 1.000 kawan terlalu sedikit. Dalam sejumlah pernyataan publik, Prabowo sering kali mengatakan jika dicemooh, balas dengan kebaikan. Jika ada di posisi atas, selalu ingat yang ada di bawah.
Tak hanya ucapan, selama kampanye Pilpres 2024, Prabowo juga terlihat menghindari sikap menyerang lawan secara terbuka, tak emosional jika dikritik, membalas cemoohan dengan senyuman, dan lebih riang gembira. "Sikap ini terbukti membantu mengubah image Prabowo, dan meningkatkan kesukaan pemilih," kata Ardian Sopa.
Ketiga, era bulan madu. Setiap pemimpin di awal pemerintahannya selalu berada di fase bulan madu dengan rakyatnya. Masa awal pemerintahan hingga 100 hari selalu pada titik ini, ada bonus kecintaan dan ekspektasi menjulang tinggi.
Meski mengawali pemerintahan yang cukup meyakinkan, Prabowo-Gibran tidak juga menghadapi sejumlah tantangan. Survei menunjukkan bahwa sebesar 65% masyarakat menyatakan bahwa lapangan kerja saat ini lebih sulit dibandingkan kondisi pada tahun-tahun sebelumnya. Mayoritas publik (64%) juga menilai bahwa saat ini mereka lebih sulit memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Tantangan selanjutnya adalah turunnya indeks demokrasi Indonesia. Berdasarkan data lembaga Economist Intelligence Unit, dalam 3 tahun terakhir, indeks demokrasi Indonesia terus turun. Dari 6.71 pada 2021 menjadi 6.53 pada 2023. Peringkat Indonesia sebagai negara demokrasi juga turun, dari peringkat 52 pada 2021 menjadi peringkat 56 pada 2023. "Tentunya indeks demokrasi sebuah negara tak hanya soal angka dan peringkat. Namun angka dan peringkat tersebut mencerminkan ada pekerjaan rumah besar bagi pemerintah baru," kata Ardian Sopa.
Stagnansi penanganan korupsi juga menjadi tantangan selanjutnya. Prabowo-Gibran harus mampu menurunkan praktik korupsi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Data dari Transparency International menunjukkan bahwa dalam setahun terakhir nilai dari penanganan korupsi di Indonesia cenderung stagnan. Di angka 34 pada 2022, dan tetap sama di angka 34 pada 2023.
Sementara peringkat Indonesia di dunia sebagai negara yang bersih dari korupsi mengalami turun peringkat. Dari peringkat 110 pada 2022 menjadi peringkat 115 pada tahun 2023.
Seberapa kuat Prabowo akan mengoreksi rapor merah demokrasi di Indonesia? Kebisingan pro dan kontra, konsultasi publik, suara oposisi, di satu sisi terlihat tidak membuat kerja publik menjadi efisien. Apalagi negara seperti China dan Singapura bisa tumbuh secara ekonomi tanpa terlalu banyak memberi ruang untuk demokrasi.
Namun tanpa demokrasi yang memadai, tanpa check and balances yang cukup, dan tanpa suara oposisi yang kuat, kebijakan yang mungkin salah akan sulit dikoreksi secara kelembagaan. Demokrasi memberi ruang untuk perbaikan melalui pengawasan, kritik, dan evaluasi, yang justru menjadi instrumen penting untuk menciptakan kebijakan yang lebih baik.
"Tanpa itu, kestabilan ekonomi jangka pendek bisa jadi mengorbankan keadilan dan kestabilan sosial jangka Panjang," katanya.
(cip)