Tito Sebut OTT Bukan Prestasi Hebat, Pengamat: Pola Pikir Sebab Akibat

Rabu, 20 November 2019 - 08:32 WIB
Tito Sebut OTT Bukan Prestasi Hebat, Pengamat: Pola Pikir Sebab Akibat
Tito Sebut OTT Bukan Prestasi Hebat, Pengamat: Pola Pikir Sebab Akibat
A A A
JAKARTA - Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yud menganggap pernyataan Mendagri Tito Karnavian yang menyebut bahwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepala daerah bukanlah sebuah prestasi hebat perlu dipelajari secara detail.

"Perilaku korupsi para kepala daerah ini bagi Tito salah satu faktornya dikarenakan terjebak pada sistem pengisian kepala daerah yang membutuhkan biaya besar," ujar Sulthan saat dihubungi SINDOnews, Rabu (20/11/2019).

Sulthan memandang, pikiran Tito ini sekilas seperti menyalahkan situasi. Namun jika diperhatikan secara mendalam kalimat tersebut benar adanya. Ia melihat ada upaya menyederhanakan dan evaluasi dari sistem pengisian jabatan politik terutama kepala daerah.

"Pola pikir sebab akibat diterapkan guna melihat persoalan secara jeli agar benang kusut perilaku koruptif itu dapat diurai secepat mungkin," tutur dia. (Baca juga: Mendagri Tito: OTT Kepala Daerah Bukan Prestasi Hebat )

Di sisi lain, semua pihak sering mendengar bahwa kejahatan itu datang bukan hanya ada niat tetapi juga kesempatan. Ditambah situasi dan keadaan yang memaksa agar para kepala daerah melakukan praktik korupsi. Menurutnya, biaya politik yang menjulang tinggi salah satunya menjadi faktor perilaku korupsi.

Kata Sulthan, kondisi yang demikian harus segera diselesaikan jangan sampai timbul persepsi bahwa karena biaya politik yang tinggi maka korupsi itu diwajarkan. Pernyataan demikian jelas keliru dan menyesatkan. Maka itu desain politik kita perlu diefektifkan dan efisien.

Selain itu, sambung Sulthan, rendahnya fungsi pendidikan politik bagi masyarakat yang dilakukan oleh partai politik berakibat pada dominasi pola pikir transaksional di masyarakat. Partai politik datang di kala pemilu sudah dekat lalu menghilang hingga pemilu yang akan datang kembali tiba.

Menurut dia, pola interaksi partai politik dengan konstituen model begitu justru menyuburkan transaksi politik itu sendiri. Ujung-ujungnya “money talk". "Saya menyebut situasi begini dengan politik rantai makanan yang saling memangsa satu sama lainnya," tandasnya.

Dilanjutkan dia, perlu diwaspadai pula jangan sampai pernyataan Mendagri ini mengarah pada pengembalian pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh DPRD. Jika tujuannya ke arah tersebut maka bukan langkah maju melainkan mundur ke belakang.

Sehingga, pernyataan Tito itu jangan sampai jadi alasan dan pembenaran bahwa jika dipilih oleh DPRD maka cost politik yang besar itu bisa dikurangi, sehingga korupsi menjadi berkurang. (Baca juga: ICW Tantang Menteri Tito Karnavian Reformasi Kepartaian )

Baginya, Pilkada melalui DPRD ini hanya memindahkan transaksi dari partai politik atau kandidat ke masyarakat dengan ke sesama politisi di DPRD dan lingkarannya. "Ini sama saja keluar dari lubang semut masuk lubang buaya," ketus alumni Hukum Tata Negara UGM ini.

Sulthan menambahkan saat ini demokrasi mulai menemukan kematangannya, tentu prosesnya tidak instan menuju ideal. Jika semua pihak berkomitmen diawali komitmen partai politik tidak melakukan pungli kepada calon kepala daerah yang diusung, maka politik uang tersebut bisa diminimalisir sejak dini. Outputnya masyarakat memilih pemimpinnya dengan akal sehat bukan dompet yang sehat.

"Kita pernah melewati fase pertarungan politik ideologis, kemudian kini fase politik transaksional, ke depan ia akan memasuki fase politik narasi dan tarung gagasan. Kita hanya perlu sedikit lagi waktu dengan treatment yang tepat agar proses politik kita kembali sehat seperti sedia kala," pungkasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2369 seconds (0.1#10.140)