Mewaspadai Pembunuh Budaya di Jemari Kita
loading...
A
A
A
Karena itu, di ranah komunikasi budaya yang menjadi fokus kajian, upaya penyadaran tidak hanya ditujukan pada masyarakat pengguna teknologi. Kritik pedas juga ditujukan pada media yang semestinya memegang peran penting fungsi kontrol dan edukasi, korporasi dengan iklan yang tidak semata-mata mengejar penjualan, bahasa yang semakin terpinggirkan, bahkan pada elit-elit politik yang berkuasa di negara ini.
Sayangnya, elemen-elemen itu memiliki kelemahan dan tantangan masing-masing. Pers menghadapi serbuan digital yang serba cepat dan instan. Jari-jemari pengguna sosial media yang kurang literasi kadang menambah runyam efek disrupsi.Belum lagi bila kita memahami watak ekploitatif dan akumulasi modal tak bisa dipungkiri setiap industri. Sementara elit politik semakin tak peka, yang perlu tawadhu’, tidak “narsis dan bermuka masam”. Di samping menjadi korban industri, hasrat berkuasa kerap menggelincirkan politisi dari fitrah yang selayaknya diemban seorang pemimpin.
Maka, krisis cenderung semakin parah dan bukan tak mungkin great disruption yang ditunjukkan Fukuyama melanda banyak negara di pertengahan abad 20 muncul kembali. Ada satu harapan yang coba ditampilkan penulis buku ini. Sebagai ruang pencerahan, menurutnya, kearifan lokal bisa kita ikhtiarkan. “Manifestasi budaya yang dimiliki masyarakat ini dapat dijadikan filter dalam menghadapi pengaruh budaya asing atas terpaan media.” (Hal. 163).
baca juga: Ditjen Diktiristek Luncurkan Dua Buku Panduan Baru untuk Perguruan Tinggi
Sebagai sebuah antologi yang berawal dari bahan-bahan perkuliahan dan diskusi di kampus, buku yang diberi kata pengantar oleh Prof Alo Liliweri ini sangat bermanfaat bagi para mahasiswa maupun pegiat komunikasi. Terutama, yang tertarik pada bidang budaya maupun komunikasi antarbudaya.
Ketajaman penulis dan disiplin dalam menyusun karya ilmiah yang terlihat dari penggunaan pendapat dan buku dari tokoh-tokoh terkenal memperkaya uraian tiap bab. Gaya bertutur populer –-karena kebanyakan tulisan pernah dipublikasikan dalam format opini di surat kabar—membantu pembaca menyerap pengetahuan tanpa perlu mengernyitkan dahi. Mudah dipahami dan inspiratif.
Kendati demikian, kita bisa tersadarkan bahwa media yang sehari-hari sangat dekat, melekat di tubuh bahkan ada di jemari kita, bisa berubah menjadi mesin pembunuh budaya. (*)
Judul Buku: Technotronic Ethnocide: Teknologi Komunikasi dalam Jagat Budaya
Penulis: Prof Ahmad Sihabudin
Penerbit: Indigo Media
Tahun: 2024
Sayangnya, elemen-elemen itu memiliki kelemahan dan tantangan masing-masing. Pers menghadapi serbuan digital yang serba cepat dan instan. Jari-jemari pengguna sosial media yang kurang literasi kadang menambah runyam efek disrupsi.Belum lagi bila kita memahami watak ekploitatif dan akumulasi modal tak bisa dipungkiri setiap industri. Sementara elit politik semakin tak peka, yang perlu tawadhu’, tidak “narsis dan bermuka masam”. Di samping menjadi korban industri, hasrat berkuasa kerap menggelincirkan politisi dari fitrah yang selayaknya diemban seorang pemimpin.
Maka, krisis cenderung semakin parah dan bukan tak mungkin great disruption yang ditunjukkan Fukuyama melanda banyak negara di pertengahan abad 20 muncul kembali. Ada satu harapan yang coba ditampilkan penulis buku ini. Sebagai ruang pencerahan, menurutnya, kearifan lokal bisa kita ikhtiarkan. “Manifestasi budaya yang dimiliki masyarakat ini dapat dijadikan filter dalam menghadapi pengaruh budaya asing atas terpaan media.” (Hal. 163).
baca juga: Ditjen Diktiristek Luncurkan Dua Buku Panduan Baru untuk Perguruan Tinggi
Sebagai sebuah antologi yang berawal dari bahan-bahan perkuliahan dan diskusi di kampus, buku yang diberi kata pengantar oleh Prof Alo Liliweri ini sangat bermanfaat bagi para mahasiswa maupun pegiat komunikasi. Terutama, yang tertarik pada bidang budaya maupun komunikasi antarbudaya.
Ketajaman penulis dan disiplin dalam menyusun karya ilmiah yang terlihat dari penggunaan pendapat dan buku dari tokoh-tokoh terkenal memperkaya uraian tiap bab. Gaya bertutur populer –-karena kebanyakan tulisan pernah dipublikasikan dalam format opini di surat kabar—membantu pembaca menyerap pengetahuan tanpa perlu mengernyitkan dahi. Mudah dipahami dan inspiratif.
Kendati demikian, kita bisa tersadarkan bahwa media yang sehari-hari sangat dekat, melekat di tubuh bahkan ada di jemari kita, bisa berubah menjadi mesin pembunuh budaya. (*)
Judul Buku: Technotronic Ethnocide: Teknologi Komunikasi dalam Jagat Budaya
Penulis: Prof Ahmad Sihabudin
Penerbit: Indigo Media
Tahun: 2024