Revisi UU Penyiaran Tak Halangi Kebebasan Berekspresi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Hubungan Media Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anthony Leong menilai revisi Undang-Undang Penyiaran diperlukan mengingat penyiaran berbasis digital saat ini sangat masif.
Menurut dia, revisi tersebut diyakini tidak akan menghalangi kebebasan berekspresi di media sosial. "Pada prinsipnya, konten digital perlu diatur (dalam UU Penyiaran-red)," kata Anthony dalam pernyataannya, Kamis (27/8/2020).
Anthony Leong menambahkan, konten digital perlu ada mekanisme dan UU Penyiaran yang mengatur platfom digital. Jangan sampai konten digital mempengaruhi dan membuat perilaku anak-anak menjadi buruk seperti konten SARA, kekerasan dan seks yang sangat gamblang di televisi plafform digital.
"(Uji materi-red) UU Penyiaran saya rasa tidak mengancam kebebasan, yang mengancam kebebasan lebih kepada UU ITE, UU ITE itu pasal karet, ini yang harus dievaluasi bersama. UU Penyiaran harus lebih lebih edukatif dan solutif mengatur konten digital yang ada di kita," tandas Anthony..( )
Hal itu disampaikan Anthony menyoroti berita yang beredar, menyusul sidang lanjutan uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi yang digelar 26 Agustus 2020. Seperti diketahui, menciptakan landasan hukum bagi tayangan video berbasis Internet, tanpa terkecuali baik lokal maupun asing adalah tujuan dari stasiun televisi RCTI dan iNews dalam mengajukan permohonan uji materi (judicial review/JR) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi.
"Jika JR dikabulkan, diharapkan kualitas isi siaran video berbasis internet dapat dihindarkan dari pornografi, kekerasan serta kebohongan, kebencian, termasuk fitnah _(hoax)_ dan sejenisnya, yang tidak sesuai dengan kultur bangsa Indonesia yang sesungguhnya dan bahkan berbahaya bagi kesatuan NKRI. Ini tanpa terkecuali, untuk penyiaran berbasis Internet lokal maupun asing," tutur Corporate Legal Director MNC Group Christoporus Taufik.
Bila judicial review tersebut dikabulkan, Chris berharap isi tayangan video berbasis Internet dapat lebih berkualitas, tersaring dari konten kekerasan, pornografi maupun SARA, sehingga setiap konten yang disiarkan dapat dipertanggungjawabkan.
Putusan dari JR tersebut, lanjutnya, akan ikut ambil bagian menjadikan NKRI kembali kepada marwahnya sesuai dengan tujuan berbangsa dan bernegara, yang tidak hanya merdeka, tetapi juga bersatu, adil dan makmur sebagaimana jelas tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari sisi landasan hukum, Chris mengatakan UU Penyiaran 32/2002 pada Pasal 1 ayat 2, menyebutkan Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
"Dengan tegas disebutkan bahwa penyiaran adalah yang menggunakan spektrum frekuensi radio, sedangkan tayangan video berbasis Internet, seperti OTT, media sosial, dan lainnya, juga menggunakan spektrum frekuensi radio," jelasnya.
Menurut dia, revisi tersebut diyakini tidak akan menghalangi kebebasan berekspresi di media sosial. "Pada prinsipnya, konten digital perlu diatur (dalam UU Penyiaran-red)," kata Anthony dalam pernyataannya, Kamis (27/8/2020).
Anthony Leong menambahkan, konten digital perlu ada mekanisme dan UU Penyiaran yang mengatur platfom digital. Jangan sampai konten digital mempengaruhi dan membuat perilaku anak-anak menjadi buruk seperti konten SARA, kekerasan dan seks yang sangat gamblang di televisi plafform digital.
"(Uji materi-red) UU Penyiaran saya rasa tidak mengancam kebebasan, yang mengancam kebebasan lebih kepada UU ITE, UU ITE itu pasal karet, ini yang harus dievaluasi bersama. UU Penyiaran harus lebih lebih edukatif dan solutif mengatur konten digital yang ada di kita," tandas Anthony..( )
Hal itu disampaikan Anthony menyoroti berita yang beredar, menyusul sidang lanjutan uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi yang digelar 26 Agustus 2020. Seperti diketahui, menciptakan landasan hukum bagi tayangan video berbasis Internet, tanpa terkecuali baik lokal maupun asing adalah tujuan dari stasiun televisi RCTI dan iNews dalam mengajukan permohonan uji materi (judicial review/JR) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi.
"Jika JR dikabulkan, diharapkan kualitas isi siaran video berbasis internet dapat dihindarkan dari pornografi, kekerasan serta kebohongan, kebencian, termasuk fitnah _(hoax)_ dan sejenisnya, yang tidak sesuai dengan kultur bangsa Indonesia yang sesungguhnya dan bahkan berbahaya bagi kesatuan NKRI. Ini tanpa terkecuali, untuk penyiaran berbasis Internet lokal maupun asing," tutur Corporate Legal Director MNC Group Christoporus Taufik.
Bila judicial review tersebut dikabulkan, Chris berharap isi tayangan video berbasis Internet dapat lebih berkualitas, tersaring dari konten kekerasan, pornografi maupun SARA, sehingga setiap konten yang disiarkan dapat dipertanggungjawabkan.
Putusan dari JR tersebut, lanjutnya, akan ikut ambil bagian menjadikan NKRI kembali kepada marwahnya sesuai dengan tujuan berbangsa dan bernegara, yang tidak hanya merdeka, tetapi juga bersatu, adil dan makmur sebagaimana jelas tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari sisi landasan hukum, Chris mengatakan UU Penyiaran 32/2002 pada Pasal 1 ayat 2, menyebutkan Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
"Dengan tegas disebutkan bahwa penyiaran adalah yang menggunakan spektrum frekuensi radio, sedangkan tayangan video berbasis Internet, seperti OTT, media sosial, dan lainnya, juga menggunakan spektrum frekuensi radio," jelasnya.