Mewaspadai Pembunuh Budaya di Jemari Kita

Minggu, 13 Oktober 2024 - 18:53 WIB
loading...
Mewaspadai Pembunuh...
Foto: Istimewa
A A A
Ressa Uli Patrissia
Mahasiswi Program Doktor Komunikasi Pascasarjana Sahid

KINI semakin terbukti bahwa teknologi bukan sekadar alat. Kendati tampak seperti benda mati, sesungguhnya ia “hidup”. Begitulah keyakinan Gilbert Simondon (1924-1989), filsuf yang terkenal karena kontribusinya dalam filsafat teknologi dan teori individuasi. Ia berargumen bahwa proses menjadi individu sebagai sesuatu yang dinamis dan berkelanjutan. Individuasi tidak hanya berlaku untuk manusia, tetapi juga objek teknis dan alamiah.

baca juga: Berapa Jumlah Judul Buku Baru yang Terbit di Indonesia Setiap Tahun? Ini Datanya

Gilbert Simondon lahir di Saint-Etienne, Prancis. Ia menempuh pendidikan di Ecole Normale Superieure di Paris, di bawah bimbingan filsuf-filsuf terkenal seperti Georges Canguilhem dan Maurice Merleau-Ponty. Setelah menyelesaikan studinya di ENS, ia melanjutkan karir akademisnya dengan memperoleh agregation dalam bidang filsafat. Semasa hidupnya, Simondon tidak terlalu dikenal. Pengaruh pemikirannya meningkat secara signifikan setelah kematiannya. Ide-ide Simondon mewarnai berbagai bidang, termasuk teori media, sosiologi, dan studi teknologi. Gilles Deleuze dan Bernard Stiegler dua di antara tokoh terkenal yang terinspirasi karya Simondon.

Ada dua karya utama yang sangat penting: “L’Individuation a la lumiere des notions de forme et d’information” (Individuasi dalam Terang Konsep Bentuk dan Informasi) dan “Du mode d’existence des objets techniques” (Mode Eksistensi Objek Teknik). Dalam karya-karya ini, Simondon mengeksplorasi bagaimana individu dan teknologi berkembang serta berinteraksi dalam konteks sosial dan material mereka.

Simondon juga dihargai karena pendekatannya yang interdisipliner, menggabungkan filsafat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memberikan wawasan yang lebih komprehensif tentang proses individuasi dan perkembangan teknis. Ia juga menyelidiki cara objek teknis berkembang dan berfungsi dalam masyarakat. Ia menentang pandangan reduksionis yang melihat teknologi hanya sebagai alat atau eksistensi manusia. Sebaliknya, ia menekankan bahwa teknologi memiliki mode eksistensi sendiri yang harus dipahami dalam konteks evolusi dan jaringan relasionalnya.

baca juga: Haedar Nashir Luncurkan Buku Jalan Baru Moderasi Beragama

Pemikiran Simondon yang seperti ini terlintas kembali di benak saya ketika membaca buku berjudul Technotronic Ethnocide: Teknologi Komunikasi dalam Jagat Budaya yang baru saja diterbitkan Profesor Ahmad Sihabudin. Tidak sekadar hidup dan berinteraksi dengan manusia. Bahkan, menurutnya, teknologi juga bisa menjadi pembunuh. Saya kira, inilah insight paling penting yang hendak disampaikan pakar komunikasi budaya serta Guru Besar bidang komunikasi lintas budaya Universitas Sultan Ageng Tirtayasa itu.

Sebagaimana senjata yang bisa berdaya guna, pada jari-jemari yang keliru mungkin saja letusan inovasi manusia itu menjelma menjadi malapetaka. Tak berhenti dalam memantik kritisisme, penulis tentu berharap kita tersadar lalu waspada dan melakukan perubahan.Pembunuhan budaya melalui teknologi elektronik itu memang digambarkan sedemikian nyata. Kekhawatiran perihal punahnya keragaman beserta kekayaan dan keunikan budaya, serta local wisdom terancam musnah, itu dinukil dari kesedihan antropolog Amerika, Edmund Carpenter, yang menyaksikan dampak negatif kamera, tape recorder, proyektor terhadap tercerabutnya masyarakat secara brutal dari budaya mereka.

