Indonesia Hadapi Tantangan Serius Terkait Moralitas Penyelanggara Negara

Sabtu, 21 September 2024 - 06:25 WIB
loading...
Indonesia Hadapi Tantangan...
Indonesia menghadapi tantangan serius dalam hal moralitas penyelenggara negara dan kualitas kehidupan bernegara. Foto/istimewa
A A A
JAKARTA - Indonesia yang telah berdiri selama 79 tahun mengalami tantangan serius dalam hal moralitas penyelenggara negara dan kualitas kehidupan bernegara. Hal itu dikarenakan maraknya praktik Korupsi , Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Pernyataan tersebut ditegaskan Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan saat menjadi pembicara diskusi yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bertema “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Etika dan Agama” di Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, Jumat (20/9/2024).

Mengacu pada refleksi pasca-Reformasi 1998 sebagai puncak moralitas bangsa, Halili menyoroti pentingnya kesadaran akan penguatan moralitas dalam penyelenggaraan negara. Kondisi Indonesia saat ini, menurut Halili, telah mengalami kemunduran besar dengan maraknya kembali praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme, mulai dari kasus BLBI hingga penggunaan jet pribadi yang kini marak diperbincangkan.

Halili mengaitkan kinerja demokrasi konstitusional dengan ketidakmunculan watak kewargaan yang ideal di Indonesia, seperti yang pernah diungkapkan Mochtar Lubis dalam pidatonya 1977. Lubis menyebut watak manusia Indonesia cenderung munafik, enggan bertanggung jawab, feodal, percaya pada takhayul, lebih mementingkan penampilan daripada substansi, dan lemah.



Menurut Halili, watak-watak ini masih relevan dengan kondisi masyarakat saat ini, yang mencerminkan krisis moral dan etika di kalangan elite politik dan penyelenggara negara. "Jika elite yang terpilih adalah representasi dari warga kita, maka perbaikan harus dimulai dari masyarakat itu sendiri," ujar Halili.

Halili juga menekankan kontrol terhadap kekuasaan dan pembatasannya sangat penting, karena hak dan kebebasan yang dikumandangkan dalam demokrasi seringkali tidak sejalan dengan mekanisme pengawasan yang memadai.



Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) 1988-2002 Chandra Setiawan mengungkapkan kekhawatirannya tentang maraknya pelanggaran etika dan hukum di Indonesia. Menurutnya, krisis ini tidak hanya terjadi di kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetapi juga di level penegak hukum yang seringkali memutuskan perkara dengan cara yang mencederai keadilan. "Sering kita dengar bahwa hukum itu tajam ke bawah, tumpul ke atas," katanya.

Chandra menegaskan esensi dari Sila Pertama Pancasila adalah komitmen untuk memuliakan Tuhan dan menjaga keluhuran ciptaan-Nya, termasuk manusia. Agenda mendesak bagi BPIP, menurut Chandra, adalah membangkitkan kembali nilai-nilai religiusitas di Indonesia dengan cara yang lebih substansial, bukan hanya formalistik.

Dalam konteks penegakan hukum, Chandra menekankan pentingnya keadilan yang mengakomodasi tiga tujuan utama hokum yakni, keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Sayangnya, proses pembuatan undang-undang seringkali tidak mencerminkan tujuan yang mulia.

Selain itu, faktor penegak hukum, sarana, fasilitas, dan kebudayaan juga perlu diperhatikan untuk memastikan penegakan hukum berjalan dengan baik. Chandra juga menggarisbawahi pentingnya integritas bagi para pemimpin dan penyelenggara negara. "Seorang pemimpin harus memiliki keselarasan antara kata dan perbuatan, bukan kemunafikan," ujar Chandra.

Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Tamrin Amal Tomagola mengatakan, kerapuhan etika dan agama di kalangan penyelenggara negara maupun masyarakat Indonesia bersumber pada kerapuhan karakter.

Menurut Tamrin, akar masalah kebobrokan negara ada di dalam masyarakat itu sendiri. "Kalau masyarakatnya bobrok, negaranya juga bobrok, karena masyarakat adalah pabrik dari aktivitas kehidupan," tegasnya.

Tamrin mengidentifikasi salah satu sumbernya adalah pola asuh yang permisif dalam masyarakat. Tamrin mengeritik pola asuh yang cenderung membiarkan kesalahan anak-anak tanpa konsekuensi yang jelas, sehingga tidak membentuk karakter tanggung jawab.

”Tanggung jawab, adalah inti dari semua karakter mulia. Dalam masyarakat Barat, pola asuh yang lebih disiplin membentuk individu yang bertanggung jawab dan mandiri, sementara di Indonesia, yang muncul adalah individu egois yang mengutamakan kepentingan sendiri,” katanya.

Pakar filsafat STF Driyarkara Budhy Munawar Rachman melihat masalah etika penyelenggara negara melalui pendekatan filosofis antara Machiavellianisme dan demokrasi. Machiavellianisme, kata Budhy, mengajarkan penguasa untuk mengutamakan efektivitas dan pragmatisme dalam mencapai dan mempertahankan kekuasaan, seringkali dengan mengabaikan prinsip moral. Budhy mengkhawatirkan bahwa kecenderungan Machiavellianisme ini semakin terlihat dalam praktik politik di Indonesia.

Budhy mencatat delapan indikator penyelenggaraan negara yang cenderung ke arah Machiavellianisme, antara lain korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, diskriminasi terhadap masyarakat adat, krisis moralitas di kalangan pejabat, dan rendahnya tanggung jawab serta amanah dalam pemerintahan.

Budhy juga mempertanyakan relevansi agama dalam mencegah Machiavellianisme, mengingat agama seringkali digunakan sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan. “Machiavellianisme cenderung menggoda, karena kekuasaan itu cenderung korup," kata Budhy.

Namun, Budhy tetap percaya bahwa agama masih mampu memberikan pengaruh moral yang kuat, asalkan nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan dapat diterapkan dengan cara yang universal dan tanpa politisasi.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0779 seconds (0.1#10.140)