Dalam hitungan bulan, suatu masyarakat di Papua yang ditinggali produk teknologi komunikasi ternyata tak ia kenali lagi. Rumah, pakaian, sikap dan perilaku mereka berubah. “Teknologi telah mengasingkan dan menghancurkan kebudayaan mereka,” katanya, yang dikutip penulis dari laporan terbitan 1976. Di luar Papua dan terkait generasi kekinian, salah satu daya rusak teknologi elektronik terlihat dari kemunculan “hidup gaya”, fenomena yang mendorong siapapun, walau minim modal, untuk tampil penuh gaya. Penulis menghubungkan gejala menyedihkan ini dalam konteks industri dan kapitalisme.

Karena itu, di ranah komunikasi budaya yang menjadi fokus kajian, upaya penyadaran tidak hanya ditujukan pada masyarakat pengguna teknologi. Kritik pedas juga ditujukan pada media yang semestinya memegang peran penting fungsi kontrol dan edukasi, korporasi dengan iklan yang tidak semata-mata mengejar penjualan, bahasa yang semakin terpinggirkan, bahkan pada elit-elit politik yang berkuasa di negara ini.

Sayangnya, elemen-elemen itu memiliki kelemahan dan tantangan masing-masing. Pers menghadapi serbuan digital yang serba cepat dan instan. Jari-jemari pengguna sosial media yang kurang literasi kadang menambah runyam efek disrupsi.Belum lagi bila kita memahami watak ekploitatif dan akumulasi modal tak bisa dipungkiri setiap industri. Sementara elit politik semakin tak peka, yang perlu tawadhu’, tidak “narsis dan bermuka masam”. Di samping menjadi korban industri, hasrat berkuasa kerap menggelincirkan politisi dari fitrah yang selayaknya diemban seorang pemimpin.

Maka, krisis cenderung semakin parah dan bukan tak mungkin great disruption yang ditunjukkan Fukuyama melanda banyak negara di pertengahan abad 20 muncul kembali. Ada satu harapan yang coba ditampilkan penulis buku ini. Sebagai ruang pencerahan, menurutnya, kearifan lokal bisa kita ikhtiarkan. “Manifestasi budaya yang dimiliki masyarakat ini dapat dijadikan filter dalam menghadapi pengaruh budaya asing atas terpaan media.” (Hal. 163).

baca juga: Ditjen Diktiristek Luncurkan Dua Buku Panduan Baru untuk Perguruan Tinggi

Sebagai sebuah antologi yang berawal dari bahan-bahan perkuliahan dan diskusi di kampus, buku yang diberi kata pengantar oleh Prof Alo Liliweri ini sangat bermanfaat bagi para mahasiswa maupun pegiat komunikasi. Terutama, yang tertarik pada bidang budaya maupun komunikasi antarbudaya.

Ketajaman penulis dan disiplin dalam menyusun karya ilmiah yang terlihat dari penggunaan pendapat dan buku dari tokoh-tokoh terkenal memperkaya uraian tiap bab. Gaya bertutur populer –-karena kebanyakan tulisan pernah dipublikasikan dalam format opini di surat kabar—membantu pembaca menyerap pengetahuan tanpa perlu mengernyitkan dahi. Mudah dipahami dan inspiratif.

Kendati demikian, kita bisa tersadarkan bahwa media yang sehari-hari sangat dekat, melekat di tubuh bahkan ada di jemari kita, bisa berubah menjadi mesin pembunuh budaya. (*)

Judul Buku: Technotronic Ethnocide: Teknologi Komunikasi dalam Jagat Budaya

Penulis: Prof Ahmad Sihabudin

Penerbit: Indigo Media

Tahun: 2024

Halaman: 244 + v
(hdr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1197 seconds (0.1#10.140)